NARASIBARU.COM - Jagat media sosial kembali digoncang sebuah rekaman video sensitif berisi tindakan seorang wanita.
Yang diduga meludahi Al-Qur’an sambil mengucapkan hinaan terhadap kitab suci umat Islam.
Dalam hitungan jam, video tersebut menyebar di berbagai platform, memicu kemarahan luas, dan menjadi topik panas nasional.
Namun, di balik kemarahan publik, para analis media sosial, pengamat keamanan digital, hingga tokoh agama menilai ada satu pola yang mengemuk.
Video-video seperti ini kerap dimanfaatkan sebagai alat provokasi untuk memicu perpecahan, kemarahan massal, dan konflik horizontal.
Dalam konteks ini, isu agama kembali menjadi sasaran empuk bagi pihak yang ingin memancing kegaduhan.
Dalam rekaman tersebut, seorang wanita tampak memegang Al-Qur’an dan melakukan tindakan yang dianggap sengaja merendahkan kitab suci.
Meski wajah wanita itu terekam jelas, identitasnya hingga kini belum terverifikasi. Lokasi, waktu perekaman, dan sumber video juga masih menjadi misteri.
Ketidakjelasan ini justru memperkuat dugaan bahwa video tersebut bisa saja, rekaman lama yang sengaja diunggah ulang, rekaman yang diedit.
Rekaman yang dipotong tanpa konteks atau bahkan rekaman asli namun sengaja disebarkan oleh pihak tertentu untuk memantik reaksi emosional publik.
Pakar keamanan siber menyebut video-video seperti ini mudah sekali dimanfaatkan kelompok atau individu yang ingin memancing perpecahan.
Mereka menekankan bahwa, video sensitif agama adalah trigger paling cepat untuk mengguncang stabilitas sosial,
Aktor provokator bisa berasal dari dalam atau luar negeri, banyak kasus di masa lalu menunjukkan pola serupa dipakai untuk kampanye disinformasi.
Di era algoritma media sosial, konten bernuansa agama yang memicu emosi langsung melesat ke daftar trending. Itulah sebabnya konten ini sangat berbahaya.
Ketika video seperti ini muncul, publik biasanya bereaksi cepat dengan dorongan emosional yang tinggi.
Keterlambatan aparat dalam memberikan kejelasan seringkali membuat situasi semakin panas.
Di banyak kasus sebelumnya, keterlambatan informasi resmi membuka ruang bagi hoaks yang lebih liar.
Para tokoh agama mengutuk tindakan dalam video tersebut, namun mereka juga mengingatkan agar umat tidak buru-buru memperluas penyebarannya.
Reaksi emosional yang tidak terkontrol justru dapat menjadi momen emas bagi para provokator.
Video “hinaan terhadap Al-Qur’an” bukan hanya persoalan satu orang.
Tetapi berpotensi menjadi alat propaganda yang dimainkan pihak yang ingin menciptakan instabilitas.
Masyarakat perlu semakin cerdas membaca motif-motif semacam ini.
Menyebarkan video tanpa verifikasi bukan hanya memperluas dampaknya, tetapi juga membantu provokator mencapai tujuannya.
Kasus ini membuktikan bahwa ruang digital kita masih sangat rentan terhadap isu agama yang dipelintir dan dijadikan komoditas provokasi.***
Artikel Terkait
Viral Ustadzah Ning Umi Laila Goda Anak Kecil, Netizen Murka: Dakwah Kok Begitu?
Bakal Dihadiri Habib Rizieq, Pramono Anung Dukung Reuni 212 di Monas
48 WNI Ditangkap dalam Operasi Besar-besaran Online Scam di Myanmar
Kisah Soedjono Hoemardani, Jenderal Dukun, Menteri Urusan Mistis, dan Penasihat Spiritual Soeharto