Lebih lanjut Dian menambahkan ada tiga lembaga negara yang berwenang mengintepretasikan dan meluruskan pemaknaan putusan MK nomor 90 itu. Yakni Komisi Pemilihan Umum atau KPU, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu, dan MK itu sendiri.
" MK dalam menguji UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), seharusnya menerapkan prinsip Purcell Principle. Yakni doktrin bahwa pengadilan tidak boleh mengubah aturan pemilu terlalu dekat dengan pemilu, karena berisiko menimbulkan kebingungan," ujarnya.
"Sehingga putusan MK tersebut hanya dapat diberlakukan pada Pemilu 2029, kecuali putusan itu berorientasi penyelamatan suara pemilih," imbuhnya.
Apabila perubahan aturan pemilu terjadi ketika tahapan pemilu sudah dimulai, menurutnya ini akan membuat penyelenggara pemilu susah payah menyesuaikan aturan main berdasarkan putusan pengadilan tersebut. Sementara KPU menurutnya juga memiliki peluang untuk menganulir pendaftaran pasangan capres-cawapres yang tidak sesuai dengan pemaknaan putusan MK tersebut saat tahapan verifikasi bakal pasangan calon.
" Peluang ini dimungkinkan yakni berpegang pada pasal 230-232 UU 17/2017 tentang Pemilu. Namun, peluang ini sudah terlewat dari tahapan Pemilu saat ini. Meski punya kewenangan itu, kami sangsi jika KPU berani untuk menggunakan penafsiran putusan tersebut untuk menilai. Apakah capres-cawapres yang diusulkan oleh partai politik memenuhi kualifikasi dalam putusan MK itu. Karena faktanya KPU hanya mengikuti pendapat mainstream bahwa putusan MK memang memperbolehkan kepala daerah usia di bawah 40 tahun atau sepanjang pernah atau sedang menjabat dapat diusulkan sebagai capres-cawapres," pungkasnya. ( Sts)
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: cakrawala.co
Artikel Terkait
Nasib Gubernur Riau Abdul Wahid Segera Diumumkan KPK
UAS Kutip Hadist Usai Gubernur Riau Abdul Wahid yang Didukungnya Kena OTT KPK
Terjaring OTT KPK, Anak Buah Cak Imin Ini Punya Harta Rp4,8 Miliar
Khawatir Diganggu, Subhan Palal Rahasiakan Saksi Ahli Ijazah Gibran