Pendidikan memang bukan satu-satunya indikator kompetensi, namun ia adalah fondasi penting bagi pengambilan keputusan berbasis nalar, data, dan visi jangka panjang.
Dengan hanya mensyaratkan kemampuan dasar, kita membuka ruang yang terlalu lebar bagi populisme tanpa kapasitas, retorika tanpa kompetensi.
Dari sisi politik elektoral, keputusan MK ini menguntungkan partai-partai besar yang selama ini kerap mengedepankan popularitas di atas integritas.
Mereka bisa mengusung figur yang populer tapi minim pemahaman sistemik tentang tata negara.
Akibatnya, parlemen dan eksekutif bukan hanya berpotensi didominasi oleh figur-figur tanpa latar belakang intelektual memadai, tapi juga menjadi ladang subur bagi pragmatisme dan transaksionalisme politik.
Lebih jauh lagi, keputusan ini menunjukkan bahwa upaya reformasi kelembagaan tak bisa hanya mengandalkan jalur hukum.
Diperlukan keberanian politik -- political will -- untuk membenahi sistem rekrutmen pejabat publik agar tidak sekadar demokratis, tapi juga meritokratis.
Kesimpulan
Jika demokrasi hanya dipahami sebagai soal elektabilitas, bukan soal kualitas, maka kita sedang menggiring bangsa ini pada pemiskinan intelektual dalam ruang kekuasaan.
Dan ketika ruang itu dihuni oleh mereka yang tidak memahami kompleksitas persoalan, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya.
Pengamat Politik Universitas Nasional (Unas)
Artikel Terkait
Ahmad Ali Heran PSI Dua Kali Tak Lolos Senayan padahal Sudah Jual Nama Jokowi: Yang Bodoh Siapa?
Santer Dimakzulkan, Ini Rekam Jejak Ketum PBNU Gus Yahya dengan Zionis Israel
Ternyata Saat Pacaran dengan Dosen Untag, AKBP Basuki Status Pisah Ranjang dengan Istri
KPK Bantah Uang Rp300 Miliar yang Dipamerkan Pinjaman dari Bank, Ini Penjelasannya