Dr Tifa Ingatkan Dosa Pemerintahan Jokowi, Khawatir Indonesia Seperti Nepal

- Senin, 15 September 2025 | 19:35 WIB
Dr Tifa Ingatkan Dosa Pemerintahan Jokowi, Khawatir Indonesia Seperti Nepal



NARASIBARU.COM  - Pakar Neuroscience Behavior dr Tifauzia Tyassuma atau Dokter Tifa melontarkan pernyataan keras melalui akun media sosialnya, @DokterTifa pada Senin (15/9/2025).

Kali ini, dirinya mengungkapkan sejumlah dugaan pelanggaran berat dan kejahatan yang dikaitkan dengan mantan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Dalam unggahannya, Dr. Tifa menyinggung berbagai kasus yang menurutnya berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan mantan kepala negara tersebut.

“Tidak sampai setahun pasca lengser, sudah dikejar dosa-dosanya: 900 nyawa KPPS, 300 nyawa korban Kanjuruhan, 6 mujahid KM 50, ratusan korban pinjol dan judol, ratusan korban kelaparan di Yahukimo (Papua) dan juga tempat-tempat lain,” tulisnya.


Ia juga menyinggung dugaan korupsi yang disebutnya bernilai "ribuan triliun" yang dikaitkan dengan pejabat-pejabat di bawah pemerintahan sebelumnya, namun menurutnya “bermuara ke satu nama.”

“Korupsi ribuan triliun atas nama anak buah, tetapi semua bermuara ke satu nama. Sudah didaftar ke OCCRP, sehingga tak mungkin berkelit lagi,” tulis Dr. Tifa, merujuk pada lembaga investigasi jurnalisme lintas negara, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP).

Lebih lanjut, Dr. Tifa juga menyentil isu dugaan pemalsuan ijazah, serta memperingatkan para pejabat dan penerus kekuasaan agar tidak melanjutkan apa yang ia sebut sebagai 'kejahatan orang ini'.

“Kebohongan ijazah 20 tahun dengan nikmat fasilitas dan segala kemewahan yang dirasakan anak, menantu, sampai cucu,” lanjutnya.

"Mau pergi kemana Fir'aun, Hamman dan Qorun ketika Allah sudah mulai menurunkan azab atas kezaliman?" tanyanya.

"Ingat! Kezaliman dibalas Allah di dunia bukan ditunda di akhirat. Dosanya sih hitung-hitungan tetap di akhirat. Tapi nanti. Zalimnya itu lho, balasannya di dunia," tegasnya.


Dalam bagian akhir unggahan, Dr. Tifa menyinggung peristiwa kekacauan politik di Nepal sebagai pengingat bagi para pemimpin di Indonesia.

"Apa yang terjadi pada orang ini dan kejadian di Nepal dimana Penguasa dihajar habis hingga istrinya meninggal dibakar, menteri-menteri dikejar massa, semoga menjadi pelajaran dan membuka mata para Pejabat di Indonesia," jelas Dr Tifa.



"Janganlah kejahatan orang ini  diteruskan oleh siapapun juga apalagi anak-anaknya, juga orang lain," tegasnya.

"Allah tidak akan tinggal diam. Ingat itu. Allah tidak akan tinggal diam kepada kalian semua yang berbuat kejahatan!" tutupnya.

Dokter Tifa Temui 'Orang Dalam', Ungkap Perintah untuk Penjarakan Akademisi

Diberitakan sebelumnya, Kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) kian memanas pasca viralnya pernyataan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), Ova Emilia.

Dalam video yang diunggah Channel YouTube Universitas Gadjah Mada pada Jumat (22/8/2025) itu, Ova Emilia menyebut Jokowi merupakan Sarjana Muda.

Alih-alih meredam polemik, pernyataan Guru Besar ilmu Pendidikan Kedokteran pada Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM itu justru memicu perdebatan masyarakat.

Pernyataan Ova Emilia, bahkan dinilai dokter sekaligus aktivis, Dr Tifa membuka petunjuk baru atas kasus dugaan ijazah palsu Jokowi.

Pernyataan itu pun dinilai Pakar Neuroscience Behavior itu menganulir semua bukti yang dihadirkan oleh pihak Kepolisian maupun UGM terkait kasus dugaan ijazah palsu Jokowi.

Bersamaan dengan polemik yang terjadi, Dr Tifa mengaku telah menemui 'orang dalam' yang diduga berada di Kepolisian.

Berdasarkan informasi yang disebutnya Info A Super itu, terkuak perintah langsung mengenai kriminalisasi para akademisi.

Diketahui, selain dirinya, terdapat Roy Suryo, Rismon Sianipar dan seorang berinisial K yang belum diketahui identitasnya dilaporkan Jokowi.

