0leh: Agung Nugroho
KETIKA negara resmi menetapkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, sebagian dari kita terperangah --antara marah dan getir.
Seolah sejarah panjang penindasan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru alias Orba dapat dilenyapkan begitu saja dengan selembar keputusan politik.
Penghargaan itu mungkin sah secara administratif, tapi secara moral, ia adalah penghinaan terhadap ingatan kolektif bangsa ini.
Soeharto memang pernah disebut sebagai “Bapak Pembangunan”. Namun di balik narasi pembangunan yang diagungkan itu, tersimpan luka mendalam yang tak pernah sembuh.
Kekuasaan Soeharto lahir dari genangan darah: pembantaian massal 1965-1966 yang menewaskan lebih dari 500.000 orang atas tuduhan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Jutaan lainnya hidup dalam pengasingan sosial dan stigma politik selama puluhan tahun, kehilangan hak-hak dasar sebagai warga negara.
Di masa pemerintahannya, siapa pun yang berani bersuara kritis terhadap negara akan berhadapan dengan aparat keamanan.
Peristiwa Malari (1974) menjadi contoh awal represi terhadap mahasiswa dan rakyat yang menentang korupsi serta ketergantungan ekonomi pada modal asing.
Tahun 1978, gelombang penindasan kembali terjadi ketika mahasiswa menolak pencalonan Soeharto untuk keempat kalinya. Kampus-kampus diduduki militer, organisasi mahasiswa dibekukan, dan ruang publik disterilkan dari kritik.
Rezim Orde Baru juga menindas kelompok-kelompok keagamaan yang dianggap berpotensi melawan kekuasaan.
Gerakan Islam menjadi salah satu sasaran terberat. Negara menekan politik Islam di segala lini, memaksakan asas tunggal Pancasila, dan menstigma siapa pun yang menolak sebagai ancaman negara.
Artikel Terkait
KPK Mulai Utak-Atik Dugaan Korupsi di BPKH
Eks Danjen Kopassus Protes Keras Usai Roy Suryo Ditetapkan Tersangka Kasus Ijazah Jokowi, Desak Prabowo Turun Tangan
Orang Dekat hingga Sepupu Bobby Nasution Berpeluang Diperiksa di Sidang Suap Jalan Sumut
Nasib Bobby Nasution Ditentukan Hasil Sidang Kasus Proyek Jalan Sumut