NARASIBARU.COM -Center of Human and Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) menyoroti dilema antara penerimaan negara dari cukai rokok dengan biaya sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok.
Senior Advisor CHED ITBAD, Mukhaer Pakkanna, menekankan bahwa industri rokok justru memperkaya diri melalui eksploitasi kelompok rentan.
“Surplus ekonomi keluarga miskin banyak dialihkan ke industri rokok. Industri rokok menjadi kaya raya berkat kontribusi masyarakat miskin, petani tembakau, buruh industri, bahkan anak-anak yang menjadi konsumen,” ungkap Mukhaer dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu 23 Agustus 2025.
Mukhaer juga mengingatkan bahwa kendala terbesar pengendalian rokok di Indonesia bukan semata aspek ekonomi, melainkan politik.
“Industri rokok memiliki lobi politik yang kuat, bahkan hingga level desa. Intervensi industri tembakau (Tobacco Industry Interference/TII) adalah hambatan utama dalam pengendalian tembakau,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Studi CHED ITB-AD, Roosita Meilani Dewi, menyebut bahwa fenomena ekonomi rokok di Indonesia sebagai Serakanomics. Industri rokok, kata Roosita, justru mengeksploitasi konsumen kecanduan, membuat masyarakat terkunci dalam pola konsumsi.
“Mereka sengaja menyasar anak-anak, remaja, perempuan, dan kelompok miskin. Industri meraup untung besar, tapi biaya kesehatan dan sosial dipindahkan ke masyarakat,” kata Roosita.
Hal senada disampaikan Ekonom dari FEB UI, Abdillah Ahsan. Ia menegaskan bahwa turunnya konsumsi rokok tidak merusak ekonomi, justru menguatkan daya tahan bangsa.
“Jika masyarakat berhenti merokok, pengeluaran rumah tangga akan dialihkan ke pendidikan, gizi, dan kebutuhan produktif lainnya. Konsumsi rokok yang menurun membuat masyarakat lebih sehat dan produktif, sehingga ekonomi kita lebih kuat,” kata Abdillah.
Sementara itu, Praktisi Kesehatan Lily S. Sulistyowati mengkritisi paradigma pemerintah yang masih mengandalkan cukai rokok dalam RAPBN.
“Negara masih menempatkan rokok sebagai penopang penerimaan. Padahal biaya kesehatan akibat rokok 2–3 kali lipat lebih besar dibanding penerimaan cukai,” jelas Lily.
Menurutnya, paradigma kesehatan publik seharusnya menitikberatkan pada pencegahan.
“Public health harus fokus pada promotif dan preventif agar masyarakat sehat tetap sehat. Kalau pengendalian tembakau tidak serius, peningkatan anggaran kesehatan hanya ibarat menimba air di kapal bocor,” pungkas Lily.
Sumber: RMOL
Artikel Terkait
Antropolog Belanda Sebut Fenomena Buzzer Bayaran di Indonesia Sudah Menjadi Industri
Gawat! Rektor UGM Akan Menyanksi Alumni Yang Sengaja Palsukan Ijazah Resmi, Gimana Nasib Jokowi?
Terbaru! UGM Ungkap Fakta Skripsi dan Ijazah Jokowi
Perseteruan Gus Dur Dengan Kapolri Bimantoro Berujung Pelengseran