NARASIBARU.COM - Media internasional dan kanal media sosial beberapa hari terakhir sejak 17-20 September diramaikan kontroversi perang kata diplomasi antara PM Israel Benjamin Netanyahu dan Presiden Turkiye Recep T Erdogan.
Ceritanya begini, 'Jalur Ziarah' (Pilgrimage Road) di Silwan, Al-Quds Timur, diresmikan pada 15 September 2025 -persis hari penutupan KTT Doha- dalam upacara yang dipimpin langsung oleh Netanyahu.
Acara peresmian tersebut juga dihadiri oleh tokoh-tokoh internasional, termasuk Sekretaris Negara/Menlu AS Marco Rubio dan Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, dua tokoh garis keras pro zionis di AS.
Dalam pidatonya saat peresmian, Netanyahu menyinggung upaya yang pernah dilakukannya pada tahun 1998 kepada PM Turki Mesut Yılmaz agar Prasasti Siloam dikembalikan.
Dia menyebut bahwa Yılmaz menolak karena, menurut Netanyahu, ada kekhawatiran dari “pemilih Islam” di Istanbul yang ketika itu dipimpin oleh Walikota Recep Tayyip Erdoğan.
Entah kemasukan angin apa, Netanyahu tetiba tantrum sambil ngamuk dia bilang, “This is our city. Mr. Erdoğan, this is not your city … It will always be our city. It will not be divided again.”
Respon Erdoğan datang tidak lama setelah itu, dalam sebuah pidato pada 17 September 2025, saat acara peletakan batu pertama kompleks Kementerian Luar Negeri Turkiye di Ankara.
Ia menyatakan bahwa artefak itu milik Turki dan mengulangi bahwa Al-Quds Timur adalah hak rakyat Palestina.
Di depan massa yang menyemut saat pidato di ajang TeknoFest 2025, Erdogan kembali menegaskan, "Anda (Netanyahu) tidak akan pernah mendapatkan Prasasti Siloam, bahkan satu kerikil pun bagian dari Al-Quds!".
Perebutan legitimasi atas Kota Al-Quds tidak hanya berlangsung di ranah militer, diplomasi, maupun hukum internasional, tetapi juga pada aras simbolik berupa artefak arkeologis dan narasi sejarah.
Peresmian proyek Jalan Ziarah oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Silwan, Al-Quds Timur, menjadi contoh paling mutakhir.
Proyek ini diklaim sebagai jalur kuno menuju Bait Suci berdasarkan rujukan teks Alkitab, sehingga seolah-olah mengafirmasi klaim historis Israel atas kota tersebut.
Dalam konteks itu, isu Prasasti Siloam kembali mencuat. Artefak kuno yang ditemukan pada 1880 di terowongan air Raja Hizkia ini dianggap bukti sejarah kehadiran Yahudi di Yerusalem kuno.
Namun, artefak tersebut kini tersimpan di Museum Arkeologi Istanbul karena ditemukan di masa Kekhalifahan Ottoman.
Pemerintah Turki secara konsisten menolak permintaan Israel untuk “mengembalikannya” sejak hampir tiga dekade lalu.
Data Historis Prasasti Siloam
Prasasti Siloam ditemukan secara tidak sengaja tahun 1880 dalam terowongan air (Hezekiah’s Tunnel) di Yerusalem, oleh seorang murid Conrad Schick yang tersandung batu dan jatuh ke air.
Prasasti ditulis dalam bahasa Ibrani kuno dengan aksara Paleo-Hebrew.
Isinya menggambarkan proyek penggalian air untuk membawa air dari sumber Gihon ke kolam Siloam, kira-kira 2.700 tahun lalu, di masa Raja Hizkia.
Terowongan digali dari dua ujung yang kemudian bertemu di tengah.
Berdasarkan penanggalan radiokarbon (C-14) dan analisis material bangunan serta sisa plester/plant material, penanggalan konstruksi sistem air Siloam berkisar sekitar 800 SM, atau abad ke-8 SM.
Studi geologi dan epigrafi menunjukkan bahwa tunnel dan prasasti tersebut adalah satu sistem teknis dan simbolis yang terkait erat dengan kebutuhan air dan pertahanan Yerusalem dalam konteks ancaman bangsa Asyur.
Artefak sebagai Alat Politik
Artefak arkeologis dalam konteks konflik modern seringkali digunakan bukan sekadar objek penelitian akademis, melainkan sebagai instrumen 'politik identitas'.
Israel berupaya memanfaatkan Prasasti Siloam untuk membangun narasi bahwa Al-Quds adalah “kota Yahudi abadi.”
Upaya ini memperlihatkan bagaimana sejarah dimobilisasi untuk kepentingan kontemporer.
Namun, pendekatan demikian problematik. Kehadiran suatu komunitas dalam lintasan sejarah tidak otomatis memberikan hak kedaulatan politik di masa kini.
