OLEH: SUROTO
KITA hari ini hidup di masa ketika akal sehat ekonomi seringkali dikalahkan oleh logika pasar dan kepentingan elite manipulatif. Di tengah jargon efisiensi dan profesionalisme yang kerap digaungkan, terselip kenyataan pahit bahwa kesenjangan ekonomi justru tumbuh subur di lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi contoh moral bagi dunia usaha nasional, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ambil contoh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI. Dengan sekitar 80 ribu karyawan, BRI adalah salah satu bank dengan jumlah pegawai terbesar di Asia Tenggara. Namun angka yang menakjubkan bukan hanya pada jumlah karyawannya, melainkan pada jurang penghasilan di dalam tubuhnya sendiri. Seorang pegawai dengan posisi terendah menerima sekitar Rp5,2 juta per bulan sesuai upah minimum regional (UMR) di Jakarta atau 62,4 juta per tahun. Sementara direktur utamanya memperoleh total gaji dan bonus tahunan mencapai sekitaran Rp100 miliar per tahun.
Jika dirata-ratakan, selisih antara keduanya setara dengan rasio sekitar 1 banding 1. 602. Artinya, dalam satu tahun, seorang direktur utama memperoleh pendapatan yang sama dengan upah seorang pegawai paling bawah selama lebih dari enam belas abad lebih. Rasio seperti ini bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga tidak bermoral, terlebih jika diukur dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.” Frasa ini bukan sekadar hiasan konstitusional, melainkan penegasan bahwa sistem ekonomi Indonesia dibangun atas dasar demokrasi ekonomi. Di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dengan semangat efisiensi berkeadilan.
Namun, apa yang kita lihat hari ini di BUMN justru kebalikannya. Efisiensi dimaknai secara sempit sebagai kemampuan menghasilkan laba setinggi-tingginya dengan biaya serendah mungkin. Ukuran kinerja direksi ditentukan oleh profit, bukan oleh nilai sosial atau manfaat ekonomi bagi rakyat. Maka tak heran, bonus direksi membengkak di saat yang sama ketika kesejahteraan pegawai biasa nyaris tak bergerak, dan pelayanan kepada publik justru makin komersial.
BUMN kini lebih mirip korporasi kapitalis berlabel negara daripada alat demokrasi ekonomi. Bukan sejahterakan rakyat tapi memelintir leher rakyat. Padahal, BUMN dibangun dengan dana publik dan seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat banyak.
Belajar dari Spanyol
Untuk menakar rasionalitas gaji dan keadilan dalam sebuah perusahaan besar, mari menengok ke Spanyol, ke jantung wilayah Basque, tempat berdirinya Mondragon Corporation, federasi koperasi pekerja terbesar di dunia, dengan jumlah anggota yang juga sekitar 80 ribu orang, hampir sama dengan BRI.
Mondragon berdiri sejak 1956, tumbuh menjadi jaringan lebih dari seratus koperasi di bidang manufaktur, perbankan, pendidikan, dan ritel. Namun yang paling menakjubkan bukanlah skala bisnisnya, melainkan etos keadilannya. Di sana, gaji tertinggi dibatasi maksimal enam kali lipat dari gaji terendah. Rata-rata rasio di berbagai unit bahkan hanya 5 banding 1. Aturan ini dimasukkan dalam statuta atau Anggaran Dasar (AD) lembaga.
Artinya, seorang direktur di Mondragon tidak mungkin menerima gaji 100 kali lipat dari bawahannya, apalagi seribu enam ratus kali. Rasio itu diatur melalui keputusan demokratis para anggota yang sekaligus pemilik perusahaan. Dalam koperasi, setiap pekerja adalah pemilik, punya hak suara yang sama, dan ikut menentukan arah perusahaan.
Filosofinya sederhana, keadilan bukan musuh efisiensi. Justru keadilan lah yang membuat efisiensi menjadi berkelanjutan. Buktinya, selama krisis global 2008, ketika banyak perusahaan besar memecat ribuan pegawainya, Mondragon memilih menurunkan upah bersama-sama agar tak satupun anggota kehilangan pekerjaan. Termasuk ketika hadapi krisis ekonomi akibat Covid-19.
Konsep “efisiensi-berkeadilan” yang terkandung dalam Pasal 33 ayat 4 seharusnya menjadi fondasi bagi sistem penggajian di BUMN. Efisiensi tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab sosial. Jika efisiensi hanya diukur dengan laba, maka yang tumbuh hanyalah efisiensi teknokratis yang kejam dan menyingkirkan manusia sebagai subjek ekonomi.
Artikel Terkait
Kiper Muda Korban TPPO Kamboja Pulang, Ditawari Kontrak Palsu Main di Medan
Dipermudah Prabowo, Dipersulit Bahlil: Tambang Rakyat Menjerit
Begini Tampang Wanita Viral Pegang Al Quran Tanpa Busana, Polisi Cari Pelaku
Sejak Lama Mundur sebagai Pengacara dr Tifa di Kasus Ijazah Jokowi, Ini Sosok Ahmad Khozinudin