Mengejutkan! Arkeolog Yang Keluar Dari Tim Penyusunan Ungkap 5 Kejanggalan Penulisan Ulang Sejarah

- Kamis, 19 Juni 2025 | 15:30 WIB
Mengejutkan! Arkeolog Yang Keluar Dari Tim Penyusunan Ungkap 5 Kejanggalan Penulisan Ulang Sejarah




NARASIBARU.COM - Arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Profesor Harry Truman Simanjuntak mengungkapkan terdapat lima kejanggalan dalam penulisan ulang sejarah yang bakal dituangkan dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI).


Kejanggalan ini pula yang membuatnya keluar dari Tim Penulisan Ulang Sejarah Indonesia yang dimotori oleh Kementerian Kebudayaan di bawah Menteri Kebudayaan Fadly Zon.


Padahal, mulanya ia semangat turut ambil bagian dalam penulisan sejarah, lantaran bidang keprasejarahan ini membutuhkan pembaruan data yang bakal berimplikasi munculnya pandangan-pandangan baru.


"Tapi, diskusi dan diskusi berlanjut-berlanjut, begitu saya melihat banyak kejanggalan. Setidaknya saya mencatat ada lima kejanggalan," kata Truman, dalam diskusi daring, Rabu (18/6/2025).


Truman menuturkan, kejanggalan pertama terlihat ketika penulisan sejarah ulang itu ditargetkan rampung pada Juni 2025, sedangkan rapat persiapan baru dimulai di sekitar akhir November.


Rapat konsepsi penyusunan buku sejarah itu pun baru terjadi pada Januari awal tahun ini.


Dirinya yang sudah berpengalaman menerbitkan buku menyatakan, penulisan biasanya membutuhkan waktu lima tahun.


Bahkan, dalam menyusun buku Indonesia Dalam Arus Sejarah (IDAS), tim membutuhkan waktu hingga sepuluh tahun sejak disusun tahun 2002 hingga terbit tahun 2012.


"Sepuluh tahun paling tidak prosesnya hingga menghasilkan sebuah buku. Saya waktu itu menyatakan, kok bisa secepat itu? Saya bilang, apakah mungkin? Tapi, yang lain meyakinkan betul, oke karena ini bukan data baru, bukan mulai dari nol dan sebagainya. Oke, saya ikuti itu," beber Truman.


Kejanggalan kedua ada pada konsepsi penulisan buku. Konsepsi ini disusun oleh editor umum arahan penguasa.


Ia khawatir, konsepsi yang tidak dibuat langsung oleh para sejarawan ini membuat sejarah disesuaikan ulang sesuai keinginan penguasa, bukan murni atas fakta.


"Janganlah menyusun konsepsi itu di bawah arahan penguasa. Ketika kita mau menyusun sebuah buku, apalagi ini buku kebangsaan, apalagi ini buku berseri, mestinya didahului oleh semacam seminar-seminar," ucap Truman.


"Kita undang semua ahli terkait dengan itu untuk apa? Untuk memperoleh masukan-masukan yang berharga untuk memantapkan konsepsi itu," imbuh dia.


Sayangnya, kata Truman, tidak ada seminar dalam tim, yang ada hanya rapat sekitar dua hingga tiga kali dan merekrut beberapa pakar.


Kejanggalan selanjutnya adalah penyodoran outline jilid prasejarah.


Padahal, seharusnya, outline itu disusun oleh sejarawan.


"Jadi, tiba-tiba ketika mau membahas outline 10 jilid itu, ya kita sudah disodorkan outline itu. Itu sebuah keanehan. Mestinya yang menyusun outline itu orang-orang yang ahli di bidang itu. Bukan ahli lain. Itu sebabnya ketika kita membaca outline buku yang sekarang sedang dikerjakan para penulisnya, ini sebuah kemunduran," ungkap Truman.


