NARASIBARU.COM - Kebijakan abolisi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto secara resmi kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengundang perhatian banyak pihak.
Salah satunya, Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, yang menyebut langkah Presiden Prabowo tersebut perlu diacungi jempol.
Namun, menurutnya ada tiga persoalan dalam permasalahan ini.
Pertama, apa sesungguhnya yang menyebabkan dua orang ini saja, yaitu Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto saja yang kemudian mendapatkan Abolisi dan Amnesti, bagaimana dengan koruptor-koruptor lainnya?
Apakah mereka mendapatkan layanan serupa? Sehingga kalau kemudian masalah metode ini tidak digamblangkan secara eksplisit, maka jangan salahkan bunda mengandung kalau kemudian dirinya bertanya-tanya apakah keputusan Presiden Prabowo ini sunggu-sungguh objektif, sungguh-sungguh rasional, sungguh-sungguh terukur atau tidak.
“Beda misal ketika ada terpidana, berarti sudah ada dalam penjara, kemudian harus ditakar kembali nasibnya, apakah pantas untuk mendapatkan keringanan misalnya,” ucapnya Reza dikutip dari kanal YouTube @fgMedia pada Rabu (6/8).
Otoritas pemasyarakatan punya yang namanya Risk Assessment.
Risk Assessment itu, diselenggarakan hingga pada akhirnya otoritas pemasyarakatan mantap percaya diri mengatakan napi A kebahayaannya sekian levelnya, napi yang ini tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya, dan napi ini ternyata responsif alias berperilaku baik terhadap program pemasyarakatan, program pembinaan yang telah diselenggarakan.
Kalau hasil risk assesmentnya sebagus itu, maka pemasyarakatan akan memberikan rekomendasi bahwa napi yang satu ini layak untuk mendapatkan keringanan hukuman pidana.
Beda kisah kalau ternyata risk assesmentnya serba negatif, tentu saja pemasyarakatan tidak akan memberikan rekomendasi berupa peringanan hukuman pidana bagi narapidana yang hasil risk assesmentnya serba buruk, serba suram.
Namun, bagaimana dengan amnesti dan abolisi? Sekali lagi tidak terjawab metodenya, cara mengukurnya, tampaknya berlangsung di belakang layar dan tidak pernah diketahui secara utuh, itu masalah metodologi.
Kedua, tentang prospek dari proses hukum yang telah berlangsung.
“Oke, nasib Tom Lembong dan nasib Hasto sudah berhenti, kasus hukumnya sudah berhenti, tetapi kita sesungguhnya tidak bisa tutup mata bahwa jaksa sudah bekerja keras untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh dua nama itu tadi,” ujarnya.
Saksi-saksi sudah diperiksa, bukti-bukti telah didapat dan ditelaah sampai kemudian mereka mengajukan tuntutan sedemikian rupa agar dua terdakwa yaitu Tom dan Hasto dijatuhi hukuman pidana.
Hasil kerja keras jaksa itu ternyata berhasil meyakinkan hakim, itu sebabnya hakim kemudian menjatuhkan vonis bersalah kepada Tom dan kepada Hasto.
“Pertanyaan saya, hasil kerja keras jaksa itu mau kita apakan. Contoh ya, kalaulah perbuatan Tom Lembong itu dianggap sistemik, karena Profesor Mahfud pun mengatakan Tom sebatas melaksanakan perintah, maka bukankah patut ditelusuri siapa yang memberikan perintah dan pihak yang telah memberikan perintah yang salah semestinya juga dimintai pertanggungjawabannya secara pidana,” jelasnya.
Nasib Tom Lembong memang sudah selesai, tetapi nasib kasusnya sekali lagi, jaksa sudah bekerja panjang loh untuk membuktikan tentang adanya pidana, termasuk kemungkinan jaksa sudah mengendus siapa-siapa saja yang berada dalam lingkaran sistemik pidana itu.
“Atas dasar itu, menurut saya kita perlu pilah ini, sekali lagi kita tidak sedang mempersoalkan nasib Tom Lembong karena dia sudah selesai berkat adanya Abolisi dari Presiden Prabowo,” ungkapnya.
Namun, nasib kasusnya tidak serta merta mati, tidak serta merta hilang, kasus itu beserta segala bukti, beserta segala saksi yang sudah ditangani oleh Kejaksaan, semestinya bisa ditindaklanjuti.
Karena kalau tidak, maka justru akan terkesan bahwa seolah-olah abolisi bagi Tom Lembong itu seperti memutus mata rantai penegakan hukum terhadap kasus korupsi, itu yang tidak menyenangkan, itu yang tidak menggembirakan.
