Fungsinya bisa sebagai ritual spiritual, komunikasi, atau penanda perburuan.
Selanjutnya di Zaman Romawi & Yunani Kuno Graffiti banyak ditemukan di dinding kota, kuil, dan tempat umum.
Biasanya berupa coretan politik, sindiran sosial, atau ekspresi pribadi.
Contoh terkenal ditemukan di Pompeii, Kota Romawi yang tertutup abu vulkanik dari letusan Gunung Vesuvius tahun 79 M yang berisi protes politik, humor kasar, dan bahkan iklan.
Saat masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia di tahun 1945-1949 pun Graffiti digunakan sebagai media perlawanan terhadap penjajah, baik Jepang, maupun Belanda dan Sekutu yang mau menjajah kembali.
Saat itu para pemuda Indonesia sering menuliskan slogan-slogan di tembok dan gerbong kereta, seperti: "Merdeka atau Mati!", "Sekali Merdeka, Tetap Merdeka!" dsb.
Graffiti telah berkembang dari lukisan gua hingga menjadi alat komunikasi sosial dan politik.
Hingga kini, grafiti tetap digunakan sebagai media ekspresi, protes, atau seni jalanan di berbagai belahan dunia bahkan dihubungkan dengan teknologi komputer seperti kalimat "404-Not Found".
Padahal aslinya "404 Not Found" adalah kode status HTTP yang menandakan bahwa halaman atau sumber daya yang dicari di sebuah website tidak ditemukan di server.
Istilah ini pertama kali digunakan dalam protokol HTTP pada 1992 oleh Tim Berners-Lee, pencipta World Wide Web.
Angka 404 berasal dari standar kode status HTTP yang ditetapkan oleh Internet Engineering Task Force (IETF).
Di Indonesia uniknya Graffiti yang menggambarkan wajah yang disebut mirip Jokowi dengan tulisan "404 Not Found" sempat viral di Indonesia sebagai bentuk kritik sosial dan politik.
Muncul sekitar tahun 2021 sebagai Graffiti besar di salah satu Kolong Flyover di seputaran Batuceper, Tangerang, "404 Not Found" dalam konteks ini digunakan sebagai simbol kritik terhadap kepemimpinan Jokowi yang menunjukkan bahwa kebijakan atau kepemimpinan yang diharapkan tidak ditemukan.
Beberapa pengamat politik menyebutkan graffiti ini merujuk pada kebebasan berpendapat yang semakin dibatasi, terutama setelah beberapa kasus pembungkaman kritik terhadap pemerintah.
Dungunya, aparat langsung menghapus atau menimpa cat terhadap Graffiti kreatif yang disebut mirip Jokowi dan "404-Not Found" tersebut.
Banyak muncul diskusi di media sosial mengenai batas antara Graffiti dan kebebasan berekspresi, bahkan saya sempat jadi Narasumber acara diskusi Live "Catatan Demokrasi" 17/08/21: https://youtu.be/wN9OBRO6Lt0 .
Meski Graffiti "404 Not Found" saat itu saya katakan tidak mirip tetapi toh dihapus juga oleh aparat.
Namun ini contoh bagaimana seni jalanan digunakan sebagai medium kritik politik yang sah sebagaimana sejarahnya sejak dulu.
Kesimpulannya, Graffiti "Adili Jokowi" ini adalah salah satu ekspresi yang sah dan dilindungi kebebasan demokrasi.
Meskipun sebagian orang yang berpikiran picik menyebutnya dengan "Vandalisme", mereka mungkin tidak pernah belajar sejarah sebagaimana yang sudah ditulis diatas, mulai zaman Prasejarah di Gua Leang-leang Sulsel hingga zaman Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Sebenarnya aksi ini tidak boleh berhenti sampai hanya Graffiti saja, Snowballing-Effect yang diikuti dengan demo hingga People-power sewarasnya dilakukan, sebagaimana yang akan saya tuliskan dalam buah pena selanjutnya, Indonesia harus bergerak dan tidak boleh hanya berserah atau yang bahkan sampai membuat sebagian masyarakat memilih aksi sesuai trending topic #KaburAjaDulu ...
(Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB Independen)
Artikel Terkait
Begini Tanggapan Ignasius Jonan Soal Utang Whoosh usai Temui Prabowo
Budi Arie Bantah Projo Singkatan Pro Jokowi, Jejak Digital 2018 Justru Dia Jelas-jelas Ngomong Gitu
Presiden Prabowo Panggil Eks Menhub Ignasius Jonan ke Istana, Bahas Polemik Whoosh?
KPK OTT Gubernur Riau Abdul Wahid