Mahfud MD Harap Kritik Publik Tak Mengarah pada Narasi Pembubaran DPR: Itu Instrumen Konstitusi

- Rabu, 27 Agustus 2025 | 10:40 WIB
Mahfud MD Harap Kritik Publik Tak Mengarah pada Narasi Pembubaran DPR: Itu Instrumen Konstitusi


NARASIBARU.COM -
Pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mahfud MD menilai bahwa kemarahan publik atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan di lingkup DPR RI adalah bagian dari ekspresi. Namun jangan sampai mengarah pada narasi distorsi yakni pembubaran DPR RI.

“Saya berharap apapun yang terpikir kemarahan kita terhadap situasi buruknya tata kelola politik kita, korupsi di DPR, korupsi di pemerintahan, partai politik yang mandul, dan sebagainya, lebih bagus daripada kita membubarkan DPR dan parpol,” kata Mahfud MD dalam podcast Terus Terang seperti dikutip Holopis.com, Rabu (27/8/2025).

Menurutnya, keberadaan DPR dalam sistem pemerintahan dalam bernegara di Indonesia penting karena sebagai bagian dari check and balances. Apalagi ia menyebut jika tanpa adanya DPR, maka dikhawatirkan pemerintah akan bersikap otoriter dan sewenang-wenang.

“Itu adalah dalil di dalam demokrasi. Oleh sebab itu, saya berharap mari kita kritik terus nih pemerintah, DPR, koruptor, kita suruh tangkap rame-rame. Tapi jangan bicara DPR itu dibubarkan, itu instrumen konstitusi,” ujarnya.

Lantas, ia pun bercerita tentang pengalaman Indonesia yang sempat kehilangan fungsi parlemen di era pemerintahan Presiden pertama, Soeharno. Di mana kala itu menurut Mahfud, ada sebuah peristiwa Bung Karno sempat ingin membubarkan DPR RI.

“Lalu bung Bung Hatta yang kemudian di-quote oleh Bung Karno. Bung Hatta itu pada tanggal 3 November tahun 1945 juga mengatakan, hai raya kita nih negara demokrasi, bentuklah partai sebanyak-banyaknya, kita akan segera Pemilu agar Pemerintah ini diisi oleh orang-orang yang dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk secara sementara oleh pembentuk konstitusi, udah itu partai bermunculan,” terangnya.

Kemudian pada tahun 1955, muncullah pemilu pertama kali di Indonesia dengan kehadiran 30 partai politik dari berbagai basis bangsa. Bahkan dalam sejarah republik Indonesia, pemilu tahun itu dianggap sebagai pemilu yang paling demokratis, sebab tidak ada banyak batasan yang disyaratkan.

Namun dalam sejarah juga dicatat ada sebuah peristiwa kemarahan Bung Karno, di mana DPR dan MPR saat itu malah memicu perang politik yang mengarah pada perpecahan. Hingga akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan dekrit Presiden yang berisi tentang pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, pencabutan UUDS 1950, serta pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

“Pemilu 55 yang sangat demokratis menurutkan sejarah, tapi kemudian terjadi perang politik yang menjurus ke perpecahan, sehingga Bung Karno kemudian mengeluarkan Dekrit Presiden membubarkan MPR, mengganti undang-undang dasar secara sepihak, itu kan melanggar konstitusi, itu yang dilakukan oleh Bung Karno,” tutur Mahfud.

Lantas, Mahfud menyinggung sebuah buku berjudul “Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965” karya Herbert Feith, di mana buku tersebut juga merekam sejarah situasi sosial politik dan hukum di Indonesia.

“Herbert Feith, dia nulis politik dan hukum itu, tahun 1957 Bung Karno sudah mengatakan, sekarang kita ndak butuh partai, mari kita kuburkan partai-partai, karena partai-partai inilah yang merusak, itu ada di buku itu masih tertulis sampai sekarang,” paparnya.

Situasi itu ternyata malah membuat buruk pemerintahan Presiden Soekarno hingga muncul trust issue kepada Bapak Proklamator tersebut karena mulai cenderung sewenang-wenang dan otoriter.

“Pada waktu itu memang banyak yang mendukung Bung Karno, tetapi secara pelan tapi pasti karena di DPR itu sudah dilumpuhkan, Bung Karno lalu menjadi cenderung dan mulai sewenang-wenang, iya kan, menahan Hamka, Mochtar Lubis, macam-macam lah banyak yang ditahan di situ, tanpa proses hukum pada waktu itu,” jelas Mahfud.

Dari peristiwa tersebut, ia pun menarik kesimpulan penting sebagai pembelajaran, bahwa kekuasaan memang akan cenderung menimbulkan kerusakan jika tidak dibarengi dengan pengawasan.

“Setiap kekuasaan itu power tends to corrupt, setiap kekuasaan itu cenderung disalahgunkan, nah itu yang kemudian terjadi pada Bung Karno,” tegasnya.

Kemudian ada juga salah satu faktor gejala buruk pemerintahan Presiden Soekarno adalah ketika muncul penerbitan Penetapan Presiden (Penpres) yang semakin memperkuat penyebab Presiden Soekarno tumbang.

“Anda ingat ada istilah Penpres, Penetapan Presiden, itu adalah satu tindakan pembuatan hukum setingkat UU dilakukan oleh Bung Karno tanpa minta persetujuan DPR, karena kalau minta ke DPR di tolak kan, wah sudah saya buat sendiri aja. Bung Karno buat dewan nasional pokoknya undang-undang dibuat di situ, keluarkan, (padahal) parlemen ada waktu itu, tapi udah dilumpuhkan, rapat-rapatnya nggak digubris gitu, memberi pertimbangan-pertimbangan tentang APBN gitu rame Bung Karno marah dan seterusnya,” tutur Mahfud.

“Nah, itu yang kemudian menyebabkan Bung Karno jatuh,” pungkasnya.

Sumber: holopis

Komentar