Jokowi pun mengatakan, dirinya juga merupakan seorang pejabat politik. Namun, urusan capres dan cawapres merupakan urusan partai atau gabungan partai.
"Saya tadi sampaikan, saya ini juga pejabat politik. Saya bukan cawe-cawe. Urusan capres, cawapres itu urusannya partai atau gabungan partai," ujarnya.
Karena itu, menurutnya wajar jika dirinya mengundang para ketua umum partai politik atau sebaliknya. Jokowi menyebut tidak ada konstitusi yang dilanggar dengan adanya pertemuan itu.
"Tapi kalau mereka mengundang saya, saya mengundang mereka boleh-boleh saja. Apa konstitusi yang dilanggar dari situ? Enggak ada. Tolonglah mengerti bahwa kita ini juga politisi, tapi juga pejabat publik," kata Jokowi.
Seperti diketahui, Jokowi mengundang enam ketum parpol pendukung pemerintahan kecuali Nasdem pada Selasa (2/5/2023) malam. Keenam ketum parpol tersebut yakni Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono.
Bagi pengamat politik dari Universitas Andalas, Najmuddin Rasul, kehadiran Jokowi di acara Musra itu memperlihatkan rendahnya kualitas pemahaman Jokowi terhadap demokrasi sekaligus cermin rasa ketakutan Jokowi memasuki masa purna tugas.
"Menurut saya, kehadiran dan pidato Jokowi di acara Musra, menurut saya memperlihatkan rendahnya kualitas pemahaman demokrasi. Artinya, jokowi sangat ketakutan memasuki masa purna tugas. Ini bisa memunculkan spekulasi politik dan hukum," kata Najmuddin, kepada Republika, Ahad (14/5/2023).
Pada acara Musra tersebut lanjut Najmuddin, Jokowi kembali menyebutkan sejumlah nama yang ia endorse untuk didukung menjadi capres dan cawapres. Seharusnya, kata Najmuddin, sebagai presiden yang masih menjabat, Jokowi bersikap netral dan fokus menyelesaikan tugasnya hingga masa jabatan habis.
"Ini juga jokowi tidak menghormati etika politik. Semestinya jokowi harus fokus pada penyelesaian tugas kepresidenan, seperti pemerataan pembangunan ekonomi dan keadilan serta penegakan hukum," ujar Najmuddin.
Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Melki Sedek sebelumnya juga mengkritik Presiden Jokowi yang belakangan semakin rajin cawe-cawe Pilpres 2024. Sebab, sesuai konstitusi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
Termasuk, ketika memilih presiden dan wakil presiden yang merupakan orang-orang yang dicalonkan parpol atau gabungan parpol. Jadi, bukan calon yang disarankan, direkomendasikan apalagi distigma sebagai anjuran.
Melki menekankan, menjadi kesalahan jika Presiden Jokowi ikut bermain dalam kontestasi yang seharusnya memposisikan diri sebagai wasit. Artinya, ada kewajiban bagi Presiden Jokowi mampu bersifat netral dan independen.
Hal ini dapat dilihat pula dari semakin seringnya Presiden Jokowi dalam menggelar pertemuan dengan ketua-ketua umum partai politik. Selain itu, ia mengkritisi kedekatan Presiden Jokowi dengan capres-capres tertentu.
"Sepertinya tidak elok bagi seorang pemimpin negara untuk mengorbankan independensinya untuk hadir dalam forum-forum politik, yang seharusnya beliau adalah penyelenggara," ujar Melki.
Manuver Surya Paloh antara Anies dan Jokowi. - (Republika/berbagai sumber)
Sumber: news.republika.co.id
Artikel Terkait
Hamish Daud Liburan Bareng Sasha Sabrina Alatas ke Bangkok? Dugaan Perselingkuhan Suami Raisa Terkuak
Pengakuan Alumni Seangkatan Gibran: UTS Insearch Cuma Kursus Bahasa Inggris, Bukan Setara SMA
Ahmad Sahroni Sindir Penjarah Rumahnya: Boro-Boro Bayar Pajak, Pasti Nunggu Sembako
Terungkap Motif Oknum Polisi Bunuh Dosen IAK Bungo, Dipicu Masalah Asmara