Oh Ternyata! Penundaan Proyek Buku Sejarah Ala Fadli Zon Demi Sukseskan Gelar Pahlawan Ayah-Kakek Prabowo?

- Jumat, 15 Agustus 2025 | 13:45 WIB
Oh Ternyata! Penundaan Proyek Buku Sejarah Ala Fadli Zon Demi Sukseskan Gelar Pahlawan Ayah-Kakek Prabowo?




NARASIBARU.COM - Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Asvi Warman Adam mengungkap sejumlah upaya yang dilakukan untuk menyematkan gelar pahlawan kepada ayah hingga kakek Presiden Prabowo Subianto. 


Asvi menilai, diundurnya penerbitan hasil penulisan sejarah ulang Indonesia yang digagas Menteri Kebudayaan Fadli Zon, bukan hanya sekedar untuk meredam kritikan publik, tapi sekaligus untuk menyukseskan pemberian gelar pahlawan kepada tiga anggota keluarga Prabowo. 


Perilisan hasil penulisan ulang sejarah seharusnya dilaksanakan pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan Hari Ulang RI ke 80 tahun, tapi diundur menjadi 10 November yang merupakan peringatan Hari Pahlawan. 


"Jadi, boleh jadi pengunduran, peluncuran Buku Sejarah Indonesia yang baru ini, yang pertama mungkin sekedar memenuhi saran dari DPR supaya tidak tergesa-gesa. 


Jadi memang tidak 17 Agustus. Tapi, kemungkinan itu pada bulan November bersamaan dengan pengangkatan pahlawan nasional," kata Asvi dalam konferensi pers Refleksi 80 tahun Kemeredekaan RI di Kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta, Kamis (14/8/2025). 


Untuk diketahui tiga anggota keluarga Prabowo diusulkan menjadi pahlawan nasional, ayahnya Sumitro Djojohadikusumo, kakeknya Raden Margono Djojohadikusumo, dan mertuanya mantan Presiden ke 2 Soeharto. 


Asvi pun melihat terdapat sejumlah rangkain untuk menyukseskan pemberian gelar pahlawan kepada tiga anggota keluarga Prabowo. 


Di antaranya penunjukkan Fadli Zon yang merupakan kader partai Gerindra sebagai ketua dewan gelar. 


"Jadi, kita bisa menduga bahwa ini bagian dari mengembalikan kehebatan Orde Baru itu dengan mengangkat dan memberikan legitimasi juga kepada Prabowo dengan mengangkat tiga orang pahlawan nasional pada bulan November, yaitu Soeharto, mertuanya. Ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, dan kakeknya Margono Djojohadikusumo," ujar Asvi. 


Selain itu, dia juga menemukan buku-buku tentang Sumitro dan Margono diterbitkan setiap minggu hingga setiap bulan. 


"Dan sejarawan seakan-akan berlomba-lomba untuk menyeminarkan kedua tokoh ini, baik Sumitro maupun Prabowo Subianto, karena dengan pikiran mereka sudah mengusulkan sesuatu dan tidak mungkin ditolak," ujarnya. 


"Jadi, mereka sudah dapat nama dengan melakukan hal ini. Tapi ini bagian dari rangkaian Buku Sejarah Nasional dengan pengangkatan Dewan Gelar yang akan mengangkat beberapa orang menjadi pahlawan nasional dan saya memperkirakan tiga orang itu akan diangkat pertama," sambungnya. 


Dengan demikiannya, kata Asvi, ketika ketiga orang tersebut mendapatkan gelar pahlawan nasional sudah terdapat buku yang mendukungnya. 


"Dan itu yang saya lihat dari kenapa ada pengunduran dan semacamnya. Tapi, barangkali kaitannya tadi dengan keserempakan peluncuran Buku Sejarah Nasional yang mengembalikan kejayaan Orde Baru dan memberikan legitimasi juga kepada Presiden Prabowo dengan misalnya ayah atau kakeknya itu menjadi pahlawan nasional," ujarnya. 


"Jadi, kalau menurut istilah sepakbola itu namanya itu hattrick. Jadi, mencetak tiga gol di dalam satu pertandingan itu berturut-turut gitu. Jadi, mertua, ayah, dan kakek," sambungnya. 


Mengenal Mendiang Kakek Prabowo, Margono Djojohadikusumo Pendiri Bank Negara Indonesia (BNI)


Dilansir Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Banyumas, Raden Mas Margono Djojohadikusumo lahir pada 16 Mei 1894 di Purwokerto.


Ia adalah tokoh penting dalam sejarah perbankan Indonesia. RM Margono berasal dari keluarga bangsawan.


