KACAU! Bongkar Fakta Tambang di Raja Ampat, DPR Temukan Ketimpangan Penindakan: Swasta Malah Bebas?

- Minggu, 08 Juni 2025 | 17:10 WIB
KACAU! Bongkar Fakta Tambang di Raja Ampat, DPR Temukan Ketimpangan Penindakan: Swasta Malah Bebas?




NARASIBARU.COM - Polemik soal aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, kembali mencuat dan menyita perhatian publik.


Komisi XII DPR RI mempertanyakan keputusan pemerintah yang dinilai tidak konsisten dalam menegakkan aturan terhadap pelaku usaha tambang nikel yang merusak lingkungan di wilayah konservasi tersebut.


Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diketahui telah mengambil langkah tegas terhadap PT Gag Nikel, anak usaha BUMN PT Antam.


Namun, yang menjadi sorotan adalah mengapa tindakan serupa tidak diterapkan kepada tiga perusahaan swasta lain yang justru dituding lebih merusak ekosistem Raja Ampat.


Wakil Ketua Komisi XII DPR, Bambang Hariyadi, menyebut bahwa ketimpangan ini tidak masuk akal dan menimbulkan banyak tanda tanya.


Menurutnya, tindakan penghentian operasi hanya dijatuhkan kepada PT Gag Nikel, padahal ada perusahaan lain yang aktivitasnya diduga lebih parah, tetapi tidak tersentuh hukum.


Tiga perusahaan swasta yang dimaksud adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP).


Ketiganya disebut-sebut memiliki catatan pelanggaran serius, mulai dari pencemaran lingkungan hingga beroperasi tanpa izin sah.


PT ASP, yang merupakan perusahaan asal Tiongkok, telah terindikasi melakukan pelanggaran pidana lingkungan hidup.


Informasi ini didapat langsung dari laporan resmi Kementerian Lingkungan Hidup kepada Komisi XII DPR.


Bambang mengungkapkan bahwa perusahaan ini terbukti mencemari laut di area operasi mereka, yang berpotensi mengancam ekosistem bawah laut Raja Ampat yang dikenal kaya akan keanekaragaman hayati.


Sementara itu, PT KSM diketahui mulai membuka lahan pada tahun 2023 dan telah melakukan kegiatan penambangan sejak 2024.


Lokasi penambangan mereka sangat dekat dengan zona konservasi Raja Ampat, yang seharusnya dilindungi dari aktivitas industri.


Hal ini meningkatkan risiko terhadap spesies endemik dan terumbu karang yang menjadi daya tarik utama wilayah tersebut.


Lebih lanjut, PT MRP disebut telah melakukan pengeboran di 10 titik berbeda, padahal hingga kini belum mengantongi izin lingkungan.


Kegiatan ini, meskipun baru tahap awal, tetap dikategorikan sebagai pelanggaran karena dilakukan tanpa dasar hukum yang sah.


Ironisnya, di tengah semua aktivitas swasta yang dinilai membahayakan, pemerintah justru hanya menindak PT Gag Nikel.


Perusahaan ini diketahui hanya melakukan pelanggaran administratif ringan, seperti pengawasan lingkungan yang perlu ditingkatkan.


Selain itu, lokasi operasionalnya pun relatif jauh dari pusat kawasan wisata Raja Ampat, yang seharusnya mengurangi urgensi penindakan.


Bambang menyayangkan keputusan tersebut dan menyebut tindakan pemerintah sebagai bentuk ketidakadilan lingkungan.


Ia menambahkan bahwa PT Gag memiliki izin kontrak karya dari pemerintah pusat, sementara tiga perusahaan swasta lainnya hanya mengantongi izin dari pemerintah daerah.


Perbedaan ini, menurut Bambang, tidak seharusnya menjadi dasar perlakuan yang timpang dalam penegakan hukum.


Dalam konteks perlindungan lingkungan, izin yang sah seharusnya diiringi dengan pengawasan ketat, tanpa membeda-bedakan siapa pemiliknya.


Lebih lanjut, Bambang menegaskan bahwa pembiaran terhadap aktivitas tambang ilegal atau merusak oleh swasta adalah bentuk kelalaian negara.


Jika terus dibiarkan, maka kerusakan yang terjadi bisa menjadi permanen dan sulit dipulihkan.


Padahal, Raja Ampat merupakan salah satu kawasan konservasi laut terpenting di dunia, yang memiliki nilai ekologis, budaya, dan ekonomi yang tinggi.


Komisi XII DPR pun mendesak agar pemerintah segera bertindak tegas terhadap seluruh perusahaan yang terindikasi melanggar, tanpa pandang bulu.


Langkah ini penting untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa komitmen terhadap pelestarian lingkungan bukan sekadar wacana.


Dengan sorotan tajam dari parlemen, publik kini menunggu keseriusan pemerintah dalam mengawal keadilan lingkungan di tanah Papua.


Sumber: HukamaNews

Komentar