Dari lorong ideologi Marhaenisme hingga menjadi suara lantang oposisi internal, Yusuf Blegur menunjukkan bahwa loyalitas bukan berarti membisu di tengah penyimpangan. Sebuah kisah tentang keberanian bersuara demi menjaga kemurnian cita-cita Bung Karno.
Nama Yusuf Blegur mungkin tidak sepopuler tokoh-tokoh nasional yang kerap menghiasi layar kaca. Tapi bagi mereka yang memahami denyut nadi gerakan Marhaenis dan sejarah organisasi mahasiswa nasionalis seperti GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), nama ini menyimpan bobot ideologis yang berat.
Yusuf bukanlah sosok sembarangan. Ia adalah mantan Presidium GMNI, organisasi mahasiswa yang lahir dari rahim ideologi Soekarno. Di tubuh GMNI, ia dikenal sebagai penggerak yang gigih mempertahankan garis ideologis Marhaenisme, bahkan saat banyak yang mulai melenceng dari arah.
Namun yang membuat Yusuf Blegur benar-benar menonjol adalah keberaniannya: menjadi tokoh dari kalangan Marhaenis—yang sangat dekat dengan PDIP—yang pertama kali secara vokal mengkritik mantan Presiden Joko Widodo. Saat itu mayoritas kader partai berlambang Banteng Moncong Putih memuji Jokowi. Namun tidak dengan Yusuf, ia mengkritik keras Jokowi.
Yusuf Blegur tidak muncul begitu saja di panggung kritik politik. Ia dibentuk oleh pergulatan panjang di ruang-ruang diskusi GMNI, di mana prinsip-prinsip nasionalisme, kerakyatan, dan keadilan sosial dibahas hingga dini hari. Di sinilah ideologinya terasah.
Pada era awal reformasi, Yusuf menjadi salah satu motor penggerak GMNI di Jakarta. Kedekatannya dengan sejumlah tokoh senior seperti Taufik Kiemas—suami Megawati Soekarnoputri—membentuk jejaring politik yang menghubungkannya langsung ke jantung kekuasaan PDIP.
“Taufik Kiemas adalah guru ideologis saya. Kami sering berdiskusi tentang bagaimana membumikan Marhaenisme dalam politik praktis,” ujar Yusuf suatu kali dalam diskusi terbuka. “Tapi beliau juga mengajarkan satu hal penting: jangan pernah takut bersuara jika ada yang menyimpang.”
Ketika Jokowi mulai naik daun dan akhirnya menjadi Presiden pada 2014, mayoritas kader GMNI dan PDIP menyambutnya sebagai titisan harapan. Jokowi dianggap sebagai sosok sederhana yang membumi, sejalan dengan semangat Marhaen yang membela wong cilik.
Namun tidak dengan Yusuf.
Ia melihat sejak awal bahwa Jokowi membawa pendekatan yang bertentangan dengan semangat gotong royong dan kedaulatan rakyat. Kebijakan infrastruktur yang jor-joran, penguatan oligarki ekonomi, hingga gaya komunikasi kekuasaan yang semakin menutup ruang kritik—semua itu bagi Yusuf adalah alarm bahaya.
“Marhaenisme bukan soal membangun jalan tol, tapi membangun kesadaran dan kedaulatan rakyat,” ujarnya dalam satu tulisan opini yang viral di kalangan aktivis. “Jokowi telah mengkhianati semangat Bung Karno. Ia menjadikan negara sebagai korporasi, bukan rumah rakyat.”
Pernyataan ini mengagetkan banyak kalangan. Bagaimana mungkin seorang mantan Presidium GMNI, dengan sejarah kedekatan pada PDIP dan bahkan Taufik Kiemas, bisa begitu keras mengkritik Jokowi?
Namun justru di situlah keberanian Yusuf diuji. Ia sadar bahwa ketika ideologi dikhianati, maka yang perlu dijaga adalah amanat sejarah, bukan loyalitas sempit.
Kritik-kritik Yusuf tentu tidak datang tanpa konsekuensi. Ia sempat dijauhi oleh beberapa kolega lamanya, bahkan pernah disebut “pengkhianat” oleh sejumlah loyalis PDIP garis keras.
Namun Yusuf tetap berdiri tegak. Ia tidak membentuk partai baru, tidak pula membelot ke kekuatan oposisi sekadar demi panggung politik. Ia tetap berada di jalur aktivisme, menulis, berbicara di forum-forum, dan menjadi rujukan bagi generasi muda yang gelisah melihat kaburnya arah ideologi bangsa.
Di era media sosial, Yusuf justru menemukan saluran baru. Ia rajin membuat pernyataan-pernyataan yang tajam, namun disusun dengan bahasa ideologis yang kuat. Dalam setiap postingannya, terlihat semangat intelektual organik: yang tidak tunduk pada kekuasaan, tetapi juga tidak sembarangan dalam melontarkan kritik.
Satu hal yang menarik dari Yusuf Blegur adalah konsistensinya menjaga nilai Marhaen dari dalam. Ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai oposisi Jokowi secara personal. Yang ia lawan adalah kebijakan dan arah politik yang dinilainya menyimpang dari semangat kerakyatan.
Baginya, menjadi Marhaenis bukan berarti memuja simbol atau tokoh, tetapi berani mempertanyakan dan mengoreksi ketika kekuasaan keluar dari jalur rakyat.
Dalam banyak forum, Yusuf kerap mengutip Bung Karno: “Kritik dari dalam itu jauh lebih menyakitkan, tapi juga lebih menyelamatkan.”
Yusuf Blegur mungkin tidak sedang menjabat di pemerintahan, tidak pula menempati posisi elite di partai. Namun suaranya menggema sebagai penyeimbang di tengah kultus individu dan pembungkaman kritik.
Di saat banyak tokoh Marhaenis memilih diam demi kenyamanan atau kekuasaan, Yusuf memilih jalan yang sunyi: bersuara demi menjaga cita-cita. Di tengah sunyinya suara ideologi dalam politik praktis Indonesia, Yusuf Blegur adalah pengingat bahwa keberanian untuk berpikir dan bersuara adalah warisan sejati Bung Karno.
Sumber: suaranasional
Foto: Yusuf Blegur bersama Megawati Soekanoputr tahun 1997. Saat itu Yusuf Blegur Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta (IST)
Artikel Terkait
Jokowi Ngaku KKN Tahun 1985, tapi Dokumen yang Diungkap Bareskrim Tertulis 1983 — Mana yang Benar?
Mahasiswa Aceh Desak Presiden Prabowo Copot Tito Karnavian: Pentolan Geng Solo Biang Kerok Masalah 4 Pulau!
INFO! Fakta Baru Terungkap, Kasmudjo Ternyata Bukan Dosen Pembimbing Skripsi atau Akademik Jokowi
Dukung Iran, Pakistan Serukan Persatuan Muslim Melawan Israel