Apakah Prabowo Tidak Akan 'Memecat' Mendagri Tito dan 'Menghukum' Gubernur Bobby Atas Sengketa 4 Pulau Aceh?
Oleh: Ali Syarief
Akademisi
Tersebutlah satu negeri di ujung barat Nusantara, tanah Aceh, tempat sejarah bertabur darah dan keberanian, tempat para syuhada tidur tenang di antara doa-doa panjang rakyatnya.
Namun kini, angin dari arah utara kembali ribut.
Bukan karena konflik bersenjata, bukan pula karena gelombang tsunami, melainkan oleh perkara yang pada mulanya terdengar kecil—seperti biji lada yang tersembunyi dalam nasi goreng—tetapi sesungguhnya bisa membuat tenggorokan kekar para jenderal pun tercekat: empat pulau Aceh mendadak bukan milik Aceh.
Empat biji pulau—Pulau Panjang, Pulau Rondo, Pulau Bras, dan Pulau Rusa—tiba-tiba saja tak lagi beralamatkan Aceh, melainkan Sumatera Utara.
Ya, Sumatera Utara yang kini gubernurnya adalah seorang menantu ex-presiden, Bobby Nasution. Sebuah kebetulan yang terlalu canggung untuk disebut kebetulan.
Seperti biasa, Jakarta mendadak menjadi bisu. Mendagri Tito Karnavian, jenderal yang lebih fasih berbicara soal stabilitas daripada keadilan, terlihat santai saja seolah sedang menonton konser jazz di Senayan.
Pemerintah pusat tak memberi penjelasan jernih, malah cenderung bermain petak umpet dengan konstitusi dan logika.
Dan di tengah keributan ini, rakyat pun bertanya, “Di mana Prabowo?”
Ah, Prabowo. Presiden terpilih yang sedang hingar bingar di kehormatan panggung besar Republik. Y
Yang dulunya dikenal dengan sorot mata elang dan suara membahana seperti genderang perang.
Yang kata para pendukungnya akan tegas, adil, patriotik, dan… tidak akan membiarkan sejengkal tanah pun dirampas.
Tapi Benarkah?
Kita tentu tahu, Prabowo bukan anak kemarin sore dalam dunia politik dan militer. Ia tahu bahwa pulau adalah bukan sekadar tanah, melainkan harga diri bangsa.
Maka jika empat pulau Aceh bisa “digeser” tanpa musyawarah dengan rakyatnya, lalu di mana letak martabat itu?
Kalau Kokoh Jaya Suprana mau menulis dengan gaya jenaka namun menohok: “Ini negara atau panggung sandiwara keluarga? Anak di sini, menantu di situ, dan kita semua disuruh tepuk tangan?”
Dan memang, peristiwa ini bukan sekadar salah ketik dalam dokumen negara. Ini adalah tes pertama bagi Prabowo sebagai presiden terpilih.
Apakah ia akan berdiri tegak sebagai penengah yang adil, atau justru tunduk pada skema warisan kekuasaan keluarga Jokowi?
Membiarkan Tito dan Bobby begitu saja, tanpa koreksi dan evaluasi, berarti Prabowo mengamini bahwa hukum bisa ditekuk, dan peta bisa diubah sesuka hati.
Kalau begitu, mengapa dulu kita mati-matian bicara tentang keutuhan NKRI? Untuk apa para prajurit gugur menjaga perbatasan kalau batas wilayah bisa direvisi begitu saja oleh para penguasa meja kerja?
Dalam gaya kritikus lain : Republik ini kadang terlalu ramah pada kekuasaan dan terlalu pelit pada kebenaran.
Ia mendekap erat para penguasa, tetapi meninju wajah rakyat yang menuntut kejelasan.
Rakyat Aceh bukan makhluk kelas dua. Mereka punya sejarah panjang berdiri tegak saat pemerintah pusat goyah. Mereka tahu mana hak dan mana tipu daya.
Maka jika Prabowo ingin dikenang sebagai pemimpin sejati, ia harus bersuara sekarang. Bukan besok. Bukan setelah semua sudah ditandatangani dan disyahkan dalam sunyi.
Sebab dalam dunia politik, diam bukan emas. Diam bisa berarti ikut serta.
Dan jika Prabowo ikut serta dalam drama ini—maka sejarah akan mencatat bahwa empat pulau bukan saja pindah provinsi, tetapi juga menjadi saksi bahwa keadilan bisa dijual di toko oleh-oleh bandara. ***
Sumber: FusilatNews
Artikel Terkait
SOSOK Politisi Ungkap Ijazah Jokowi Dicetak di Pasar Pramuka, Berani Bongkar Nama-Nama Yang Terlibat!
Surat Terbuka Untuk Presiden Prabowo Subianto: Mendagri Bermain Api di Lautan Minyak, Pak Presiden, Kapan Tito Dicopot?
Diskriminatif! Israel Larang Keluarga Muslim dan Kristen Masuk Bunker Perlindungan
Kehilangan Ibu dan Kakak Imbas Kasus Pembunuhan di Padang Pariaman, Ibnu: Saya Tak Akan Maafkan SJ