Peristiwa Tanjung Priok (1984) menjadi luka mendalam: ratusan jemaah ditembak mati oleh militer hanya karena menolak tindakan sewenang-wenang aparat terhadap simbol-simbol keagamaan.
Sebelum itu, pada akhir 1970-an, banyak aktivis Islam ditangkap dan disiksa atas tuduhan terlibat dalam Komando Jihad.
Tuduhan yang seringkali kabur, tanpa bukti yang sahih, namun cukup bagi rezim untuk menakuti publik. Tokoh-tokoh Islam yang menolak dominasi politik negara dikontrol ketat, pesantren dan masjid diawasi intelijen, dan ormas Islam dipaksa menyesuaikan diri dengan kehendak penguasa.
Sementara itu, di berbagai daerah, represi menjelma dalam rupa operasi militer. Aceh, Timor Timur, dan Papua menjadi ladang darah atas nama keamanan nasional.
Tragedi Santa Cruz di Dili (1991) mencatat lebih dari 250 orang tewas dalam prosesi damai. Di Jawa Tengah, rakyat Kedung Ombo dipaksa meninggalkan tanahnya demi proyek pembangunan.
Menjelang keruntuhannya, rezim Soeharto menutup masa kekuasaannya dengan darah mahasiswa: Tragedi Trisakti dan Semanggi (1998), serta penculikan terhadap aktivis seperti Wiji Thukul, Herman Hendrawan, dan Petrus Bima Anugrah -- yang hingga kini belum ditemukan.
Soeharto membangun stabilitas di atas ketakutan, dan pembangunan di atas penderitaan rakyatnya sendiri. Ia mungkin berhasil menciptakan keteraturan, tapi keteraturan yang tumbuh dari rasa takut bukanlah kemajuan -- melainkan penjara sosial yang menghapus keberanian rakyat untuk berpikir merdeka.
Karena itu, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukanlah penghargaan sejarah, melainkan pengkhianatan terhadapnya.
Gelar itu mungkin dikukuhkan negara, tapi ia cacat moral di mata mereka yang mengingat. Seorang pahlawan seharusnya dikenang karena keberaniannya membela rakyat, bukan karena kekuasaannya yang dibangun dari represi.
Kami tidak menolak penghargaan terhadap sejarah, tapi kami menolak pemutihan sejarah. Kami tidak anti pada masa lalu, tapi kami menolak lupa terhadap kejahatan yang dilakukan atas nama negara.
Bila negara memilih untuk melupakan, kami akan terus mengingat. Bila negara memilih untuk memaafkan tanpa keadilan, kami akan terus menyuarakan kebenaran.
Ingatan itu akan kami wariskan kepada generasi berikutnya. Agar mereka tahu, pernah ada seorang pemimpin yang mengatasnamakan rakyat untuk menindas rakyat; yang berbicara tentang Pancasila sambil menginjak kemanusiaan; yang mengaku menjaga moral bangsa sambil menindas umat yang beriman.
Mungkin kini negara bisa memberi gelar pahlawan kepada Soeharto. Tapi suatu saat nanti, ketika bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang berpikiran waras -- yang menempatkan nurani di atas kekuasaan -- gelar itu akan dicabut kembali.
Bukan karena dendam, tapi karena kebenaran sejarah menuntut untuk ditegakkan.
(Direktur Jakarta Institute)
Artikel Terkait
KPK Mulai Utak-Atik Dugaan Korupsi di BPKH
Eks Danjen Kopassus Protes Keras Usai Roy Suryo Ditetapkan Tersangka Kasus Ijazah Jokowi, Desak Prabowo Turun Tangan
Orang Dekat hingga Sepupu Bobby Nasution Berpeluang Diperiksa di Sidang Suap Jalan Sumut
Nasib Bobby Nasution Ditentukan Hasil Sidang Kasus Proyek Jalan Sumut