China, sejak 40 tahun yang lalu, sebagai negara yang paling banyak menerima tamu perusahaan-perusahaan asing, cerdik mengelola. China sadar. Dirinya dituju karena upah buruh yang murah. Bukan karena persahabatan. Tapi karena buruh yang pekerja keras. Tidak banyak istirahat. Apalagi merokok sambil kerja.
Sekarang tiba-tiba Trump marah-marah ke China. Rupanya Trump terlambat menbaca buku ‘Globalization and Its Discontents’ karya Joseph E. Stiglitz. Yang membahas kritik terhadap dampak negatif globalisasi. Terutama dalam hubungannya dengan negara berkembang.
Trump rupanya juga lupa sejarah. Bahwa gagasan globalisasi melalui pendirian World Bank, IMF, GATT yang dilahirkan dalam pertemuan di Bretton Woods juga inisiasi AS. Hakikat tujuan pertemuan itu adalah agar kolonialisme tetap dapat dilanjutkan tanpa harus melakukan pendudukan fisik.
Rupanya dunia harus mulai sadar. Sistem pasar bebas yang menyerahkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar: gagal. Sekarang saatnya kita kembali menengok sejarah. Menengok pikiran para hikmat yang dulu di Indonesia pernah ada. Mereka bersidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Mereka menawarkan sistem Negara Sosialisme yang Berketuhanan melalui Lima Sila yang dijabarkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli. Sebelum diobrak-abrik dalam Amandemen pada tahun 1999 hingga 2002.
Negara dengan sistem Sosialisme yang Berketuhanan ini adalah penjabaran dari lima Sila di dalam Pancasila. Sila Pertama, Ketuhanan yang berarti ekonomi harus mendasarkan kepada moral, karena pemilik sejati adalah Tuhan.
Sila Kedua, Kemanusian yang Adil dan Beradab, artinya ekonomi itu harus bersifat manusiawi dan adil, dengan menganggap sama semua manusia. Satu dengan yang lain tidak boleh ada yang memiliki kedudukan atau hak yang lebih tinggi untuk melakukan penghisapan kepada yang lemah.
Lalu Sila Ketiga, Persatuan Indonesia, adalah wujud dari nasionalisme ekonomi, sehingga semua kebijakan harus sejalan dengan nasionalisme. Contoh teranyar: Jangan membuat gaduh dengan memindahkan hak atas pulau-pulau kecil.
Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, adalah prinsip demokrasi ekonomi. Setiap orang, meskipun dia miskin atau lemah, tetap harus diikutsertakan melalui perwakilan yang utuh dan perwakilan yang mewakili mereka dalam setiap pembuatan kebijakan.
Dan yang terakhir, Sila Keadilan Sosial adalah tujuan dari semuanya itu.
Kalau diperas: Sila Pertama dan Kedua adalah dasarnya, yaitu moral dan kemanusiaan. Sila Ketiga dan Keempat adalah caranya. Dan Sila Kelima adalah tujuannya.
Jadi, wajar kalau Sri Mulyani bingung melihat situasi global hari ini. Tapi kata Gus Baha: Bingung itu perlu. Katanya: Barokahnya bingung orang tidak menjadi sombong dan tidak merasa paling tahu. Karena segala sesuatu harus dipikirkan dan dikaji dulu secara mendalam.
*(Penulis adalah pendiri Pusat Studi Pembangunan berbasis Pancasila. Kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.)
Artikel Terkait
Begini Tanggapan Ignasius Jonan Soal Utang Whoosh usai Temui Prabowo
Budi Arie Bantah Projo Singkatan Pro Jokowi, Jejak Digital 2018 Justru Dia Jelas-jelas Ngomong Gitu
Presiden Prabowo Panggil Eks Menhub Ignasius Jonan ke Istana, Bahas Polemik Whoosh?
KPK OTT Gubernur Riau Abdul Wahid