Keraguan itu semakin kuat setelah akun-akun digital milik Bjorka tetap aktif pasca penangkapan. Bahkan, persona Bjorka masih sempat mengunggah pesan dan menantang aparat.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa identitas Bjorka tidak melekat pada individu tunggal, melainkan bisa dioperasikan kolektif.
Selain itu, rekam jejak data yang dibocorkan Bjorka juga menimbulkan tanda tanya. Banyak basis data yang ia rilis sudah lebih dulu beredar di forum gelap internasional. Artinya, Bjorka berperan lebih sebagai agregator dan distributor ketimbang peretas tunggal.
“Kalau begitu, orang yang ditangkap bisa jadi hanya bersinggungan di lapisan luar, bukan aktor inti,” ujar Pratama.
Dalam kasus-kasus global, kesalahan membaca profil teknis sering berujung pada salah atribusi. Peretas kerap menggunakan akun palsu atau false flag untuk menyesatkan investigasi.
Jika aparat tidak mampu menunjukkan bukti digital forensik konkret, penangkapan ini berisiko hanya memperlihatkan lemahnya investigasi siber di Indonesia
Tanpa bukti teknis yang bisa diuji publik, penangkapan ini rawan dianggap sekadar mencari kambing hitam. Padahal, profil teknis adalah indikator utama yang tidak boleh diabaikan,” tegas Pratama.
Sumber: jawapos
Artikel Terkait
Kasus Kereta Cepat Whoosh, Mantan Pimpinan KPK Sebut Jokowi Sudah Layak Diperiksa
Polda Metro Sita Daftar Nilai Sarjana Muda Jokowi
Sosok AKBP Rossa Purba Bekti, Kasatgas KPK yang Dilaporkan Hambat Pemeriksaan Bobby Nasution
Licinnya Bobby Nasution, KPK: Belum Ada Keterlibatan dalam Kasus Korupsi Jalan Sumut