Ijazah Yang Tak Pernah Muncul: Drama Legitimasi di Tengah Keraguan Publik

- Selasa, 20 Mei 2025 | 00:05 WIB
Ijazah Yang Tak Pernah Muncul: Drama Legitimasi di Tengah Keraguan Publik


Ijazah Yang Tak Pernah Muncul: 'Drama Legitimasi di Tengah Keraguan Publik'


Suatu siang yang gerah di tengah gempuran warganet yang sinis, linimasa media sosial Indonesia kembali dipenuhi unggahan para alumni Universitas Gadjah Mada. 


Dengan wajah penuh semangat, mereka memamerkan selembar dokumen usang: ijazah sarjana strata satu. 


Mereka menyebut diri sebagai “teman kuliah Jokowi”. 


Sebuah upaya pembuktian, sekaligus bantahan halus terhadap tudingan yang sejak lama membayangi: benarkah Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia dua periode itu, benar-benar lulus dari Fakultas Kehutanan UGM?


Drama ijazah Jokowi telah menjadi lakon politik berkepanjangan. 


Meski Mahkamah Konstitusi menolak gugatan yang mempertanyakan keabsahan gelarnya, dan UGM berkali-kali menyatakan bahwa Jokowi adalah alumninya, publik tak pernah benar-benar puas. 


Apalagi ketika yang dipertanyakan bukan sekadar keabsahan administratif, melainkan ketulusan transparansi dari seorang pemimpin.


Kekosongan ruang kepercayaan itu kian diperkeruh ketika pihak kepolisian mengeluarkan pernyataan mengejutkan: “Kami hanya menerima salinan fotokopi ijazah, bukan yang asli.” 


Sebuah bantahan tak langsung terhadap pengakuan Jokowi sebelumnya yang menyatakan telah menyerahkan ijazah aslinya ke kepolisian. 


Yang satu bicara hitam di atas putih. Yang lain menggantungkan kepercayaan pada kata-kata tanpa bukti fisik.


Lantas, publik bertanya: mengapa seorang presiden, yang bisa dengan mudah mengakses dokumen apapun, begitu pelit menunjukkan secarik kertas kelulusan yang seharusnya biasa-biasa saja?


Mengapa teman-temannya yang sibuk memamerkan ijazah masing-masing, tapi sang tokoh utama justru menghilang dari panggung pembuktian?


Sebagian pengamat menyebut ini hanya permainan persepsi. Bahwa narasi keraguan soal ijazah adalah produk politisasi menjelang tahun-tahun panas pemilu. 


Namun, dalam masyarakat yang telah lama merasa dikhianati oleh elite, ketidakjelasan sekecil apapun bisa tumbuh menjadi bola salju kecurigaan.


Lebih jauh, kasus ini mencerminkan soal yang lebih dalam dari sekadar selembar ijazah: soal integritas, keterbukaan, dan akuntabilitas pemimpin. 


Dalam dunia yang serba digital, di mana jejak bisa ditelusuri dalam hitungan detik, ketertutupan justru menciptakan ruang gelap yang meresahkan.


“Transparansi bukanlah soal suka atau tidak suka, tetapi soal menghormati akal sehat rakyat,” ujar Bambang Widjojanto, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam sebuah diskusi daring.


Seandainya ijazah asli itu benar ada — dan tentu, kita masih berharap demikian — mengapa tak ditunjukkan secara terbuka dan tuntas, agar publik dapat menutup bab ini sekali dan untuk selamanya? 


Atau jangan-jangan, seperti banyak hal lain dalam politik Indonesia, kebenaran bukanlah soal data, melainkan narasi siapa yang lebih dipercaya?


Dalam dunia di mana persepsi bisa lebih menentukan dari kenyataan, mungkin itulah sebabnya ijazah itu tak kunjung muncul. 


Dan selama tak muncul, selama itu pula rakyat berhak bertanya — bukan untuk menuduh, tapi untuk memastikan: bahwa yang mereka pilih adalah seseorang yang tak alergi pada kebenaran. ***



Jokowi Semakin Panik, Merengkuh Apa Saja Agar Tidak Hanyut!




