Rasio Gaji BUMN yang Tidak Rasional

- Kamis, 09 Oktober 2025 | 07:30 WIB
Rasio Gaji BUMN yang Tidak Rasional


Rasio gaji 1.602 :1 seperti di BRI bukanlah efisiensi, melainkan ketimpangan struktural yang menumpulkan semangat kerja dan mengikis solidaritas. Dalam jangka panjang, ketimpangan seperti ini justru menciptakan inefisiensi sosial dimana langsung menurunkan loyalitas, meningkatnya stres kerja, dan lahirnya jurang psikologis antara manajemen dan pekerja.


Sementara itu, sistem pengupahan yang egaliter seperti di Mondragon justru mendorong partisipasi dan rasa kepemilikan. Ketika jarak penghasilan kecil, pekerja lebih mudah memahami bahwa keberhasilan perusahaan adalah juga keberhasilan dirinya. Produktivitas tidak datang dari ketakutan, melainkan dari rasa memiliki.


Masalah utama BUMN kita bukanlah kurangnya profesionalisme, melainkan hilangnya rasionalitas moral dalam menafsirkan peran ekonomi negara.


Rasionalitas di sini bukan sekadar efisiensi hitung-hitungan, melainkan rasionalitas sosial dan kesesuaian antara tujuan ekonomi dengan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi dasar negara.


Pemerintah sering menganggap sistem penggajian tinggi sebagai insentif untuk menarik talenta terbaik. Padahal, pengalaman Mondragon justru membuktikan bahwa talenta terbaik tidak selalu digerakkan oleh imbalan tinggi, melainkan oleh makna dan nilai dari pekerjaannya. Di sana, para manajer memilih bertahan karena merasa bagian dari misi sosial kolektif, bukan sekadar mengejar bonus tahunan.


Jika BRI dengan jumlah pegawai setara dengan Mondragon bisa mengubah orientasinya dari profit semata menjadi kesejahteraan bersama, bukan mustahil Indonesia akan memiliki BUMN yang bukan hanya besar, tapi juga bermartabat. Tidak justru mencekik rakyat. 


Tata Ulang 


Sudah saatnya kita menata ulang makna rasional dalam BUMN. Rasional bukan berarti gaji direksi dan komisaris harus fantastis agar perusahaan kompetitif. Rasional berarti setiap rupiah yang dibayarkan kepada direksi harus sebanding dengan manfaat sosial dan ekonomi yang mereka hasilkan untuk publik.


BUMN, sesuai amanat konstitusi, bukan instrumen untuk memperkaya elite manajerial, melainkan alat perjuangan ekonomi rakyat. Jika rasio gaji di BUMN bisa ditekan menjadi lebih manusiawi misalnya 10:1 atau bahkan 6:1 seperti di Mondragon maka bukan hanya keadilan sosial yang tercapai, tetapi juga kepercayaan publik akan meningkat. 


Keadilan sosial bukanlah beban bagi efisiensi, justru keadilan adalah bentuk tertinggi dari efisiensi itu sendiri. Pasal 33 bukan romantisme masa lalu, melainkan pedoman rasional bagi masa depan ekonomi Indonesia yang ingin berdaulat, berkeadilan, dan berperikemanusiaan.


Rasio gaji 1.602 :1 di tubuh BUMN seperti BRI adalah cermin betapa jauh kita tersesat dari amanat pendiri bangsa. Kita perlu mengembalikan nalar ekonomi kita ke tempatnya, bahwa kesejahteraan bersama, bukan kemewahan segelintir orang, adalah ukuran sejati kemajuan. Kita mestinya membangun pertumbuhan kekayaan rakyat bukan individu. 


Kita butuh keberanian moral untuk menegakkan kembali prinsip efisiensi yang berkeadilan, sebagaimana dihidupkan oleh Pasal 33 UUD 1945 dan dibuktikan oleh Mondragon di Spanyol.


Hanya dengan itu, ekonomi kita benar-benar bisa disebut rasional dalam arti yang paling manusiawi. Kecuali memang kita ingin ramai ramai mengamini sistem liberal kapitalis yang menindas. 




(Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)


Halaman:

Komentar