Ismail Fahmi Drone Emprit: Publik Disuguhi 2 Narasi, Purbaya Pahlawan atau Penjahat?

- Senin, 15 September 2025 | 14:50 WIB
Ismail Fahmi Drone Emprit: Publik Disuguhi 2 Narasi, Purbaya Pahlawan atau Penjahat?




NARASIBARU.COM - Founder Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi, menyebut, pelantikan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, dan kebijakan awal yang ditempuhnya telah menjadi salah satu peristiwa besar yang menyita perhatian publik.


Dikatakan Ismail, inti pemberitaan terletak pada pergantian dari Sri Mulyani ke Purbaya yang langsung diikuti dengan kebijakan kontroversial.


“Peristiwa inti yang menjadi fokus pemberitaan, yaitu pergantian Menteri Keuangan, diikuti oleh kebijakan kontroversial penyuntikan likuiditas sebesar Rp200 triliun ke bank Himbara,” ujar Ismail di X @ismailfahmi (15/9/2025).


Lanjut Ismail, dinamika ini bisa dipahami dengan memakai teori framing Entman.


"Setiap pemberitaan dianalisis melalui empat fungsi framing Entman, Problem Definition (bagaimana masalah didefinisikan), Causal Interpretation (siapa atau apa penyebabnya), Moral Evaluation (penilaian baik atau buruk), dan Treatment Recommendation (solusi yang diusulkan),” jelasnya.


Ia melanjutkan bahwa bukan hanya Entman, lensa kategorisasi Edelman juga relevan untuk melihat isu tersebut.


"Penerapan Kategorisasi Edelman. Isu dan aktor kemudian dikategorikan menggunakan lensa Edelman,” ucap Ismail.


Isu yang muncul, kata dia, lebih dekat pada krisis dibandingkan rutinitas.


"Isu diklasifikasikan sebagai Crisis, Opportunity, Threat, atau Routine. Sementara itu, aktor utama (Purbaya, Sri Mulyani, publik) diposisikan sebagai Hero, Villain, Victim, atau Beneficiary,” Ismail menuturkan.


Ismail menambahkan, Drone Emprit mengumpulkan data dari beragam kanal digital untuk memetakan perbedaan narasi.


“Agregasi dan Sintesis. Data dari berbagai sumber (media online, Twitter, Facebook, TikTok) diagregasi untuk mengidentifikasi pola framing yang dominan, variasi antar platform, dan bagaimana narasi-narasi ini berinteraksi,” katanya.


Ia menegaskan bahwa langkah terakhir adalah membaca dampak dari narasi tersebut.


“Langkah terakhir, menganalisis dampak dari framing yang berbeda-beda ini terhadap pemahaman dan kepercayaan publik terhadap kebijakan ekonomi dan aktor politik yang terlibat,” imbuhnya.


Soal posisi Purbaya di media sosial, Ismail melihat adanya dominasi framing positif di TikTok.


“Purbaya sebagai Pahlawan (Hero). Framing ini sangat kuat di TikTok. Melalui klip-klip pendek yang diedit dengan musik dramatis,” ungkapnya.


Dalam konten itu, citra Purbaya dibangun dengan kuat. 


Purbaya ditampilkan sebagai figur yang cerdas, tegas, dan berani melawan kemapanan seperti saat berdebat di DPR.


Bahkan, beberapa akun populer di TikTok semakin menguatkan citra tersebut. Namun, framing yang muncul di media lain justru berbeda.


“Purbaya sebagai Penjahat (Villain). Framing ini muncul dari dua sumber,” tegasnya.


Ismail menjelaskan, sumber pertama datang dari media kritis. Pertama, dari media kritis yang menuduh kebijakannya berpihak pada konglomerat.


Lalu, sumber kedua berkembang di ruang digital. 


Tepatnya dari media sosial yang fokus pada kontroversi personal, yang melabelinya sebagai sosok arogan dan tidak berempati.


Sementara itu, framing Sri Mulyani bergerak ke arah berbeda, sebagai Korban atau Simbol Masa Lalu (Victim).


Terlebih, dalam narasi pergantian jabatan, Sri Mulyani seringkali diposisikan sebagai korban dari perubahan politik.


"Perpisahannya yang emosional membangkitkan simpati publik dan secara kontras menempatkan Purbaya sebagai pendatang baru yang harus membuktikan diri,” kuncinya.


Sumber: Fajar

Komentar