Selain itu, Rizal Fadillah Rizal Fadillah merupakan tokoh Muhammadiyah asal Bandung yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Tim Pengawal Umat dan Agama (TPUA).

Kelimanya dilaporkan atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik.

Kabar tersebut diukapkan Dr Tifa lewat akun twitternya @DokterTifa pada Kamis (28/8/2025).

Dalam postingannya, Dr Tifa mengungkapkan info tersebut meliputi perintah langsung dari lawannya kepada aparat.
 
"Pertemuan dengan seorang yang punya info A super," tulis Dr Tifa. 

"Begini perintah kepada pulicik: Saya tidak mau tahu bagaimana caranya! Pokoknya penjarakan 3 orang itu!" tulis Dr Tifa menirukan perintah.

Mendapatkan perintah tersebut, aparat katanya mencoba mencari celah untuk mengkriminalisasi para akademisi, hingga akhirnya berhasil dibui.

"Jadi Pulicik jungkir balik mengatur bagaimana cara penyelidikan jadi penyidikan terus nanti bikin kami jadi tersangka lalu bikin kami jadi terdakwa," ungkap Dr Tifa. 

"Artinya kami berempat mau ngomong apa aja di di pemeriksaan, intinya 3 orang harus penjara!" tegasnya

"Begitu kebengisannya ketika satu demi satu kebohongan terungkap!" tambahnya.

Meski demikian, Dr Tifa mengaku tak gentar.

Dirinya tetap akan melawan dan menyampaikan kebenaran.

"Lalu apa yang akan kami lakukan? YA LAWANLAH!" tegas Dr Tifa.

"Memangnya kami orang-orang yang cuma bisa berdiam diri saja? Memangnya kami tidak mengaum? Mengaumlah kami sekencang-kencangnya, sampai Langit ketujuh mendengar, dan menurunkan makarNya!" tegasnya.

"Ada orang yang 20 tahun menikmati semua uang dan fasilitas dan kenyamanan sampai ke anak cucu, dibayar dengan uang pajak keringat darah rakyat, dan dia capai semua itu dengan IJAZAH BODONG!," jelas Dr Tifa.

Para akademisi ditegaskannya akan terus berjuang melawan.

Mengingat pernyataan Rektor UGM, Ova Emilia yang menyebut Jokowi adalah Sarjana Muda justru membongkar satu per satu kebohongan. 

"Dan ditambah secara meyakinkan dan jelas oleh Rektor UGM bahwa orang ini memulai kuliahnya bulan di level Sarjana tetapi SARJANA MUDA!" ungkap Dr Tifa. 

"Artinya semua yang dikatakan, dinarasikan, direunikan, dibela oleh termul-termul dan tim hore-hore selama ini, bahkan sebagian dari dokumen yang dipaparkan oleh BARESKRIM tanggal 22 Mei 2025, BOHONG!" tegasnya.

Dr Tifa pun menantang para pendukung Jokowi yang kini disebutnya Termul (Ternak Mulyono), termasuk Sifester Matutina yang kini tengah diburu Kejaksaan Negeri Jaksel.

Dirinya tak gentar meski lini media sosialnya diberondong hujatan oleh para Termul.

"Biar 100 Termul - Matutina (karena orangnya sudah ngumpet) terus membela-bela sampai terkaing-kaing Semua KEBENARAN terungkap dengan sendirinya oleh tangan-tangan tak terlihat!" jelasnya. 

Justru, lanjutnya, Jokowi kini kian terpojok dengan kehadiran Buku Jokowi White Paper yang disusun oleh para akademisi.

Jokowi katanya kini semakin takut muncul di publik dan mengalami stres dan kondisi kesehatannya pun kian parah.

"Dan apa yang terjadi, ketika kami bertiga RRT membuat buku JOKOWI'S WHITE PAPER?" tanya Dr Tifa. 

"Dia semakin terpojok, semakin takut keluar rumah, semakin takut bicara, semakin stress, semakin bengkak, semakin merah dan meradang semua kulitnya, semakin sipit matanya, semakin tak berani bertemu siapapun! Jadi sebenarnya, siapa yang sudah dipenjara?" tutupnya.


Pernyataan Dr Tifa dissambut meriah oleh masyarakat.

Tak hanya para pengikutnya, tetapi juga mereka yang mendukung Jokowi dalam kasus ini.

Pro dan kontra kembali mengisi kolom komentar postingannya. 

Pernyataan Rektor UGM Kian Memperkeruh Kasus Ijazah Jokowi, Guru Besar UPN Ingatkan Kasus Bahlil

Kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) terus berpolemik.