Ia merupakan anak dari Raden Tumenggung Mangkuprodjo, keturunan dari Raden Kartoatmodjo serta R.Ay Djojoatmojo.


RM Margono adalah cucu buyut Raden Tumenggung Banyakwide, pengikut setia Pangeran Diponegoro.


 RM Margono menempuh pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (sekolah dasar kolonial) pada tahun 1901.


Setelah lulus pada tahun 1907, ia melanjutkan pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, sekolah pegawai negeri) di Magelang hingga tahun 1911.


Ia lalu menikah dengan Siti Katoemi Wirodihardjo dan memiliki tiga orang anak, termasuk Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, seorang ekonom terkemuka.


 Ia juga memiliki anak bernama Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikoesoemo dan Taruna Soejono Djojohadikoesoemo, yang gugur dalam Pertempuran Lengkong.


Dari pernikahan Soemitro dan istrinya, RM Margono memiliki empat orang cucu, yaitu Biantiningsih Djiwandono Sigar, Maryani Lemaistre Djojohadikusumo Sigar, Hashim Djojohadikusumo, dan Prabowo Subianto.



RM Margono dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946.


Berawal setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam bidang ekonomi. De Javasche Bank, bank sentral era kolonial, tidak mengakui kedaulatan Indonesia.


Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung, RM Margono mengusulkan pembentukan bank sentral untuk mendukung stabilitas ekonomi negara.


Atas mandat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta, RM Margono memimpin upaya mendirikan Bank Sentral Negara Indonesia.


Pada 16 September 1945, bank ini resmi dibentuk dan diberi wewenang untuk menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai alat pembayaran sah. Kemudian, melalui Perpu No 2 tahun 1946, BNI ditetapkan sebagai bank sirkulasi.


RM Margono menjadi Direktur Utama BNI yang pertama hingga tahun 1950.


Di bawah kepemimpinannya, bank ini tidak hanya berfungsi sebagai bank sentral, tetapi juga melakukan kegiatan perbankan umum seperti pemberian kredit dan penerimaan simpanan.


Ia berjuang melawan berbagai rintangan untuk memastikan keberlangsungan BNI dan stabilitas ekonomi Indonesia.


Pada 1955, peran BNI berubah menjadi bank pembangunan dan mendapatkan hak untuk bertindak sebagai bank devisa. Status hukum BNI kemudian ditingkatkan menjadi Persero pada tahun 1969.


Kecakapan RM Margono di bidang ekonomi menurun kepada anaknya Soemitro. Ayah Prabowo ini terkenal sebagai seorang ekonom terkemuka. RM Margono meninggal pada 25 Juli 1978, tetapi warisannya tetap hidup melalui BNI yang kini menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia dengan lebih dari 2.000 cabang di dalam dan luar negeri.


Keberanian dan dedikasinya dalam mendirikan BNI menjadikannya salah satu pahlawan ekonomi bangsa.


Dalam perjalanan hidupnya, RM Margono tidak hanya berkontribusi dalam bidang perbankan, tetapi juga aktif dalam organisasi pergerakan nasional seperti Jong Java dan Partai Nasional Indonesia (PNI).


Ia memainkan peran penting dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk membantu merumuskan dasar negara.


Tak hanya itu, pada pelantikan Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, dibentuklah Kabinet Presiden serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).


RM Margono diangkat sebagai Ketua DPAS yang pertama, menandai langkah penting dalam struktur pemerintahan baru Indonesia.


Pembentukan lembaga ini bertujuan memberikan nasihat dan pertimbangan kepada pemerintah dalam menjalankan tugasnya di tengah situasi politik yang masih rentan pasca-kemerdekaan.


Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Hak Angket pertama kali diterapkan DPR pada tahun 1950-an.


Inisiatif ini berawal dari usulan RM Margono yang mendorong DPR untuk melakukan penyelidikan mengenai usaha pemerintah dalam memperoleh dan menggunakan devisa.


Sebagai hasil dari usulan tersebut, dibentuklah Panitia Angket yang terdiri dari 13 anggota, dengan RM Margono sebagai ketuanya.


Tugas panitia ini untuk menyelidiki keuntungan dan kerugian dari penerapan sistem devisen-regime berdasarkan Undang-Undang Pengawasan Devisen Tahun 1940, beserta perubahan-perubahannya.


RM Margono meninggal pada 25 Juli 1978 di Jakarta, dan dikenang sebagai pahlawan ekonomi yang berkontribusi besar terhadap kemajuan Indonesia.


Warisannya terus hidup melalui generasi keluarganya yang berpengaruh dalam berbagai bidang.


Sumber: Suara

Komentar