Rocky Gerung: Jokowi Menghadapi Tekanan Psikologis Berat Karena Rakyat Tak Lagi Terpecah!

- Jumat, 18 Juli 2025 | 14:00 WIB
Rocky Gerung: Jokowi Menghadapi Tekanan Psikologis Berat Karena Rakyat Tak Lagi Terpecah!




NARASIBARU.COM - Pengamat politik Rocky Gerung menilai mantan Presiden Joko Widodo kini menghadapi tekanan psikologis yang luar biasa akibat berbagai kontroversi yang menghimpitnya, termasuk isu ijazah dan tuntutan pemakzulan terhadap putranya, Gibran Rakabuming Raka.


Dalam perbincangan dengan wartawan senior Hersubeno Arief, Kamis, Rocky Gerung mengungkapkan bahwa prediksinya tentang Jokowi yang akan “diolok-olok rakyat” setelah lengser mulai terbukti. 


Menurutnya, upaya mempertahankan citra melalui buzzer dan pendukung sudah tidak efektif lagi.


“Kalau saya mulai melawan opini publik ini seperti apa menghadang badai,” kata Rocky, menggambarkan situasi yang dihadapi Jokowi saat ini.


Rocky kemudian menjelaskan bahwa keluarga Jokowi berada dalam kondisi yang “sedikit berbahaya” dengan Bobby Nasution sebagai gubernur mulai dipanggil KPK, sementara Gibran menghadapi status menunggu diproses secara politik terkait tuntutan pemakzulan dari purnawirawan.


“Semua soal ini mulai mengepung psikologi presiden dan itu yang terlihat mungkin gejala psikosomatik pada tubuhnya,” ungkap Rocky, merujuk pada kondisi kesehatan Jokowi yang dilaporkan mengalami masalah kulit.


Menurut Rocky, era media sosial telah membuat rakyat menjadi sangat well-informed hingga level bawah. 


Olok-olok terhadap Jokowi tidak hanya terjadi di media sosial tetapi juga muncul dalam bentuk mural di tembok-tembok bahkan di belakang truk.


“Dari Solo ke Pramuka e plunga-plungo dan suka berdusta,” kutip Rocky mengenai tulisan yang ditemukan di belakang truk, menunjukkan bahwa bahkan masyarakat kelas bawah seperti sopir truk memiliki kesadaran politik yang tinggi.


Fenomena ini, menurut Rocky, menunjukkan hilangnya penghargaan terhadap seorang yang pernah memimpin dan menjadi semacam kegiatan kultural counter culture.


Rocky mengkritik tuduhan Jokowi bahwa tuntutan terhadap ijazah dan pemakzulan Gibran merupakan bagian dari konspirasi politik besar. 


Menurutnya, yang berperan besar justru bukan konspirasi elit politik, melainkan perlawanan publik yang memiliki agenda civil society.


“Dalil Presiden Jokowi harus dia buktikan. Dia mesti tunjukkan yang mana yang disebut konspirasi,” tegas Rocky.


Sebagai mantan presiden yang masih dilindungi negara dan mengetahui banyak rahasia negara, Rocky menilai Jokowi harus membuktikan tuduhan konspirasinya jika ingin dipercaya publik.


Rocky mengamati bahwa kelompok yang membela Jokowi terlihat melakukan serangan yang “asal-asalan” dan tidak memiliki kerangka berpikir yang utuh. 


Sebaliknya, kelompok yang berupaya membuktikan kepalsuan ijazah Jokowi semakin solid argumennya.


“Sementara pihak Pak Jokowi, buzzer Pak Jokowi ini tidak punya kerangka berpikir yang utuh selain reaksioner, reaktif terhadap isu ini,” kritik Rocky.


Upaya mengalihkan isu dengan menuding pendukung Anis Baswedan atau melaporkan orang-orang yang mempersoalkan ijazah dinilai Rocky sebagai strategi yang tidak efektif karena publik sudah tidak mempan lagi untuk dipecah belah.


Rocky menekankan bahwa kasus ini memberikan pelajaran penting tentang kejujuran dalam politik. 


Menurutnya, seseorang yang pernah berkuasa tidak boleh menyimpan kebohongan terlalu lama, apalagi kebohongan yang besar dan sensasional.


“Kesempatan-kesempatan baik buat kita untuk belajar bahwa seseorang yang dipilih itu betul-betul harus datang karena kapasitasnya, bukan karena rekayasa dari lembaga survei, bukan karena disodorkan untuk diasuh oleh oligarki,” tegas Rocky.


Rocky mengakhiri dengan menyinggung prinsip noblesse oblige, bahwa keningratan atau kedudukan tinggi harus diikuti oleh kewajiban moral yang lebih besar. 


Menurutnya, justru setelah menjadi mantan presiden, Jokowi seharusnya menunjukkan kejujuran yang berlebih untuk menjaga nobilitas.


“Pak Jokowi kehilangan momentum itu. Sayang sekali,” pungkas Rocky Gerung.


Perbincangan ini menunjukkan bagaimana dinamika politik Indonesia pasca-Jokowi berkembang, dengan tekanan publik yang semakin intensif terhadap mantan presiden dan keluarganya, sementara upaya pembelaan dinilai semakin kehilangan efektivitas.


Sumber: JakartaSatu

Komentar