Sebagai pemain drama politik nasional dengan jabatan sebagai pemeran utama selama 10 tahun, Jokowi jelas sudah hapal dan sangat berpengalaman bermain watak, terutama di depan kamera. 


Tetapi kali ini Jokowi sangat naif bila menganggap rakyat Indonesia masih bodoh dan masih saja percaya pada dirinya. Rakyat sudah tahu Jokowi seringkali sen kanan tahunya belok kiri.


Setelah melaporkan lima nama ke Polda Metro Jaya terkait ijazah palsu, Jokowi, seperti biasa, seperti yang dia lakukan selama 10 tahun berkuasa, dengan gagah berani dan enteng menghadapi wartawan. 


Dia mengatakan soal ijazah palsu ini soal ringan saja sambil tertawa terkekeh yang sudah menjadi ciri khasnya. 


Jokowi mencoba mengecilkan peristiwa ini seolah sama sekali tidak mengganggu keadaan mental apa lagi agenda politiknya.


Jokowi adalah aktor hebat. Bahwa dia menjadi presiden dua periode dengan melibas semua lawan politiknya dan menghindari serangan ijazah palsu serta riwayat silsilah keluarganya merupakan peristiwa langka yang jarang terjadi di dunia. 


Ini jelas kemampuan yang luar biasa yang hanya orang tertentu yang bisa melakukannya—yang kali ini memiliki pengertian negatif.


Sebagai aktor hebat, Jokowi sangat pintar bermain peran di depan kamera. Baginya, kamera adalah jendela dunia melalui mana dia bisa berkomunikasi dengan massa anonim, massa luas yang tak berhingga jumlahnya yang dia tak pernah kenal. 


Baginya, kamera adalah senjata utama bagi agenda politknya, alat untuk menyampaikan pesan dan membangun citra yang dia inginkan.


Jokowi sangat percaya diri bahwa dia telah mempunyai apa yang di dalam kajian budaya pop dikenal sebagai “persona”—yaitu citra unik seorang bintang yang lahir dan dipuja oleh fans karena mempunyai daya pikat dan kharisma di atas panggung. 


Jokowi merasa dia adalah bintang, bukan dalam budaya pop, tetapi dalam dunia politik. Sebuah dunia yang menurutnya bisa jadi tidak jauh berbeda dengan dunia artis dan kebintangan.


Namun kali ini sangkaan Jokowi jelas tidak tepat mengenai dirinya. Dia sudah lama bukan lagi bintang, dan orang dengan cepat belajar bahwa gerak-gerik Jokowi lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat untuk bangsa. 


Massa sangat cepat belajar dari janji yang tidak ditepati, kebohongan-kebohongan yang secara telanjang dipertontonkan, banyaknya korupsi, dan pelanggaran HAM berat yang terjadi di zaman dia berkuasa.


Jokowi jelas salah menilai diri. Rakyat banyak sudah lama sekali gerah melihat kezaliman yang diperbuatnya. 


Jokowi sangat keji dan anti kemanusiaan. Zaman dia berkuasa selama 10 tahun secara zalim, banyak sekali aktivis yang dipenjarakannya. Bahkan enam laskar FPI dibunuh secara brutal.


Apakah Jokowi pernah menyesal dan minta maaf karena itu pelanggaran HAM berat? Tidak. 


Tapi sekarang ketika Jokowi diminta untuk menunjukkan ijazahnya, dia menolak. Katanya, itu melanggar HAM. Betul-betul tidak masuk akal, keji, dan anti kemanusiaan.


Kezaliman Jokowi menyebar dan menular ke hampir semua orang yang dekat dengannya. Pengacara Jokowi mengatakan produk ilmiah harus disahkan secara hukum baru boleh disebarluaskan atau dipublikasikan. 


Menurut pendapatnya yang lucu dan aneh itu, kalau sarjana menulis paper dan buku, maka harus ada pengesahan lembaga hukum terlebih dahulu.


Bila kajian naskah menemukan bahwa font Times New Roman di skripsi Jokowi menunjukkan kepalsuan skripsi, maka hal ini tidak boleh disampaikan ke publik. Harus terlebih dahulu disahkan oleh lembaga hukum. 