Kemudian, lanjut dia, ada kekeliruan-kekeliruan dalam substansi maupun struktur atau alur pikir pemaparan, termasuk menyangkut kontennya.


Begitu pun ada pemaksaan mengubah terminologi "prasejarah" menjadi "sejarah awal".


Padahal, istilah itu sudah digunakan lebih dari 200 tahun yang lalu secara internasional hingga kini.


Oleh karena itu, istilah prasejarah semestinya tidak perlu lagi diperdebatkan.


Di Indonesia sendiri, penerbitan buku sejarah nasional selalu menggunakan kata "prasejarah" untuk jilid I.


Salah satunya pada tahun 1984 ketika diterbitkan buku sejarah nasional Indonesia.


Kemudian, ketika ia dimintai bantuan untuk ikut mengedit buku sejarah pada tahun 2012, tim juga menggunakan istilah zaman prasejarah atau periode prasejarah.


"Sekarang di 2025, mereka menggantikan menjadi sejarah awal Nusantara. Pertanyaan besarnya, apa yang terjadi sebetulnya dalam proses penyusunan ini hingga mengubah terminologi itu, itu pertanyaan besarnya. Waktu itu tidak ada jawaban yang jelas," ujar Truman.


Sedangkan kejanggalan terakhir adalah yang berkaitan dengan narasi Indonesia-sentris, yang menurutnya cenderung glorifikatif dan objektif.


Ia mengingatkan, bidang keilmuan tidak bisa disamakan dengan narasi politik.


Keilmuan, kata dia, harus berbicara tentang objektivitas dan rasionalitas, bukan hanya mengangkat hal-hal yang ingin memperlihatkan Indonesia hebat lalu mengabaikan fakta sejarah.


"Bagi saya itu suatu kejanggalan, gitu ya. Mereka juga mengatakan Indonesia sentris. Saya buka suara ketika di pertemuan Menteri, tidak setuju dengan penggunaan istilah ini. Kenapa? Pak, kalau kita bicara ilmu pengetahuan, kita harus bicara objektivitas, rasionalitas. Kalau salah, katakanlah salah. Kalau benar, katakanlah benar," ujar dia.


Sebelumnya diberitakan, Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) bakal membuat penulisan sejarah ulang.


Tujuannya untuk menghapus bias kolonial, menguatkan identitas nasional, hingga menjawab tantangan globalisasi yang relevan bagi generasi muda.


Penulisan sejarah ini akan terdiri dari 10 jilid utama, mulai dari awal peradaban Nusantara, interaksi dengan dunia luar (India, Tiongkok, Timur Tengah, Barat), masa kolonialisme dan perlawanan, hingga Orde Baru dan Era Reformasi.


Buku ini dirancang dengan pendekatan Indonesia-sentris, berbeda dari narasi lama yang masih dipengaruhi sudut pandang kolonial.


Pemerintah menunjuk sekitar 113 sejarawan dari seluruh Nusantara yang terlibat dalam Tim Penulisan Ulang Sejarah Nasional.


Editor umum penulisan ulang sejarah Indonesia, Profesor Singgih Tri Sulistiyono, mengungkapkan tim memilih menggunakan konsep “sejarah awal” alih-alih “prasejarah” karena menilai ada bias kolonialisme dalam penggunaan istilah “prasejarah”.


Istilah “prasejarah” yang mengandaikan era sebelum masyarakat mengenal tulisan telah menjadi justifikasi penilaian bahwa masyarakat Indonesia di masa lalu adalah masyarakat inferior sebelum berinteraksi dengan kebudayaan India yang memperkenalkan tulisan.


“Padahal, teknologi kita sudah maju di zaman itu,” kata Singgih.


Paradigma “sejarah awal” yang diadopsi timnya bukanlah hal yang baru ada sekarang, melainkan sudah dirintis oleh sejarawan Jacob Cornelis van Leur.


Sumber: Kompas

Komentar