Fenomena Dasco: Bayang-Bayang Kekuasaan di Balik DPD

- Kamis, 09 Oktober 2025 | 10:20 WIB
Fenomena Dasco: Bayang-Bayang Kekuasaan di Balik DPD


GELOMBANG
tudingan korupsi berjamaah di tubuh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI memunculkan satu nama yang menarik perhatian publik: Sufmi Ahmad Dasco, Wakil Ketua DPR RI sekaligus politisi senior Partai Gerindra. Dalam pusaran kontroversi pemilihan Ketua DPD periode 2024–2029, nama Dasco disebut oleh mantan Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti sebagai sosok yang “ditakuti banyak orang”. Pertanyaannya, mengapa seorang wakil ketua DPR bisa begitu berpengaruh di lembaga yang secara konstitusional berdiri sejajar namun terpisah dari DPR?

La Nyalla tidak menuding langsung, tetapi pernyataannya menggambarkan adanya bayang kekuasaan yang menjangkau lintas lembaga. Ia menegaskan, banyak pihak di DPD seolah “takut” pada Dasco. Bahkan, dalam podcast Forum Keadilan TV, La Nyalla menantang narasi itu dengan kalimat yang kini viral: “Untuk apa takut sama Dasco, emangnya dia siapa?”

Pertanyaan retoris itu bukan sekadar ekspresi emosional, melainkan gugatan moral terhadap relasi kekuasaan yang tidak sehat antara lembaga legislatif dan eksekutif. Apalagi, tudingan bahwa Dasco “mengkondisikan” hasil pemilihan pimpinan DPD agar selaras dengan kepentingan pemerintahan Prabowo membuat publik bertanya-tanya: apakah DPD masih independen, atau sudah tersandera oleh logika politik kekuasaan?

Fenomena ini sejatinya tidak baru. Dalam Political Power and Social Theory (Mills, 1956), sosiolog C. Wright Mills menyebut fenomena seperti ini sebagai “the power elite”—suatu jejaring informal antara militer, politik, dan ekonomi yang memonopoli keputusan publik di balik layar. Ketika elite semacam ini menembus batas kelembagaan, demokrasi berubah menjadi sekadar formalitas.

Bagi publik, pengakuan La Nyalla bahwa “ada ketakutan pada Dasco” menggambarkan betapa dalamnya pengaruh politik informal di Senayan. Ketakutan itu bukan semata pada pribadi Dasco, tetapi pada sistem yang ia simbolkan: sistem politik transaksional yang mengandalkan patronase, bukan meritokrasi. Dalam struktur semacam itu, keberanian untuk berbeda pandangan dianggap ancaman, bukan keniscayaan demokrasi.

Padahal, dalam sistem presidensial seperti Indonesia, setiap lembaga perwakilan harus berdiri sejajar dan independen. UUD 1945 menegaskan bahwa DPD tidak berada di bawah DPR, apalagi di bawah kendali partai politik mana pun. Namun, praktik politik menunjukkan sebaliknya: partai tetap menjadi sumber utama pengaruh, bahkan pada lembaga yang seharusnya non-partisan.

Di sisi lain, Dasco membantah tudingan tersebut. Ia menyebut tidak tahu-menahu soal dugaan suap dan menegaskan bahwa dirinya tidak perlu ditakuti. Pernyataan ini tentu patut diapresiasi, tetapi juga tidak cukup menutup ruang kritik publik. Sebab, yang disoroti bukan semata keterlibatan pribadi, melainkan struktur kekuasaan yang memungkinkan seseorang di luar DPD memiliki pengaruh besar terhadap dinamika internal lembaga itu.

Kondisi ini memperlihatkan lemahnya imunitas kelembagaan DPD terhadap intervensi politik eksternal. Dalam Democracy in America, Alexis de Tocqueville mengingatkan, “Democracy dies not with tyranny, but with dependence.” Ketika lembaga negara bergantung pada restu politik tertentu, demokrasi kehilangan daya hidupnya.

Oleh karena itu, dua hal penting harus dilakukan. Pertama, penyelidikan KPK atas dugaan suap 95 anggota DPD RI harus dilakukan tanpa tebang pilih. Bukan hanya penerima, tetapi juga jejaring pemberi dan pengatur yang mesti diusut tuntas. Kedua, reformasi etik dan keuangan DPD perlu segera dijalankan agar lembaga ini benar-benar steril dari politik transaksional.

Pernyataan La Nyalla soal ketakutan terhadap Dasco seharusnya menjadi pintu introspeksi nasional: mengapa pejabat publik di republik ini masih bisa “takut” pada individu tertentu? Ketakutan politik adalah tanda dari ketimpangan kekuasaan yang kronis.

Sebagaimana diingatkan oleh John Adams, salah satu pendiri Amerika Serikat, “Power must never be trusted without a check.” Kekuasaan tanpa pengawasan adalah jalan pintas menuju penyalahgunaan.

Maka, pertanyaan “Emangnya dia siapa?” bukan hanya ditujukan kepada Dasco, tetapi kepada seluruh elite politik Indonesia. Apakah kekuasaan masih dianggap hak istimewa pribadi, atau amanah publik yang harus dipertanggungjawabkan?

DPD, DPR, dan semua lembaga negara harus menjawab pertanyaan ini dengan tindakan, bukan pernyataan. Sebab, dalam demokrasi sejati, tidak ada satu pun pejabat yang pantas ditakuti—selain rakyat itu sendiri. (*)

Sumber: liranews

Komentar