Mengapa Polisi Sukitman Lolos Dari Maut G30S PKI Hingga Jadi Saksi Kunci?

- Senin, 22 September 2025 | 20:00 WIB
Mengapa Polisi Sukitman Lolos Dari Maut G30S PKI Hingga Jadi Saksi Kunci?




NARASIBARU.COM - Malam 1 Oktober 1965 menjadi salah satu titik paling kelam dalam sejarah Indonesia dan hari paling mengerikan bagi Sukitman.


Namun, di tengah kebrutalan peristiwa Gerakan 30 September (G30S/PKI), terselip sebuah kisah tentang takdir, kebetulan, dan nurani yang menyelamatkan satu nyawa.


Nama itu adalah Sukitman, seorang Agen Polisi Tingkat II yang secara tak sengaja menjadi saksi kunci kekejaman di Lubang Buaya.


Pertanyaan yang terus mengemuka adalah mengapa Sukitman tidak ikut dibunuh bersama para jenderal? Padahal ia termasuk salah satu orang yang ditawan oleh Cakrabirawa.


Jawabannya bukanlah sebuah kebetulan tunggal, melainkan persimpangan antara tiga faktor krusial.


Statusnya yang dianggap tidak penting, sebuah keberanian yang lahir dari hati nurani, dan takdir yang membawanya menjadi penunjuk jalan bagi terungkapnya sejarah.


Tempat dan Waktu yang Salah


Keterlibatan Sukitman dalam tragedi G30S dimulai dari sebuah ketidaksengajaan.


Lahir pada tahun 1943 di Pelabuhan Ratu, Sukitman adalah seorang polisi muda yang baru dua tahun bertugas.


Pada dini hari nahas itu, ia tengah berpatroli rutin di sekitar Blok M, Kebayoran Baru.


Sekitar pukul 03.00 WIB, suara rentetan tembakan memecah keheningan malam dari arah kediaman Brigjen D.I. Pandjaitan.


Didorong oleh naluri sebagai aparat, Sukitman mengayuh sepeda kumbangnya menuju sumber suara untuk memeriksa apa yang terjadi.


Namun, keberaniannya justru membawanya ke dalam pusaran peristiwa. Ia diadang oleh pasukan berseragam loreng dengan baret merah.


Tanpa sempat memahami situasi, ia ditodong senjata dan diteriaki, "Turun! Lempar senjata dan angkat tangan!"


Matanya ditutup kain merah dan tangannya diikat. Sukitman kemudian dilemparkan ke dalam sebuah truk dan dibawa bersama para jenderal menuju sebuah tempat yang kelak dikenal sebagai Lubang Buaya.


Ia bukanlah target utama; ia hanyalah seorang polisi patroli yang berada di waktu dan tempat yang salah.


Dianggap Tidak Penting di Tengah Target Utama


Bagi para pelaku G30S PKI, fokus utama mereka adalah para perwira tinggi Angkatan Darat.


Sukitman, dengan pangkatnya yang rendah, pada awalnya tidak dianggap sebagai ancaman strategis.


Ia adalah "tangkapan sampingan" yang nasibnya belum ditentukan di tengah kekacauan eksekusi para jenderal.


Statusnya yang tidak signifikan ini memberinya sedikit waktu, sebuah jeda krusial yang pada akhirnya menyelamatkan nyawanya.


Sementara para jenderal menjadi korban utama kebrutalan, Sukitman menjadi saksi bisu yang keberadaannya seolah terlupakan sesaat.


Ketika para pelaku menyadari bahwa ada seorang saksi hidup yang bisa membocorkan lokasi mereka, nasib Sukitman berada di ujung tanduk.


Malaikat Penyelamat


Nyawa Sukitman nyaris melayang bersama dengan 12 korban tragedi G30S lain. Namun malaikat penyelamat menyertainya. 


Seorang anggota Resimen Cakrabirawa bernama Sersan Ishak Bahar menolak perintah untuk mengeksekusi Sukitman.


Kisah Ishak Bahar, yang diungkap media, memberikan sudut pandang baru yang luar biasa. Nasib Ishak sebenarnya punya kemiripan dengan Sukitman, ia tak seharusnya ikut dalam operasi G30S PKI ini.


Ishak, seorang santri lulusan pesantren di Jawa Tengah yang memutuskan menjadi tentara karena untuk tujuan pengabdian ke bangsa.


Sebenarnya, ia sudah punya tugas untuk mengawal Presiden Soekarno. Namun mendadak, Letkol Untung memintanya ikut ke Lubang Buaya.


"Saya tidak tahu apa yang sedang direncanakan (mereka). Saya hanya sopir. Saya hanya jalankan tugas," ungkap Ishak.


Dengan pendirian kuat, Ishak menolak perintah atasannya untuk menembak mati Sukitman. Ia tahu Sukitman bukan orang yang jahat, ia hanya polisi yang kebetulan berpatroli di TKP.


Saat diperintah menembak, Ishak menjawab, "Orang tidak salah kok ditembak."


“Laksanakan perintah!” balas atasannya dengan geram. Namun entah mengapa atasannya lantas pergi, tanpa berkata apa-apa.


Hati Ishak bergejolak, akan tetapi ia tak mau menarik pelatuk ke kepala orang yang bukan musuh. Di tengah situasi yang brutal dan penuh tekanan, Ishak Bahar menunjukkan sisi kemanusiaan yang langka.


Ketika sudah tak diawasi atasannya, Ishak berbisik ke Sukitman, "Kamu ikut saya, percaya saja, cepat!".


Ia kemudian menyembunyikan Sukitman di dalam jipnya dan membawanya pergi dari Lubang Buaya menuju tempat yang lebih aman. Sukitman lolos dari eksekusi.


Menjadi Kunci Pengungkapan Sejarah


Setelah berhasil lolos, Sukitman tidak tinggal diam. Ia segera melaporkan apa yang disaksikannya kepada aparat keamanan.


Kesaksiannya menjadi petunjuk paling vital bagi pasukan di bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo yang bertugas untuk menemukan lokasi para korban.


Pada tanggal 3 Oktober 1965, berdasarkan petunjuk dari Sukitman, tim pencari menemukan sebuah sumur tua yang ditutupi timbunan tanah dan sampah di kawasan kebun karet Lubang Buaya.


Dari sumur itulah, jenazah tujuh Pahlawan Revolusi berhasil dievakuasi. 


Kisah Sukitman adalah bukti bahwa sejarah sering kali dibentuk oleh momen-momen kecil yang tak terduga.


Ia selamat bukan karena strategi atau rencana besar, melainkan karena kombinasi antara dianggap tidak penting dan tindakan berani seorang prajurit yang mendengarkan nuraninya.


Tanpa keberadaannya yang "tak disengaja" di Lubang Buaya, dan tanpa intervensi Ishak Bahar, pengungkapan salah satu tragedi terbesar bangsa ini mungkin akan berjalan jauh lebih sulit.


Nah bagaimana nasib Ishak? Ia dituduh terlibat tragedi ini penyebabnya karena Ishak adalah anggota Cakrabirawa. Ia ditangkap dan dipenjara di Rutan Salemba.


Sumber: Suara

Komentar