Eks Wakil Ketua KPK Laode M Syarif: Reformasi Internal Polri Tidak Jalan dalam 10 Tahun Terakhir

- Sabtu, 13 September 2025 | 07:25 WIB
Eks Wakil Ketua KPK Laode M Syarif: Reformasi Internal Polri Tidak Jalan dalam 10 Tahun Terakhir


NARASIBARU.COM -
  Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Laode M Syarif menekankan pentingnya pembentukan komisi reformasi Polri.

Hal ini lantaran menurutnya, reformasi internal dalam tubuh kepolisian Republik Indonesia tidak berjalan maksimal, terutama dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Adapun pembentukan komisi reformasi Polri merupakan salah satu tuntutan/usulan yang disampaikan oleh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) kepada Presiden RI Prabowo Subianto dalam pertemuan di Istana Kepresidenan RI, Kamis (11/9/2025) malam.

GNB adalah kelompok yang terdiri dari tokoh-tokoh lintas agama dan bangsa seperti Pendeta Gomar Gultom (mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia/PGI), Lukman Hakim Saifuddin (mantan Menteri Agama RI), dan Nasaruddin Umar (Menteri Agama RI saat ini).

Usai pertemuan, Pendeta Gomar Gultom mengungkap bahwa Prabowo akan membentuk komisi reformasi Polri dalam waktu dekat.

"Tadi juga disampaikan oleh Gerakan Nurani Bangsa, perlunya evaluasi dan reformasi kepolisian, yang disambut juga oleh Pak Presiden, (yang) akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian," kata Pendeta Gomar Gultom, dilansir Kompas.com.

"Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak," tambahnya.

Sementara, GNB menyerahkan teknis dan detail pembentukan komisi reformasi Polri kepada Prabowo untuk disampaikan kepada publik.

Reformasi Internal Polri Tidak Jalan dalam Satu Dekade Terakhir


Dalam program Sapa Indonesia Malam yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Jumat (12/9/2025), Laode M Syarif mengungkap bahwa reformasi internal Polri sudah tidak berjalan selama 10 tahun terakhir.

"Terus terang ya, sebagai orang yang suka bantu internal polisi sekitar 20 tahun lebih. Sepuluh tahun terakhir ini tuh reformasi internal Polri tidak jalan sama sekali," ungkap Laode.

Baca juga:  Sosok 25 Kapolri dari Masa ke Masa, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo hingga Listyo Sigit Prabowo

Kemudian, ia mencontohkan soal dirilisnya Police Governance Index atau Indeks Tata Kelola (ITK) pada 2015 lalu untuk mengevaluasi kinerja kepolisian.

Laode lantas menjabarkan, bagaimana unit-unit kepolisian tidak bersedia menjalankan penilaian atau pengukuran evaluasi berdasarkan ITK.

"Contoh ya, pada saat sebelum ke KPK itu, saya masih ingat tahun 2015, kita launch [meluncurkan, red] police governance index [Indeks Tata Kelola Kepolisian, red]," ujar pakar hukum lingkungan kelahiran Muna, Sulawesi Tenggara 16 Juni 1965 ini.


"Di situ kita tentukan semuanya, mana yang sudah memenuhi, dari polantas, polda-polda dan seterusnya," imbuhnya.

"Terakhir itu, yang kita ingin ukur adalah sebenarnya Reskrim (Reserse Kriminal), tapi akhirnya polisi enggak pernah mau diukur itu yang Reskrim, seperti itu," jelasnya.

Catatan: 


1. Indeks Tata Kelola Kepolisian (ITK) adalah alat yang digunakan untuk mengukur kinerja tata kelola kepolisian di tingkat Mabes, Polda, dan Polres dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. 

2. ITK telah dilakukan sejak tahun 2015 dengan tujuan mewujudkan profesionalisme Polri yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

3. Pengukuran ini didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola Polri yang meliputi kompetensi, daya tanggap, perilaku transparan, keadilan, efektivitas, dan akuntabilitas.

Hingga akhirnya, ketika Kapolri ke-23 Jenderal Tito Karnavian diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri) pada 2019 dan posisi Kapolri ke-24 ditempati Jenderal Listyo Sigit Prabowo, penilaian dan evaluasi kinerja Polri tidak lagi dilakukan.

"Akhirnya Pak Tito pindah menjadi menteri. Di bawah [Kapolri, red] Pak Sigit itu ya, habis itu penilaiannya enggak ada lagi," papar Laode.

Lebih lanjut, Laode juga menuturkan, reformasi struktural pada tubuh Polri tidak berjalan sesuai blueprint (cetak biru atau rancangan terperinci) yang disusun Mabes Polri.

Bahkan, menurut Laode, unit pelaksana tugas Polri di level kecamatan, yakni Kepolisian Sektor (Polsek), malah tidak diperhatikan.

"Yang berikutnya lagi, saya pikir ini yang penting. Sebenarnya Mabes Polri kan sudah punya —karena saya ikut bantu dari dulu— blueprint untuk reformasi internal Polri, termasuk strukturalnya," ujar Laode.

"Itu sudah jelas, Mabes kecil, Polda sedang, Polres besar, Polsek kuat. Itu blueprint Polri, tapi apa yang terjadi?" tambahnya.

"Mabes semakin membesar, Polda semakin membesar, Polsek enggak pernah diperhatikan," jelasnya.

"Jadi reformasi struktural itu juga tidak berjalan, bahkan memperluas kewenangan ke mana-mana," tandasnya.

Tuntutan Pembentukan Komisi Reformasi Polri

Tuntutan pembentukan komisi reformasi Polri merujuk pada aspirasi masyarakat sipil, aktivis, mahasiswa, dan kelompok seperti Gerakan Nurani Bangsa (GNB) untuk membentuk lembaga independen yang bertugas mengevaluasi dan mereformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Tuntutan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai isu seperti kekerasan aparat (khususnya dalam pengendalian massa demonstrasi), kurangnya akuntabilitas, dan kebutuhan peningkatan profesionalitas Polri.

Tuntutan ini menjadi sorotan utama setelah kerusuhan demonstrasi pada 25-29 Agustus 2025, yang menimbulkan korban jiwa, luka-luka, dan kerusakan fasilitas umum.

Termasuk kasus tewasnya pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan (21), setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) Rimueng dengan nomor polisi PJJ 17713-VII milik Brimob Polri, di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025) malam.

Sumber: tribunnews

Komentar