Menurutnya, legalitas hukum lebih tinggi daripada kebenaran ilmiah. Tidak ada kebebasan ilmiah. Belum pernah ada pendapat seaneh dan sebodoh ini di seluruh dunia.


Semua ruang berbangsa dan bernegara dirusak oleh Jokowi secara brutal. Benteng pertahanan bangsa yang terakhir, yaitu dunia akademik, dilindas oleh Jokowi dengan dingin. UGM kini dia acak-acak. 


Kebanggaan kampus besar itu yang telah melahirkan luminari seperti ekonom kerakyatan Mubyarto dan pakar kebudayaan Kuntowijoyo kini tercoreng dengan sangat memalukan.


Jokowi menggertak rakyat dengan memamerkan kedekatannya dengan Hercules, seorang mantan preman yang kini menjadi pemimpin ormas yang dekat dengan kekuasaan. 


Dengan ini Jokowi memberikan pernyataan terang-benderang bahwa dia tidak cuma masih menguasai sumber daya ekonomi dan politik, tetapi juga dunia bawah tanah yang hitam kelam. 


Seolah Jokowi ingin mengatakan, kalian mau main terang atau gelap akan saya layani.


Namun semua pertunjukan teater Jokowi sudah kehilangan magis—skenarionya seperti sampah, bahkan aktingnya kini seperti kotoran yang tidak lagi diperlukan. Mimpi mengenai persona dirinya adalah ilusi yang berlebihan. 


Sebuah pandangan dunia yang didasari oleh megalomania kosong yang tidak membumi, tidak berdasar realitas sebagai basis akal sehat.


Faktanya, semakin banyak orang berani dan menantang Jokowi secara terang-terangan. Aktivis melaporkannya karena ijazah palsu. 


Bahkan di kota kecil Solo dari mana dia memulai pertunjukan teater politiknya, Jokowi dilaporkan oleh pengacara untuk kepalsuan ijazah SMA-nya. Jokowi jauh dari magisme yang dia khayalkan.


Dalam cara yang agak berbeda, dengan unggah-ungguh budaya Jawa yang tinggi, mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo mengirim pesan ke Jokowi. 


Jenderal Gatot memarahi Hercules dengan sangat keras karena Hercules sebelumnya mengata-ngatai secara tidak pantas mantan Wapres Try Sutrisno dan Letnan Jenderal Purnawirawan Sutiyoso.


Tapi kemarahan Jenderal Gatot ini harus dibaca dengan cara lain. Karena jelas sangat tidak level seorang mantan Panglima TNI mengomentari dan melakukan kontak dengan seorang mantan preman. 


Kejadian ini harus dianalisa dalam kerangka semiotika sosial berbasis budaya Jawa. Jenderal Gatot sebetulnya sedang mengirim pesan kepada Jokowi bahwa dia dan rakyat Indonesia tidak takut kepada gertakan preman seperti Hercules.


Bahwa purnawirawan TNI, oposisi selama 10 tahun, aktivis, dan rakyat Indonesia sama sekali tidak takut pada Jokowi dan geng Solo yang sudah mengacak-acak Indonesia selama 10 tahun. Pemakzulan Gibran akan terus jalan. 


Pesan ini, nyata, sebetulnya, ditujukan untuk mengirim tantangan secara terbuka kepada Jokowi yang sudah berlaku kurang ajar kepada bangsa, negara, dan kemanusiaan secara umum.


Jelas postur politik Jokowi semakin lemah dan ringkih. Gempuran kasus ijazah palsu membuatnya oleng dan sangat panik. Drama-drama pencitraan seolah dia baik-baik saja justru semakin menunjukkan kepanikannya. 


Sinyal lemahnya Jokowi yang menunjukkan posisinya semakin terancam adalah dengan dipulihkannya posisi Letjen Kunto, batal digantikan oleh orangnya Jokowi.


Alhasil, dengan sisa-sisa pencitraan receh Jokowi yang masih tersisa, yang magisnya sudah jadi kotoran, kini sudah menjadi olok-olok dan caci-maki rakyat jelata. Jokowi sudah kehabisan waktu. 


Dia akan jatuh bersama ditendangnya Gibran anak haram konstitusi yang mendapatkan jabatan dengan cara curang dan licik. Waktunya sudah dekat sekali. ***

Komentar