Terbangun Narasi: 'Ijazah Palsu Itu Hilang!'
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Ketika sebuah bangsa kehilangan akal sehatnya, maka hal-hal yang seharusnya menjadi terang benderang bisa berubah menjadi teka-teki yang dipelihara.
Seperti kisah lama yang tak kunjung selesai: di manakah sebenarnya ijazah Jokowi?
Pertanyaan ini seolah hidup dalam lorong waktu, menyelinap dari satu ruang ke ruang lainnya, dari warung kopi hingga sidang Mahkamah Konstitusi.
Tapi kali ini, yang menyulut kembali bara itu bukan sekadar ujaran atau gugatan hukum, melainkan sebuah foto yang diam-diam menjadi virus di ruang digital.
Foto itu memperlihatkan selembar salinan ijazah yang diklaim sebagai milik Presiden Joko Widodo saat lulus dari Universitas Gadjah Mada.
Namun, ada yang janggal: potret dirinya dalam dokumen tersebut tampak ditempel, tidak menyatu dengan dokumen aslinya, dan lebih parah lagi—tidak terkena cap resmi UGM.
Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar kelalaian teknis. Ini seperti petunjuk. Sebuah kode rahasia bahwa ada sesuatu yang disengaja, disembunyikan, dimanipulasi.
Narasi mulai terbentuk. Bukan oleh negara, bukan pula oleh media arus utama, tapi oleh publik yang menyimpan kecurigaan lama.
Lalu seperti sinyal yang menemukan gelombangnya, beredar pula satu dokumentasi yang lain: Jokowi tengah berada di ruang pengaduan counter kehilangan milik Polda Metro Jaya. Tertulis jelas: laporan kehilangan ijazah.
Di titik ini, nalar publik pun mulai merangkai ulang cerita. Bila ijazah asli hilang, maka dokumen yang beredar adalah salinan.
Bila salinan pun cacat secara administratif—foto ditempel tanpa cap basah menyentuh wajah—maka yang tersisa hanyalah kepercayaan.
Dan bila kepercayaan itu tak lagi ada, maka apa yang kita punya dari seorang kepala negara selain legitimasi yang semu?
Bagi sebagian orang, ini adalah narasi gila. Tak mungkin seorang Presiden bisa menipu seluruh bangsa hanya bermodal fotokopi ijazah.
Tapi bagi sebagian lain, justru karena dia Presiden, kebohongan itu mungkin disulap menjadi kebenaran oleh sistem yang patuh pada kuasa, bukan pada kejujuran.
Maka tak heran bila kata pendusta kini mulai menempel kuat pada nama Jokowi di kepala sebagian masyarakat.
Bukan karena satu foto. Bukan karena satu laporan kehilangan. Tapi karena pola-pola lama yang tak pernah dijelaskan tuntas.
Kenapa sidang MK tak membuka pintu penyelidikan ijazah asli?
Kenapa UGM begitu pasif dalam menjelaskan dokumen resmi seorang alumnus yang kini memimpin negeri?
Mengapa negara seolah ingin cepat-cepat mematikan isu ini, padahal rakyat belum selesai bertanya?
Narasi ini, suka atau tidak, sudah lahir. Ia tumbuh di sela-sela kekecewaan publik terhadap banyak kebijakan Jokowi yang dianggap manipulatif: dari revisi UU KPK, pembungkaman kritik, hingga peran aktifnya dalam melanggengkan dinasti politik.
Maka ketika foto ijazah tempelan itu muncul, publik hanya butuh sedikit pemantik untuk menyimpulkan: ini semua hanyalah drama dari seorang aktor yang terlalu lama memainkan peran “merakyat.”
Dan mungkin, seperti kata seorang filsuf, kebohongan yang diulang terus-menerus bisa menjadi kebenaran—asal cukup banyak orang yang berhenti berpikir.
Ijazah itu, mungkin benar-benar hilang. Tapi kepercayaan yang hilang, akan jauh lebih sulit ditemukan kembali.
👇👇
Knp Jokowi lapor nya di loket kehilangan.🥱🥱😎😎 pic.twitter.com/PsUrot3DgX
— 🇮🇩𝗠𝗔𝗬𝗔 𝗩𝗔𝗟𝗘𝗡🇮🇩 (@MayaA62580468) May 3, 2025
Ada 2 loket, Kiri : Pelayanan Masyarakat, Kanan : Pelayanan Kehilangan.
— Arif Wicaksono (@arifbalikpapan1) May 4, 2025
Kok nggak ke loket sebelah kiri? pic.twitter.com/BI8SfT8BxN
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
Transparansi Informasi Publik: Peran Strategis PPID Sekretariat DPRD Provinsi Sumsel
VIRAL Video Lawas Hercules Saat Debat Dengan Polisi: Saya Tak Takut Hadapi Jokowi!
Viral Video Detik-detik Pedagang Pempek Duel dengan 2 Preman Pasar, Satu Tewas!
Kebakaran Hutan Dahsyat Israel Ternyata Senjata Makan Tuan