“Pemerintah Sontoloyo”: Ketika Aparat Membungkam Kebenaran dan Menista Hukum Demi Lindungi Kebohongan!
Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Semakin marak pemberitaan dari berbagai media, baik konvensional maupun daring, terkait dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Presiden RI ke-7, Joko Widodo.
Munculnya desakan publik agar aparat penegak hukum menyelidiki hal ini secara objektif berdasarkan due process of law menjadi hal yang tak terhindarkan, terlebih dengan prinsip netralitas sebagai pilar supremasi hukum.
Salah satu bukti mencolok yang menjadi perhatian publik adalah perbedaan nama dekan Fakultas Kehutanan UGM yang tercantum dalam fotokopi ijazah Jokowi.
Di situ tertulis nama Achmad Soemitro, padahal menurut catatan sejarah UGM dan konfirmasi keluarga, nama yang benar adalah Prof. Dr. Ir. Achmad Sumitro (tanpa huruf “oe”).
Aida Greenbury, putri dari almarhum Prof. Sumitro, bahkan memberikan bantahan terbuka atas penggunaan nama yang tidak sesuai tersebut.
Secara logika administrasi, sangat janggal apabila terjadi perbedaan penulisan nama pada dokumen resmi kampus, apalagi UGM adalah institusi pendidikan tinggi negeri dengan sistem pencatatan dokumen yang seharusnya sangat ketat dan akuntabel.
Apakah bisa dibenarkan sebuah percetakan menghasilkan dua versi nama yang berbeda untuk dokumen resmi institusi? Jelas ini tidak masuk akal.
Apalagi jika tak ada tanggung jawab atau sanksi dari pihak rektorat terhadap kesalahan tersebut.
Hal serupa juga terlihat dari inkonsistensi pernyataan Jokowi mengenai dosen pembimbing skripsinya. Dalam video viral, Jokowi menyebut Kasmudjo sebagai pembimbing.
Namun setelah dibantah oleh Kasmudjo sendiri yang menyatakan saat itu ia masih berstatus Asisten Dosen (Asdos), Jokowi mengubah pernyataannya bahwa Kasmudjo adalah pembimbing akademik, bukan pembimbing skripsi.
Ini menunjukkan inkonsistensi sekaligus menambah daftar panjang kebohongan yang telah diidentifikasi publik terhadap figur presiden ini.
Padahal, pembuktian mengenai siapa dekan, dosen pembimbing, atau status akademik seseorang di sebuah universitas sangatlah mudah ditelusuri melalui arsip Ditjen Dikti (Kemdikbudristek), arsip rektorat, hingga surat keputusan rektor atau dekan.
Semua ini seharusnya tercatat rapi mengingat menyangkut keuangan negara, honorarium dosen, serta anggaran kegiatan akademik. Mengapa justru yang berkaitan dengan Jokowi seolah menjadi “gelap” dan sulit dilacak?
Lebih mencurigakan lagi, adanya informasi bahwa arsip terkait ijazah Jokowi tidak ditemukan di KPUD Surakarta, tempat ia pertama kali mencalonkan diri sebagai wali kota.
Jika benar terjadi penghilangan atau rekayasa dokumen oleh UGM atau pihak lain, maka hal ini masuk dalam kategori kejahatan serius: pemalsuan dokumen negara.
Sebab, biografi seorang presiden bukan hanya soal catatan pribadi, melainkan menyangkut legitimasi konstitusional dan keabsahan kekuasaan publik.
Kecurigaan publik pun berkembang bahwa sejumlah pejabat rektorat UGM, pejabat Kemendikbudristek, bahkan pihak-pihak dalam institusi hukum, bisa saja ikut terlibat atau melakukan pembiaran terhadap dugaan kejahatan ini.
Apabila ini benar, maka mereka secara hukum dapat dikenakan pasal-pasal seperti Pasal 55 KUHP (penyertaan), Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat), Pasal 266 KUHP (keterangan palsu), serta ketentuan dalam Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional saat itu.
Ironisnya, ketika para aktivis—baik dari kalangan ahli hukum, akademisi, maupun pakar IT—berupaya mengungkap kebenaran secara ilmiah dan konstitusional, mereka justru diancam dipidanakan. Aparat negara lebih sibuk memburu pelapor ketimbang memeriksa terlapor.
Padahal, sesuai Pasal 108 KUHAP, Pasal 13 dan 42 UU Kepolisian, serta Pasal 33 UU Kejaksaan, rakyat justru berhak dan berkewajiban membantu penegakan hukum.
Apakah negara ini telah berubah menjadi state of crime, di mana aparat tunduk pada kebohongan dan bukan pada keadilan?
Logika sehat dan nurani hukum mana yang membenarkan tindakan kriminal dibungkus dalam dalih kekuasaan, sementara para pencari kebenaran justru dijadikan pesakitan?
Bukankah seharusnya negara memberikan penghargaan kepada rakyat yang proaktif membantu negara membongkar kejahatan, walau hanya berupa selembar piagam bermaterai Burung Garuda?
Penulis sendiri menyampaikan tulisan ini bukan hanya berdasarkan telaah hukum dan data empirik semata, tetapi juga karena memiliki pengalaman pribadi. Pada 16 April 2025, penulis bertemu langsung dengan Jokowi di kediamannya di Solo.
Berdasarkan pengamatan psikologis dan fakta-fakta yang terus terungkap, penulis meyakini 100% bahwa ijazah S-1 Jokowi dari Fakultas Kehutanan UGM adalah palsu.
Penegakan hukum tidak boleh dibungkam oleh kekuasaan. Negara bukan milik seorang Presiden, melainkan milik seluruh rakyat. Dan kebenaran, cepat atau lambat, pasti akan menemukan jalannya. ***
Artikel Terkait
Dituduh Sakit Keras oleh Dokter Tifa, Begini Kondisi Kesehatan Jokowi Terkini
Jokowi Diduga Mengidap Penyakit Langka Sindrom Stevens-Johnson
Tak Mampu Imbangi Penjelasan Ilmiah Roy Suryo Cs Soal Ijazah Jokowi, Irma Suryani Sebut Kelakuan Roy Suryo cs Mirip PKI
Heboh! Istri Pejabat OIKN Laporkan Dugaan Perselingkuhan Suami ke Kepala OIKN