Ada kesan, seolah-olah istana lah yang justru menghambat penegakan hukum terhadap kasus korupsi itu sendiri.
Anggapan ini harus dikoreksi, caranya sekali lagi nasib Tom Lembang sudah selesai, tetapi nasib kasusnya menurut Reza masih layak untuk ditindaklanjuti.
Begitu pula dalam kasus Hasto, Hasto sudah divonis bersalah. Nemang berkat amnesti Hasto tidak lagi harus menjalani hukuman penjara atau denda atau lainnya.
Bukankah Jaksa juga sudah bekerja untuk membuktikan Hasto telah melakukan suap, bukti-bukti, saksi-saksi, sudah dicatat sedemikian rapi di dalam BAP, berita acara pemeriksaan, tersimpan dengan rapi dan sudah diuji sebagai berkas dakwaan di persidangan.
“Sayang bukan, kalau hasil kerja spektakuler itu ternyata diabaikan begitu saja,” terangnya.
Mungkin juga perlu dicari tahu, apakah keputusan Hasto memberikan suap itu murni dari dirinya sendiri, ataukah ada pengaruh, ada tekanan, ada perintah, ada arahan, ada instruksi dari pihak lain?.
Nah yang namanya korupsi sistemik, memang perlu ditelusuri hingga ke akar-akarnya.
Agar bisa ditelusuri hingga ke akar-akarnya, sekali lagi, nasib Hasto sudah selesai, tetapi nasib kasusnya menurutnya pantas untuk dipertimbangkan agar ditindaklanjuti guna membongkar korupsi hingga ke titik yang paling mendasar ke akar-akarnya.
Ketiga, kalau kata menteri hukum Amnesti dan Abolisi itu diberikan untuk tujuan mempersatukan elemen bangsa, menciptakan harmoni rekonsiliasi, pertanyaan rekonsiliasi antara siapa dengan siapa.
Dalam pidana, ketika ada rekonsiliasi, ini seketika mengingatkan Reza pada istilah Restoratif Justice.
Restoratif Justice atau keadilan restoratif, tidak berfokus pada menjatuhkan hukuman kepada pelaku, bukan itu, itu Retributif Justice, keadilan balas dendam.
Keadilan restoratif, bicara tentang bagaimana antara pelaku kejahatan bisa dirukunkan dengan korban kejahatan, sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang lebih baik lagi.
Bukan bicara tentang hukuman, tetapi menciptakan tata kehidupan masyarakat yang lebih harmonis.
“Dengan kerangka berpikir semacam ini, maka bolehlah saya bertanya, rekonsiliasi yang ingin dicapai lewat amnesti dan abolisi, ingin merekonsiliasikan, ingin merukunkan, ingin mendamaikan antara siapa dengan siapa? Ketika ada orang yang divonis bersalah dalam kasus korupsi, maka terdakwa yang sudah divonis bersalah ini ingin didamaikan, ingin dirukunkan dengan siapa? Saya tidak tahu,” ungkapnya.
Atas dasar itu, kendati terdengar sangat luhur ditelinga yaitu demi persatuan, demi harmoni, demi rekonsiliasi, tetapi hati kecil ya merasa tetap bertanya-tanya.
“Sesungguhnya, secara konkrit ini mau mempersatukan antara siapa dengan siapa? Mau mengharmoniskan siapa dengan siapa? Mau merekonsiliasi, mau merukunkan siapa dengan siapa? Lagi-lagi tidak terjawab,” ujarnya.
“Apa boleh buat, pada akhirnya saya ingin menarik kesimpulan seperti ini, bahwa dari sisi politik amnesti dan abolisi tampaknya memang merupakan upaya konstruktif untuk mengoreksi proses penegakan hukum yang dianggap sudah compang camping akibat adanya intervensi kekuasaan, itu dari sisi politik,” jelasnya.
Namun dari sisi hukum, dirinya mengaku was-was, bahwa amnesti dan abolisi bagi terdakwa korupsi justru meletakkan sebuah preseden buruk bagi prospek pemberantasan korupsi Indonesia kedepannya.
“Benarkah ini kado indah dalam rangka hari kemerdekaan kita tahun ini, tanda tanya,” tandasnya.
Sumber: JPNN
Artikel Terkait
Ini Sejumlah Kasus Dugaan Korupsi yang Menyeret Nama Jokowi, Semua Bilang Atas Perintah Presiden
ICW Beberkan Modus Korupsi Katering Jemaah Haji, Negara Dirugikan Rp 306 Miliar!
Kejagung: Silfester Matutina Wajib Dipenjara Meski Klaim Damai dengan JK
Janji Jerat Big Fish, KPK Kebut Tuntaskan Kasus Google Cloud dan Kuota Haji