Kehadiran Yahudi di Al-Quds ribuan tahun lalu memang merupakan fakta sejarah.
Alquran pun mengonfirmasinya, tentu dengan catatan khusus.
Yang uraiannya perlu artikel khusus menjelaskannya dari tinjauan sejarah, filologi, arkeologi biblikal dan perbandingan narasinya dengan teks dan tafsir Alquran sebagai wahyu final dan otentik.
Tetapi menjadikannya dasar klaim politik atas kota yang kini dihuni oleh bangsa Palestina, dan yang telah melalui rezim Romawi, Bizantium, Islam Arab, Ottoman, hingga Mandat Britania, jelas tidak sejalan dengan prinsip keadilan sejarah maupun hukum internasional.
Tamparan Narasi Erdogan
Ketika Netanyahu menyatakan secara provokatif di Silwan: "Ini kota kami.
Bukan kota Anda, Mr Erdogan!”, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menanggapi dengan tegas: “Artefak itu milik Turki, dan Al-Quds Timur adalah hak rakyat Palestina.”
Erdoğan menyebut bahwa Yerusalem adalah kehormatan dan keagungan semua umat Islam dan seluruh umat manusia, serta membela Yerusalem berarti membela perdamaian dan kemanusiaan.
Ia juga menegaskan bahwa perjuangan Turki akan terus berlanjut sampai negara Palestina merdeka berdiri dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, berdasarkan perbatasan tahun 1967.
Respons Erdogan merepresentasikan dua hal.
Pertama, penegasan posisi hukum artefak berdasarkan prinsip kedaulatan negara Ottoman sebagai entitas sah pada masa penemuan.
Kedua, pengingat bahwa status politik Al-Quds Timur adalah wilayah pendudukan ilegal menurut hukum internasional.
Dengan demikian, klaim Israel melalui simbol arkeologi ditampik melalui argumen historis sekaligus legal.
Analogi dan Kritik terhadap Klaim Historis
Secara akademis, klaim Israel dapat dikritisi dengan analogi sederhana. Belanda pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun.
Dalam kurun waktu itu tentu saja banyak situs peninggalan Belanda, mulai dari istana ikonik, jembatan, bendungan, jalur kereta api, hingga printilan alat dapur.
Namun, fakta sejarah tersebut tidak memberikan dasar legitimasi bagi Belanda untuk menuntut kedaulatan atas Indonesia hari ini.
Demikian pula, kehadiran Yahudi di Yerusalem ribuan tahun lalu tidak serta-merta menjadi landasan bagi Israel modern untuk menjadikan Al-Quds sebagai “ibu kota abadi.” Sejarah adalah data, bukan lisensi kekuasaan.
Perspektif Hukum Internasional
Hukum internasional menempatkan Al-Quds Timur, termasuk kompleks Al-Aqsa, sebagai wilayah pendudukan.
Resolusi-resolusi PBB menegaskan bahwa tindakan Israel—baik berupa permukiman, penggalian arkeologi, maupun pembangunan infrastruktur—adalah ilegal.
Dengan demikian, klaim Israel atas Prasasti Siloam tidak memiliki konsekuensi yuridis apapun.
Artefak sejarah, seberapapun pentingnya, tidak dapat dijadikan dasar legal untuk mendefinisikan kedaulatan.
Sebaliknya, penguasaan Israel atas wilayah itu dipandang sebagai bagian dari proyek kolonialisme modern.
Kesimpulan
Kasus Prasasti Siloam memperlihatkan secara telanjang bahwa dalam konflik Al-Quds, pertempuran narasi sejarah sama pentingnya dengan pertempuran militer dan diplomasi.
Israel berusaha menggunakan simbol-simbol arkeologis untuk membangun legitimasi historis, tetapi langkah tersebut tidak mampu menutupi fakta hukum yang menjadi konsensus internasional: Al-Quds Timur adalah wilayah Palestina yang diduduki secara ilegal.
Sementara itu, respons Turki mengingatkan dunia bahwa sejarah tidak bisa direduksi menjadi alat propaganda, dan bahwa kedaulatan politik harus berpijak pada hukum internasional, bukan mitos politik.
Dengan demikian, masa depan Al-Quds tidak ditentukan oleh sepotong prasasti, melainkan oleh prinsip keadilan, legitimasi hukum, dan hak rakyat Palestina untuk hidup merdeka dan berdaulat di atas tanahnya.
Sumber: Republika
Artikel Terkait
DAFTAR 12 Negara Muslim Terkaya di Dunia, Ternyata Malaysia Lebih Kaya dari Indonesia!
GEGER Surat Perjanjian MBG di Sleman hingga Blora: Jika Anak Keracunan, Ortu Wajib Diam!
Borok MBG Tercium Dunia! Media Asing Sorot Ribuan Anak Indonesia Tumbang Keracunan
Ini Sosok Profesor China Yang Berani Debat Sengit dan Marahi Perwira Militer Israel