NARASIBARU.COM - Panggung politik nasional pasca-Pemilu 2024 menghadirkan babak baru yang krusial bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Seiring berakhirnya masa jabatan, narasi tentang miskalkulasi politik yang dilakukannya semakin menguat, mengancam warisan dan pengaruhnya di masa depan.
Analisis tajam dari Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengungkap bagaimana langkah-langkah Jokowi kini berujung pada sebuah realita pahit, jauh dari "ilusi kekuasaan" yang selama ini menyelimutinya.
Menurut Yunarto, kesalahan perhitungan Jokowi bukan sekadar retaknya hubungan dengan PDI Perjuangan.
Lebih dalam dari itu, Jokowi dinilai telah meninggalkan basis pendukungnya yang paling loyal dan tulus—mereka yang menopangnya sejak awal tanpa pamrih jabatan atau proyek.
"Mas Toto berpendapat bahwa Jokowi mengalami miskalkulasi politik, bukan hanya terkait hubungannya dengan PDIP, tetapi juga karena meninggalkan orang-orang yang mendukungnya sejak awal dengan kepentingan yang lebih sedikit," ujar Yunarto dalam podcast Gaspol dikutip dari YouTube pada Jumat (18/7/2025).
Puncak Miskalkulasi: Mengorbankan Loyalis Demi Dinasti?
Kesalahan perhitungan ini, menurut Yunarto, bukanlah insiden tunggal.
Bibitnya sudah tersemai sejak 2019 dan meledak pada momen paling kontroversial: memajukan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden.
Keputusan ini dianggap sebagai puncak dari serangkaian langkah politik yang mengabaikan fondasi kekuatannya sendiri.
"Miskalkulasi ini dimulai sejak 2019 dan puncaknya adalah ketika menempatkan Gibran sebagai cawapres secara kontroversial," tegasnya.
Langkah ini secara efektif menjauhkan Jokowi dari para pendukung awal yang menjadi tulang punggung perjuangannya.
Mereka adalah kelompok yang tidak pernah menodongkan proposal proyek atau menuntut kursi kekuasaan.
"Jokowi dianggap melupakan pendukung awalnya yang tidak meminta jabatan atau proyek," kata Yunarto.
Pengabaian terhadap loyalis inilah yang kini memaksanya menghadapi konsekuensi politik yang tak terhindarkan.
Realita Pasca-Jabatan: Saat Ilusi Kekuasaan Tak Lagi Menapak Tanah
Kini, tabir kekuasaan absolut mulai tersingkap.
Yunarto Wijaya menggambarkan kondisi Jokowi saat ini sebagai momen kebangkitan dari mimpi indah.
Realita politik yang dihadapinya sekarang sangat berbeda, di mana pengaruh dan daya tawar tidak lagi sebesar saat masih memegang kendali penuh di Istana.
"Saat ini, Jokowi menghadapi realita politik di balik ilusi kekuasaan yang tidak menapak tanah," pungkas Yunarto.
Ini adalah pengingat keras bahwa dalam politik, kekuasaan bersifat sementara dan loyalitas adalah mata uang yang rapuh.
PSI Sebagai Sekoci Politik? Sebuah Pertaruhan di Tengah Keterasingan
Di tengah potensi keterasingan politik, spekulasi mengenai Jokowi yang akan berlabuh ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) semakin santer.
Yunarto melihat ini sebagai manuver Jokowi untuk memastikan dirinya tetap memiliki "kendaraan" dan relevansi politik setelah resmi menjadi warga biasa.
"Pernyataan Jokowi yang mengindikasikan akan bergabung dengan PSI dilihat sebagai langkah untuk memiliki kekuatan politik riil setelah tidak lagi menjabat presiden," jelas Yunarto.
Pilihan jatuh ke PSI, sebuah partai non-parlemen, ditengarai karena ketiadaan opsi lain.
Partai-partai besar kini sudah sibuk dengan agenda masing-masing, terutama berlomba-lomba mendekati pusat kekuasaan baru, Prabowo Subianto.
Namun, bergabungnya Jokowi ke PSI dinilai belum tentu mampu mendongkrak posisi tawarnya secara signifikan di hadapan Prabowo.
Ujian sesungguhnya bagi kekuatan elektoral Jokowi dan Gibran baru akan terlihat pada Pemilu 2029 mendatang.
Warisan di Ujung Tanduk: Legasi vs Manuver Politik Keluarga
Yunarto menyayangkan jika masa pensiun Jokowi dihabiskan untuk terus bermanuver dalam politik praktis demi kepentingan putranya.
Ada kekhawatiran bahwa legasi pembangunan yang telah ia bangun selama dua periode akan tertutup oleh citra seorang politisi yang tak rela melepas panggung.
"Mas Toto menyayangkan jika Jokowi harus menghabiskan masa pensiunnya dengan terus terlibat dalam politik praktis dan mengurusi isu anaknya, bukan dikenang karena legasinya," kata Yunarto.
Fenomena ini menjadi anomali jika dibandingkan dengan presiden-presiden pendahulunya.
"Tren Jokowi yang baru mencari partai setelah selesai menjabat presiden dianggap tidak lazim dibandingkan presiden-presiden sebelumnya yang justru mulai mengurangi peran politik praktis setelah lengser," imbuh Yunarto.
Pada akhirnya, semua mata tertuju pada bagaimana Jokowi akan menavigasi babak barunya, apakah ia mampu memperbaiki miskalkulasi ini atau justru terjebak dalam labirin politik yang ia ciptakan sendiri.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Rismon Sianipar Curiga Mantan Rektor UGM Sofian Effendi Ditekan Tarik Pernyataan Ijazah Jokowi Palsu
Pagu Anggaran IKN Mubazir Kalau Wapres Gibran Ogah Pindah
Analis Ungkap Skenario Perang Dingin Prabowo vs Jokowi di 2029, Nasib Sosok Ini Jadi Kunci!
Pengakuan Berbalik Eks Rektor UGM Dinilai Bentuk Intimidasi: Kebohongan Jika Ditutupi Munculkan Kebohongan Lain!