Ijazah Jokowi Asli (Tanggapan untuk Untung Nursetiawan)

- Jumat, 02 Mei 2025 | 18:35 WIB
Ijazah Jokowi Asli (Tanggapan untuk Untung Nursetiawan)


Polemik mengenai keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke ruang publik, kali ini melalui tulisan Bung Untung Nursetiawan di media online www.suaranasional.com berjudul “Polemik Ijazah Jokowi: Asli atau Palsu?”. Dalam tulisan itu, Bung Untung mencoba membangun narasi bahwa ijazah Jokowi layak dipertanyakan keasliannya karena yang bersangkutan tidak pernah menunjukkan dokumen tersebut secara langsung kepada publik. Pandangan ini jelas menyesatkan, tendensius, dan berbahaya, bukan hanya bagi akal sehat publik, tetapi juga bagi keutuhan sistem demokrasi kita yang menempatkan asas legalitas dan verifikasi institusional sebagai fondasi utama.

Tulisan ini saya tujukan untuk meluruskan informasi, menganalisis motif di balik narasi tersebut, dan menjelaskan mengapa keaslian ijazah Jokowi sudah final secara hukum dan administratif.

Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai institusi pendidikan tertinggi tempat Presiden Jokowi menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Kehutanan sudah dengan tegas menyatakan bahwa ijazah Jokowi asli dan terverifikasi. Pernyataan resmi ini bukan hanya keluar sekali, melainkan berulang kali dalam berbagai forum, termasuk saat polemik ini sempat naik ke permukaan menjelang Pilpres 2019 dan kembali saat Pilpres 2024.

Dalam proses pendaftaran sebagai calon presiden pada tahun 2014 dan 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) — sebagai lembaga negara yang independen dan diatur konstitusi — melakukan proses verifikasi dokumen, termasuk ijazah. Tidak pernah ada catatan bahwa dokumen yang diserahkan Presiden Jokowi bermasalah. Bahkan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa sidang sengketa Pilpres tidak pernah menyebutkan adanya persoalan keabsahan ijazah.

Menyoal keaslian ijazah Jokowi setelah dua kali lolos verifikasi administratif oleh lembaga negara dan pengakuan dari almamaternya sendiri, pada dasarnya adalah bentuk pengingkaran terhadap otoritas hukum dan institusi negara.

Narasi “mengapa Jokowi tidak menunjukkan ijazah asli ke publik” adalah bentuk fallacy atau sesat pikir yang sering kali digunakan dalam teori konspirasi. Ini serupa dengan tuntutan “tunjukkan sendiri” meskipun otoritas resmi sudah menyatakan keaslian. Jika logika ini diterima secara umum, maka siapa pun bisa dituduh apapun hanya karena belum membuktikan sendiri ke publik bahwa ia tidak bersalah — padahal sistem hukum kita menganut asas presumption of innocence (praduga tak bersalah).

Jokowi adalah mantan kepala negara, bukan peserta audisi bakat yang harus menunjukkan ijazahnya ke kamera demi membuktikan identitas. Validasi ijazah adalah kewenangan lembaga — bukan kewajiban publik figur kepada publik dalam pengertian informal.

Kita perlu menelaah motif di balik kemunculan kembali polemik ini. Tuduhan mengenai ijazah palsu bukan hal baru. Namun selalu muncul dalam siklus politik tertentu: menjelang pemilu, saat Jokowi mengambil keputusan strategis, atau ketika sentimen terhadapnya sedang dipolarisasi.

Ada dua kemungkinan motif utama:
  1. Discrediting legacy: Setelah hampir 10 tahun menjabat sebagai Presiden, Jokowi bukan hanya telah menandai transformasi besar dalam infrastruktur dan digitalisasi birokrasi, tapi juga sedang memainkan peran strategis dalam konsolidasi kekuasaan pasca dirinya. Menyerang ijazah adalah cara termudah untuk membusukkan legitimasi dari hulu.
  2. Penciptaan keraguan publik: Dalam iklim politik digital, ketidakpercayaan publik adalah komoditas. Menyerang simbol-simbol kredibilitas tokoh seperti ijazah, latar belakang pendidikan, atau asal-usul, bertujuan memecah dukungan dan membangun basis oposisi ideologis.
Bukan tidak mungkin, narasi ini akan terus digemakan oleh pihak-pihak yang ingin menjatuhkan reputasi Jokowi demi agenda politik jangka panjang — baik untuk menahan pengaruhnya terhadap suksesi, maupun untuk membangun “narrative battle” dalam pertarungan antara kubu pro dan anti-Jokowi.

Membuka kembali isu ijazah Jokowi yang sudah clear secara hukum dan administratif adalah tindakan yang tidak produktif dan cenderung merusak. Jika ketidaksukaan terhadap Jokowi dibungkus dengan klaim kecurigaan terhadap ijazah, maka kita sedang membakar rumah demokrasi hanya karena tidak suka siapa yang tinggal di dalamnya.

Indonesia memerlukan diskursus politik yang sehat, berbasis data dan verifikasi, bukan sentimen dan insinuasi. Polemik seperti ini hanya membuang energi bangsa. Lebih baik publik diarahkan untuk mengevaluasi kebijakan, capaian, dan visi masa depan pasca-Jokowi, daripada menyeret isu lama yang sudah tuntas secara hukum dan fakta.

Saya, sebagai loyalis Jokowi, tidak menutup mata terhadap kritik terhadap pemerintahan. Tapi marilah kita menempatkan kritik pada tempatnya: pada keputusan publik, bukan pada serangan personal yang sudah dipastikan tak berdasar. Mari jaga akal sehat, jaga demokrasi.

Oleh: Rinto Junaidi
Loyalis Jokowi Lamongan
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

Komentar