Mengenang Ita Martadinata, Aktivis HAM 1998 yang Dibunuh Sebelum Bersaksi di PBB

- Rabu, 17 Mei 2023 | 01:00 WIB
Mengenang Ita Martadinata, Aktivis HAM 1998 yang Dibunuh Sebelum Bersaksi di PBB

Menurut dia, itu adalah kasus pembunuhan paling keji yang pernah dilihatnya sepanjang hidup.

Baca juga: Pentingnya Permintaan Maaf dari Negara atas Pelanggaran HAM Berat

Nadia mengatakan, kekejian pembunuhan Ita diperparah dengan narasi-narasi menyudutkan, termasuk pernyataan ahli forensik Mun'im Idris bahwa Ita "terbiasa berhubungan seks".

Pernyataan tersebut lantas digunakan beberapa media untuk menyangkal kematian Ita sebagai pembunuhan bermotif politik.

Menurut Nadia, pembunuhan Ita dimaksudkan untuk mengintimidasi Tionghoa-Indonesia agar tidak bersuara tentang pemerkosaan masif selama kerusuhan Mei 1998.

"Ini adalah pembunuhan sistematis dan politis untuk membungkam orang Tionghoa-Indonesia untuk bersuara di tingkat internasional," tuturnya.

Baca juga: Berapa Korban Kerusuhan Mei 1998?

Dikutip dari Kompas.id, berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk pada 1998, telah terjadi pemerkosaan terhadap 52 perempuan.

Sebanyak 14 orang di antaranya merupakan korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 orang korban penyerangan dan penganiayaan seksual, dan 9 orang lainnya merupakan korban pelecehan seksual.

Diperkirakan, angka tersebut belum mencakup keseluruhan korban. Namun, hingga saat ini data ini masih digunakan sebagai acuan untuk menuntut negara dalam mengungkap kasus pemerkosaan Mei 1998.

Selain TGPF, Tim Relawan untuk Kemanusiaan  (TRK) menemukan lebih banyak lagi. Setidaknya ditemukan 152 kasus pemerkosaan.

Dari 152 korban, 20 orang meninggal. Mayoritas korban adalah perempuan Tionghoa.

Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Satyawanti Mashudi mengatakan, pemerkosaan Mei 1998 merupakan teror yang dilakukan menggunakan tubuh perempuan.

Peristiwa itu menyebabkan perempuan tidak berani untuk keluar rumah dan beraktivitas. Korban pemerkosaan juga tidak berani melaporkan kejahatan yang menimpanya karena takut akan keselamatannya.

Menurut Satyawanti, kematian Ita Martadinata sebelum berangkat untuk bersaksi di Sidang PBB memberikan efek dahsyat bagi korban-korban lain.

”Itu yang membuat para korban bungkam, hingga hari ini,” kata Satyawanti.

Sumber: kompas.com


Halaman:

Komentar