SIMAK! Jejak Jokowi & Luhut di Skandal Tambang Nikel Raja Ampat

- Minggu, 08 Juni 2025 | 23:50 WIB
SIMAK! Jejak Jokowi & Luhut di Skandal Tambang Nikel Raja Ampat


SIMAK! Jejak Jokowi & Luhut di 'Skandal' Tambang Nikel Raja Ampat


Oleh: Christovita Wiloto


Di Atas Karang, Di Bawah Kekuasaan

Sinar mentari pagi memantul di permukaan laut biru Raja Ampat. 


Di bawahnya, koral dan biota laut membentuk ekosistem yang sejak lama dipuja para ilmuwan dan wisatawan dunia. 


Namun, sejak ditetapkan sebagai bagian dari UNESCO Global Geopark pada 2023, wilayah ini justru menjadi incaran kekuatan-kekuatan besar yang rakus. 


Alih-alih menjadi kawasan lindung, Raja Ampat kini menjadi monumen kegagalan negara menjaga masa depan ekologisnya.


Di sinilah, jejak kekuasaan mantan Presiden Joko Widodo dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terendus jelas. 


Skandal tambang nikel yang menyeruak di awal Juni 2025 tak hanya menyisakan kerusakan terumbu karang dan air yang keruh, tapi juga serpihan kepercayaan rakyat kepada negara. 


Kunjungan Bahlil Lahadalia pada 7 Juni 2025, hanya menambah teka-teki besar yang menuntut pengusutan menyeluruh.


Konteks Strategis: Raja Ampat, Ancaman dalam Keindahan

Sebagai jantung biodiversitas dunia, Raja Ampat memiliki posisi strategis bukan hanya secara ekologis tapi juga secara geopolitik. 


Lautnya menyimpan cadangan nikel laterit bernilai tinggi yang diburu untuk memenuhi industri kendaraan listrik global. 


Dalam narasi pembangunan hijau Jokowi, nikel menjadi bahan bakar utamanya. 


Namun ironi itu nyata: tambang yang disebut-sebut sebagai tumpuan masa depan justru merusak masa depan.


Investigasi lapangan mengungkap kerusakan berat—sedimen tambang menyebar mematikan koral, menggusur nelayan lokal, dan menghancurkan habitat yang menjadi basis ekonomi komunitas adat. 


Aktivitas tambang oleh PT Metra Mineral Pradana dan anak-anak perusahaannya terus berjalan tanpa konsensus warga dan tanpa penilaian AMDAL yang kredibel.


Dampak Sosial-Ekologis: Laut Mati dan Suku Terluka


1. Kerusakan Koral dan Deforestasi Laut

Kegiatan tambang memicu deforestasi skala besar di kawasan pesisir, mempercepat sedimentasi yang menyelimuti terumbu karang. Data LSM lingkungan menunjukkan 35% karang di area tambang kini mati.


2. Gangguan Kehidupan Nelayan dan Suku Lokal

Air yang keruh akibat limbah tambang menyebabkan hasil tangkapan ikan merosot. Suku-suku lokal kehilangan akses terhadap laut yang telah mereka jaga turun-temurun. Ketergantungan pada hasil laut kini berubah menjadi ketergantungan pada uluran pemerintah.


3. Pola Serupa di Sulawesi dan Halmahera

Skema tambang yang menguntungkan elite tapi merugikan warga lokal bukan hal baru. Di Morowali, Konawe, dan Halmahera, pola serupa muncul. Korporasi menguasai aset, warga digaji murah, dan kerusakan ekologis dijustifikasi sebagai “konsekuensi pembangunan.”


Jejak Oligarki: Dari Main Ide, Inalum, hingga Politik Izin

Dalam jaringan kekuasaan tambang, negara bukan pemilik, tapi fasilitator. 


Inalum, Main Ide, dan perusahaan-perusahaan tambang lain bergerak di bawah selubung koneksi politik. 


Nama-nama seperti Luhut dan Bahlil muncul dalam struktur formal dan informal bisnis tambang. 


Bahkan, laporan investigasi menyebut adanya praktik jual beli izin sebagai properti politik.


Dugaan penyelundupan bijih nikel ke China sebesar Rp14,5 triliun yang dilaporkan Faisal Basri menambah daftar hitam praktik mafia tambang yang beroperasi di bawah perlindungan negara.


Keuntungan Oligarki, Negara Rugi

Lebih dari 90% pasar nikel Indonesia dikuasai pihak swasta, terutama dengan keterkaitan elite politik. Negara justru mendapatkan porsi kecil dari keuntungan. 


Sementara itu, izin-izin tambang didistribusikan seperti kartu undangan musim pemilu—sebagai alat barter politik antarpartai seperti PDIP dan Golkar. Tambang berubah menjadi komoditas kekuasaan, bukan alat kesejahteraan.


Pembelaan Negara: Statistik Kosong dan Logika Formal

Pemerintah berdalih bahwa penurunan angka kemiskinan di Sulawesi membuktikan bahwa tambang membawa kesejahteraan. 


Surat edaran Mei 2020 yang menganjurkan ormas keagamaan untuk mendukung tambang juga jadi alat legitimasi. 


Tapi di balik itu, suara nelayan, suku lokal, dan ekosistem yang rusak tetap tak terdengar.


Membangun Ketahanan Sosial dan Ekologis

Skandal Raja Ampat bukan hanya kasus lingkungan. Ini adalah cermin telanjang bagaimana kekuasaan di era Jokowi dijalankan melalui algoritma politik-ekonomi yang dikendalikan oleh elite dan oligarki. Ini bukan sekadar konflik tambang, tapi krisis kepercayaan publik.


Parlemen harus mengambil peran. Pengawasan terhadap kementerian investasi dan pertambangan harus diperketat. 


Penegakan hukum tak boleh berhenti di level operator, tapi harus menyasar aktor utama di balik meja kekuasaan. Para pelaku penyelundupan dan pemegang izin palsu harus diadili. 


Evaluasi menyeluruh terhadap kawasan Geopark mesti dilakukan, dengan pendekatan berbasis hak rakyat dan kelestarian lingkungan.


Penutup: Monumen dari Kehancuran

Raja Ampat adalah saksi bisu dari persekongkolan antara negara dan korporasi. 


Ia kini menjadi monumen dari proyek pembangunan yang mengkhianati prinsip keadilan ekologis. 


Di atas batu karang yang runtuh dan laut yang mati, sejarah mencatat jejak kelam Jokowi dan para pewaris kekuasaannya.


Dalam era pasca-Jokowi, bangsa ini punya dua pilihan: terus melayani kepentingan elite, atau kembali menjadi negara yang melindungi hak hidup rakyat dan keberlanjutan bumi pertiwi. Kita tak bisa memilih keduanya. ***

Komentar