Pakar Hukum Internasional dan Komnas HAM Buka Suara Soal Pengusiran Paksa Pengungsi Rohingya, Warga Sabang...

- Minggu, 31 Desember 2023 | 00:00 WIB
Pakar Hukum Internasional dan Komnas HAM Buka Suara Soal Pengusiran Paksa Pengungsi Rohingya, Warga Sabang...


SurabayaNetwork.id - Aksi ratusan mahasiswa yang  mengusir paksa para pengungsi Rohingya dari Balai Meuseuraya Aceh (BMA) menuai kecaman.

Sebagai lembaga internasional yang mengurusi masalah pengungsi UNHCR pun turut menyayangkan aksi anarkis para mahasiswa tersebut.

Pihak UNHCR mengecam tindak pengusiran paksa terhadap para pengungsi Rohingya.

Menurut UNHCR, adanya perilaku anarkis tersebut merupakan implikasi dari maraknya kampanye sentimen negatif di media sosial terhadap pengungsi Rohingya.

Terutama karena perlakuan para mahasiswa yang melempari botol minuman hingga barang-barang milik pengungsi Rohingya.

Senior Communications Assistant UNHCR Muhammad Yanuar Farhanditya menyatakan keprihatinannya terhadap serangan brutal para mahasiswa tersebut.

Padahal, sebagian besar para pengungsi yang menempati BMA adalah kelompok rentan yakni wanita dan anak-anak.

 

Baca Juga: 137 Pengungsi Rohingya Diusir Paksa Ratusan Mahasiswa, Mahfud MD Pindahkan Hingga Ingatkan Soal Tsunami Aceh

Persoalan pengusiran paksa ini pun ramai diperbincangkan publik hingga media asing.

Akhirnya, para mahasiswa mengembalikan pengungsi Rohingya ke BMA.

Sebab, pihak kantor Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) tak memberikan fasilitas pengungsi dengan baik.

Hal tersebut dibenarkan oleh perwakilan mahasiswa, Teuku Wariza pada 29 Desember 2023.

Pakar Hukum Internasional Universitas Muhammadiyah Surabaya Satria Unggul Wicaksana mengatakan adanya penolakan mayoritas warga Aceh terhadap pengungsi Rohingya dapat memicu kekacauan yang lebih besar.

Selain itu, juga mempertegas gesekan antar warga ke depannya.

Sejatinya, para pengungsi memiliki hak sesuai Konvensi Jenewa 1951.

 

Baca Juga: Ricuh! Aksi Ratusan Mahasiswa Usir Paksa Pengungsi Rohingya di BMA Banda Aceh, Begini Komentar UNHCR


Satria menegaskan perlu diketahui terlebih dahulu perbedaan konsepsi tentang pencari suaka (asylum seekers) dan pengungsi (refugees).

Apabila berhubungan dengan pencari suaka, maka pemerintah mempunyai otoritas penuh dalam menerima maupun menolak orang-orang yang tak mempunyai alasan atas hijrahnya dari negara asal ke negara tujuan.

Sedangkan yang disebut pengungsi ialah orang atau sekelompok yang mengalami persekusi saat di negara asalnya atas nama suku, ras, dan etnis serta budaya.

Sehingga mereka tak memiliki pilihan lain selain keluar dari negara asalnya tersebut.

Perihal ini diatur dalam Konvensi Jenewa 1951 mengenai status pengungsi dan protokol tambahan 1967.

Prinsip non-refoulement dalam pasal 33 pada Konvensi Jenewa 1951 berlaku pada seluruh negara baik yang meratifikasinya atau tidak, bisa menerima orang-orang yang tergolong refugee.

Seperti pada kasus etnis Rohingya termasuk dalam kategori pengungsi.

 


Halaman:

Komentar