Guru Botaki Siswi Berjilbab di SMPN 1 Sukodadi Berbuntut Panjang, LBH Surabaya Desak Polisi Tegas

- Kamis, 31 Agustus 2023 | 12:00 WIB
Guru Botaki Siswi Berjilbab di SMPN 1 Sukodadi Berbuntut Panjang, LBH Surabaya Desak Polisi Tegas

NARASIBARU.COM - Publik saat ini dikejutkan oleh berita seorang guru tega membotaki 19 siswi berjilbab di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur.


Persoalan itu dipicu, para siswi tersebut tak memakai dalaman kerudung atau biasa disebut ciput.


Persoalan itu sendiri sudah berakhir damai, meski menyisakan trauma bagi para siswi.


Guru EN yang membotaki siswi juga sudah kena sanksi dari Dinas Pendidikan Lamongan, berupa penonaktifan atau dilarang mengajar.


Ternyata, itu semua belum berakhir. Kasus ini didengar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya.


Mereka mengecam aksi pembotakan tersebut, yang terjadi 23 Agustus 2023.


Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye LBH Surabaya Habibus Shalihin mengatakan, salah satu perwujudan prinsip 'The Right to Survival and Development' atau hak untuk hidup dan berkembang bagi anak adalah setiap anak dalam memperoleh hak atas pendidikan.


Termasuk ketika anak berada di dalam lingkungan satuan pendidikan agar terhindar dari tindak kekerasan fisik maupun psikis yang berpotensi dilakukan oleh elemen-elemen yang ada pada lingkungan satuan pendidikan, seperti pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan atau pihak lain.


Melihat aksi pembotakan terhadap para siswi di SMPN 1 Sukodadi Lamongan, menunjukkan bahwa upaya perlindungan anak dari kekerasan fisik berakibat pada kondisi psikis anak yang menjadi korban tindakan pembontakan rambut tersebut.


Bagian depan yang dilakukan pihak sekolah, khususnya oleh guru berinisial EN yang melakukan aksi kekerasan tersebut.


"Seharusnya lingkungan sekolah menjadi ruang aman bagi anak untuk mendapatkan penikmatan atas hak pendidikan," ujar Habibus, dalam keterangan tertulisnya yang diterima TribunJatim.com, Rabu (30/8/2023).


Selain itu, menurut Habibus, tindakan oknum guru EN dalam kasus ini yang secara paksa melakukan aksi pembotakan rambut siswi-siswinya, sudah dikategorikan sebagai salah satu bentuk kekerasan.


Terjadinya kasus ini justru mencoreng martabat kemanusiaan anak.


Bahkan, tindakan yang tersebut juga telah melanggar Pasal 76C UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Pengertiannya, yakni 'setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak'.


"Kekerasan yang dimaksud dalam UU perlindungan anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum," jelasnya.


Dalam kasus ini, lanjut Habibus, pemerintah berdasarkan Pasal 59 UU 35 tahun 2014 berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kekerasan fisik dan atau psikis.


Salah satu tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah menegakkan sanksi.


Kemudian, sanksi yang dapat dikenakan oleh guru tersebut mengacu pada Pasal 80 ayat (1) UU 35 tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan atau denda paling banyak Rp72 juta.


Tindakan pembotakan yang dilakukan oleh oknum guru EN terhadap peserta didiknya itu, juga dikategorikan sebagai kekerasan fisik dan kekerasan psikis menurut Pasal 7 dan Pasal 8 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Permendikbudristek) No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.


Tindakan pencukuran rambut paksa ini juga merupakan bentuk kekerasan psikis karena berakibat merendahkan, menghina, menakuti, atau membuat perasaan tidak nyaman bagi para siswi korban.


Di sisi lain, sejatinya atribut ciput bagi siswi SMP berjilbab bukan merupakan bagian dari pakaian seragam sekolah bagi Peserta Didik SMP berdasarkan Permendikbudristek Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.


"Oleh karenanya, pemaksaan penggunaan ciput yang dilakukan oleh oknum EN juga termasuk kategori tindakan intoleransi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b angka 1 Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 karena memaksa peserta didik mengenakan pakaian atau aksesoris yang tidak termasuk seragam sekolah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan," terangnya.


Atas dasar tersebut, Habibus menegaskan, pihaknya membuat empat tuntutan atas adanya insiden tersebut.


Pertama, mendesak Polres Lamongan untuk segara mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku dan memastikan keadilan bagi korban.


Tindakan semacam ini tidak hanya merugikan para korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan perlindungan anak.


"Perlu ditegaskan pula bahwa tindakan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh EN merupakan delik biasa sehingga proses hukum teap dijalankan sebagaimana mestinya," jelasnya.


Kedua. Mendorong sekolah untuk memastikan bahwa setiap siswa-siswi merasa aman dan dihormati dalam lingkungan belajar mereka.


Pendidikan bukan hanya tentang pemberian pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan membantu membangun masyarakat yang lebih baik.


Ketiga. Mendorong Dinas Pendidikan Lamongan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap lingkungan pendidikan.


Lingkungan pendidikan harus menjadi tempat yang aman dan mendukung, di mana para siswa merasa dihargai dan dijaga dari segala bentuk ancaman dan kekerasan.


Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan melindungi hak-hak anak.


Halaman:

Komentar