"Nah kita balik, dalam etik Sunda dalam etik Jawa ada yang dikenal dengan rasa dan rumasa (perasaan dan sadar diri), karena ada itu, maka setiap orang itu harus mengenal darimana dia berasal dan mau kemana tujuan hidupnya," ujarnya.
KDM menyebut, rasa dan rumasa menjadi pegangan orang dalam memandang moral manusia. Sehingga, dalam debat terlontar bahasa etik yang merujuk pada rasa dan rumasa tersebut.
Orang yang memegang rasa dan rumasa memiliki rasa hormat pada orang yang telah membesarkannya. Kalaupun menyampaikan kritik, pasti diimbangi oleh rasa hormat dan mempertimbangkan perasaan.
"Seperti Pak Prabowo itu tidak pernah menyerang orang secara personal," ujar Kang Dedi Mulyadi yang juga Caleg DPR RI nomor urut satu Dapil Purwakarta, Karawang dan Kabupaten Bekasi dari Partai Gerindra itu.
Sehingga, lanjut KDM, bila konteks tersebut dibawa dalam konteks etika budaya, maka tidak ada masalah. Endasmu kan di Sunda mah seperti kumaha maneh, kumaha sia (gimana kamu).
Terlebih hal tersebut diungkapkan dalam forum tertutup dalam sebuah organisasi, dalam suasana kekeluargaan. Jadi endasmu itu adalah bahasa kelakar. Rasa dan rumasa adalah etika yang sebenarnya. ***
Artikel ini telah lebih dulu tayang di: lensapurwakarta.com
Artikel Terkait
Mulai 1 Februari 2025, Elpiji 3 kg Tak Lagi Dijual di Pengecer
Peringatan BMKG: Gempa Megathrust Mentawai-Siberut Tinggal Menunggu Waktu, Bisa Capai M 8.9
Prihatin Soal Konflik PKB vs PBNU, Komunitas Ulama dan Nahdliyin Keluarkan 9 Rekomendasi
Cabut Pasal Penyediaan Alat Kontrasepsi, DPR: Jangan Buka Ruang Generasi Muda untuk Berzina!