Terkini, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Ova Emilia dalam video yang diunggah Channel YouTube Universitas Gadjah Mada pada Jumat (22/8/2025) mengungkapkan Jokowi merupakan lulusan UGM.

Jokowi disebutkan merupakan sarjana muda.

Pernyataan Ova Emilia viral di media sosial.

Beragam tanggapan disampaikan masyarakat.

Tak terkecuali dokter sekaligus aktivis, Dr Tifa.

Pakar Neuroscience Behavior itu menilai pernyataan Ova Emilia membuka petunjuk baru atas kasus dugaan ijazah palsu Jokowi.

Melalui akun twitter pribadinya, @doktertifa pada Selasa (26/8/2025), Dr Tifa menyebut pernyataan Prof Ova Emilia menganulis sejumlah pernyataan dan bukti yang dihadirkan oleh kubu Jokowi hingga Pihak Kepolisian.

Kian berpolemiknya kasus dugaan ijazah Jokowi ditanggapi banyak pihak.



Satu di antaranya Guru Besar Hukum dan Kenegaraan UPN Veteran Jakarta, Prof Dr Taufiqurrohman Syahuri SH, MH.

Anggota Komisi Yudisial Periode 2010-2015 itu menilai Dewan Etik atau Dewan Guru Besar UGM harus segera turun tangan.

Dewan Etik atau Dewan Guru Besar UGM katanya bisa menggelar sidang etik guna memeriksa apakah ijazah tersebut diperoleh sesuai prosedur.

Hal tersebut merujuk kasus Bahlil Lahadalia yang diselesaikan oleh Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI). 

Kasus ini mengacu pada polemik seputar disertasi S3 Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Universitas Indonesia (UI) pada akhir 2024 hingga awal 2025, yang melibatkan dugaan pelanggaran etik akademik dan persyaratan kelulusan.

UI menjatuhkan sanksi pembinaan, termasuk kewajiban perbaikan disertasi, publikasi, dan permintaan maaf kepada sivitas akademika, kepada Bahlil dan para pembimbingnya.

Sanksi ini diputuskan oleh empat organ UI setelah sidang etik dan melibatkan penangguhan gelar doktor Bahlil sementara waktu

"Kasus Bahlil di UI membuktikan mekanisme etik bisa berjalan dengan baik. Karena itu, penyelesaian kasus ijazah Presiden Jokowi pun semestinya ditempatkan dalam kerangka serupa," ungkap Pakar Hukum dan Kenegaraan itu dikutip dari Hukum Online.

"Putusan etik akan memberikan legitimasi kuat sekaligus meredam isu yang rawan dipolitisasi," imbuhnya.

Pernyataan sepihak Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) yang beredar baru-baru ini mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo ternyata tidak meredakan polemik, melainkan justru memperpanas perdebatan di tengah masyarakat.

Alih-alih menghadirkan klarifikasi yang menenteramkan, langkah tersebut memicu reaksi pro dan kontra yang semakin meluas.

Isu keaslian ijazah alumni UGM atan nama Joko Widodo sebetulnya sudah terlalu lama dibiarkan berkembang di ruang publik tanpa penyelesaian yang jelas.

Hiruk-pikuk yang berlarut-larut menunjukkan lemahnya mekanisme etik akademik di internal perguruan tinggi.

Padahal, jika sejak awal Dewan Etik atau Dewan Guru Besar UGM mengambil peran sebagaimana dilakukan Dewan Etik Universitas Indonesia (UI) dalam kasus doktor Bahlil, kemungkinan besar isu ini tidak akan melebar sejauh sekarang.

"Kasus etik akademik yang menimpa Bahlil di UI menjadi pelajaran berharga. Dewan Etik UI berani mengambil langkah mengadili dugaan pelanggaran etik, sehingga publik melihat adanya mekanisme internal yang bekerja menjaga integritas akademik," beber Syahuri. 

"Proses ini memperlihatkan dunia kampus tidak menutup mata terhadap dugaan pelanggaran integritas," tambahnya.

Keberanian UI patut diapresiasi.

Ia membuktikan bahwa perguruan tinggi dapat menyelesaikan masalah etik secara internal, tanpa harus menunggu tekanan publik atau tarik-menarik kepentingan politik.

Mekanisme etik ini menjaga marwah kampus sekaligus menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat.

Bukan Simbol Formalitas

Keberadaan Dewan Etik atau Dewan Guru Besar di setiap perguruan tinggi bukan sekadar simbol formalitas, melainkan benteng terakhir integritas akademik.

Dewan ini bukan hanya memberi pertimbangan akademik kepada rektor atau senat, tetapi juga mengawal kehormatan lembaga agar tetap dihormati publik.

Dalam dunia akademik, gelar sarjana, magister, maupun doktor bukan sekadar tanda administratif kelulusan.

Ia adalah simbol integritas ilmiah hasil proses belajar, penelitian, dan pengujian yang jujur dan sahih.

"Jika keaslian atau prosedur diperolehnya gelar diragukan, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama pribadi, melainkan marwah institusi pendidikan itu sendiri," ungkap Syahuri.

Oleh karena itu, setiap dugaan pelanggaran etik harus segera direspons melalui mekanisme etik akademik. 

"Menutup mata atau membiarkan isu berkembang liar hanya akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada dunia pendidikan tinggi," jelasnya.

Pengujian Ulang Lewat Mekanisme Etik

Publik berhak curiga jika ada dugaan proses akademik tidak wajar: mulai dari plagiarisme hingga tuduhan ijazah palsu. 

Dalam konteks itu, lembaga paling tepat untuk mengklarifikasi adalah Dewan Etik perguruan tinggi yang bersangkutan.

Misalnya, ketika rektor menyatakan bahwa seorang alumni memperoleh ijazah sesuai prosedur, sementara publik meragukannya, maka pernyataan itu seharusnya diuji ulang lewat mekanisme etik.

Sidang etik dapat menilai apakah klaim tersebut benar-benar dilandasi bukti dokumen yang otentik dan sesuai standar akademik atau justru menyimpan potensi penyimpangan.

Keputusan etik akan jauh lebih menenteramkan publik dibanding sekadar pernyataan sepihak.

Isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo dari UGM adalah contoh paling ramai dibicarakan.

Terlepas dari bumbu politik yang menyertainya, isu ini seharusnya ditangani melalui mekanisme etik akademik, bukan dibiarkan menjadi bola liar.

Sebagai institusi pemberi ijazah, UGM memiliki tanggung jawab moral dan akademik untuk memastikan kebenaran.

Dewan Etik atau Dewan Guru Besar UGM bisa menyelenggarakan sidang etik guna memeriksa apakah ijazah tersebut diperoleh sesuai prosedur.

Putusan etik akan memberikan legitimasi kuat sekaligus meredam isu yang rawan dipolitisasi.

Selain itu, penyelesaian etik internal akan memperjelas posisi hukum.

Jika ada pihak yang meragukan kemudian terbukti melakukan fitnah, maka penanganan pidana dapat lebih kokoh karena bertumpu pada putusan etik akademik.

Tanpa dasar itu, isu hanya menjadi debat emosional yang melemahkan kepercayaan publik pada kampus dan pemimpin bangsa.

Sikap Pasif Coreng Reputasi Perguruan Tinggi

Dewan Guru Besar atau Dewan Etik tidak boleh tinggal diam.

Sikap pasif hanya memperbesar ruang spekulasi, memupuk ketidakpercayaan, dan mencoreng reputasi perguruan tinggi. 

Sebaliknya, keberanian mengambil langkah etik akan memperlihatkan konsistensi kampus dalam menjaga integritas ilmu pengetahuan.

Kasus Bahlil di UI membuktikan mekanisme etik bisa berjalan dengan baik.

Karena itu, penyelesaian kasus ijazah Presiden Jokowi pun semestinya ditempatkan dalam kerangka serupa. 

Prinsipnya sederhana: urusan akademik harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mekanisme akademik, barulah publik atau bahkan pengadilan menilai dampak hukumnya.

"Marwah akademik bukanlah sesuatu yang bisa ditawar. Gelar akademik adalah kehormatan yang lahir dari proses pendidikan yang jujur dan bertanggung jawab. Ia harus dijaga dengan mekanisme etik yang transparan dan akuntabel," jelasnya .

Dewan Etik Perguruan Tinggi adalah pengawal marwah itu.

Jika setiap dugaan pelanggaran etik ditangani dengan cepat, tegas, dan terbuka, maka publik akan percaya bahwa perguruan tinggi benar-benar menjadi mercusuar integritas ilmiah.

Sebaliknya, membiarkan dugaan pelanggaran tanpa penanganan hanya akan melunturkan kepercayaan masyarakat pada dunia akademik.

"Menjaga marwah akademik bukan sekadar urusan perguruan tinggi, tetapi juga tanggung jawab bangsa. Integritas ilmu pengetahuan adalah fondasi kepercayaan publik terhadap pendidikan tinggi," ungkap Syahuri.

"Dan di sinilah Dewan Etik harus berdiri tegak, sebagai pagar moral yang memastikan gelar akademik tetap bermakna, bukan sekadar lembaran kertas tanpa nilai," jelasnya

Sumber: Wartakota 

Komentar