Ketika Suara Rakyat Ditukar dengan Liter Dolar

- Jumat, 18 Juli 2025 | 09:55 WIB
Ketika Suara Rakyat Ditukar dengan Liter Dolar




OLEH: DENNY JA


PADA awal Januari 2012, Presiden Goodluck Jonathan mengumumkan penghapusan subsidi bahan bakar bensin. Maka harga yang selama ini sangat murah, sekitar ?65, naik menjadi ?141 per liter. 

Kenaikan harga ini memicu kemarahan publik. Terutama ibu-ibu dan keluarga miskin protes.  Mereka mengandalkan transportasi murah untuk kebutuhan dasar seperti pergi ke pasar atau ke puskesmas.

Seorang ibu di Lagos, Antonia Arosanwo, menggambarkan efeknya dengan jelas:




“Saya marah. Biaya perjalanan saya di bus melambung dua kali lipat sejak subsidi dihapus.”   

Gerakan ini meluas menjadi protes nasional yang dikenal sebagai Occupy Nigeria (2?"14 Januari 2012). 

Unjuk rasa besar dilakukan. Bus dihentikan, jalan diblokir. Dan puluhan orang tewas akibat bentrokan dengan aparat  .

Hanya dalam dua minggu, pemerintah tersentak, mengembalikan harga bensin ke level sekitar ?97 per liter. 

Ketika pencabutan subsidi menentukan nasib pemimpin, apakah ini jenis demokrasi yang sehat?

Dalam sejarah negara-negara berkembang, subsidi energi adalah candu politik. Ia menenangkan protes, menekan inflasi, dan membeli loyalitas instan. 

Di Mesir, revolusi Arab Spring dipicu bukan hanya oleh otoritarianisme, tapi juga pencabutan subsidi bahan pokok. 

Di Venezuela, rezim Chávez bertahan bertahun-tahun di atas fondasi bensin gratis. Di Indonesia, lebih dari Rp500 triliun anggaran pernah dikucurkan hanya untuk menjaga harga BBM tetap “terasa murah”.

Padahal, data membongkar ilusi itu. Menurut Bank Dunia, 70% subsidi BBM di Indonesia justru dinikmati oleh 30% kelompok terkaya. 

Pemilik mobil SUV mendapat porsi lebih besar dibanding pengayuh becak atau nelayan. Subsidi ini bukan keadilan sosial.

Melainkan ini hadiah politik untuk kelas menengah urban yang paling vokal di media sosial dan paling menentukan di TPS kota.

Kita dimenangkan hari ini. Tapi esok hari, sekolah anak kita kekurangan guru. Puskesmas tak punya vaksin. Jalan desa tetap berlubang.

Inilah ironi: energi memberi panas yang cepat, tapi meninggalkan arang yang panjang. Subsidi memang populis. Tapi ia seringkali memiskinkan.

Jauh di balik kampanye dan baliho, ada sumber uang yang lebih berkuasa daripada rakyat: sumur minyak dan tambang batu bara. 

Kita hidup di era ketika industri energi bukan sekadar penggerak ekonomi, tapi pendonor utama pesta demokrasi.

Contoh paling vulgar adalah Brasil: skandal Petrobras menyeret presiden, anggota parlemen, hingga eksekutif top ke penjara. 

Di Nigeria, “oil bunkering” ilegal melahirkan tentara bayaran yang lebih setia pada pengusaha energi daripada konstitusi.

Dan Indonesia? Kita punya cerita sendiri: Petral, anak usaha Pertamina yang pernah menjadi ladang mafia impor minyak. 

Ada juga permainan tender yang membiayai koalisi politik. Surat izin tambang berubah menjadi mata uang politik: siapa mendukung siapa, akan dapat konsesi dimana.

Banyak suara rakyat ditukar satu kontrak blok migas. Itulah mata uang baru demokrasi.

Negara yang hidup dari rente minyak kerap menjadi negara yang malas. Pajak tak lagi dikembangkan secara adil. 

Regulasi tunduk pada pemain besar. Dan pembangunan institusi demokrasi tertunda, karena yang diperlukan bukan sistem meritokrasi, tapi jaringan loyalis yang bisa mengamankan blok eksplorasi.

Kita bisa belajar dari sejarah: di era Orde Baru, Soeharto membagikan ladang minyak kepada kroni dan militer. Dari sinilah tumbuh kekuatan bisnis-politik yang kini masih bertahan, dengan wajah baru.

Di Malaysia, Petronas pernah menjadi ATM partai penguasa UMNO. Transparansi hanya menjadi etalase.

Di Meksiko, selama puluhan tahun, minyak adalah milik negara?"tapi negara hanya milik satu partai.

Negara tidak lagi rasional. Ia menjadi korporasi raksasa dengan dewan direksi yang dipilih bukan oleh rakyat, tapi oleh pemilik modal.

Kita tahu kekayaan alam Indonesia melimpah. Tapi siapa yang menikmatinya? Di Aceh, ladang gas Arun mengalir ke Jakarta, tapi desa sekitar tak punya listrik. Konflik bersenjata ikut lahir dari rasa ketidakadilan itu.

Di Papua, tambang emas dan eksplorasi migas berjalan, tapi kampung-kampung adat hanya menerima debu dan penggusuran. 

Di sana, suara rakyat tak pernah diukur dalam desibel, hanya dalam meter kubik minyak yang bisa ditambang.

Inilah luka struktural yang tak kunjung sembuh. Ketika energi tak dibagi secara adil, maka demokrasi tak akan lahir secara utuh.

Kita tak perlu pesimis. Dunia telah menunjukkan jalan lain. Norwegia, negeri penghasil minyak, justru menjadi salah satu negara paling demokratis. 

Dana abadi mereka menyimpan ratusan miliar dolar, dikelola secara transparan, dan setiap warga bisa mengakses informasi keuangan negara secara daring.

Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) jadi standar global. Negara yang mau jujur, akan dihormati pasar dan rakyat sekaligus.

Bahkan di Afrika, negara seperti Botswana berhasil mengelola kekayaan tambang secara relatif adil?"bukan karena mereka kaya, tapi karena mereka berani.

Maka pertanyaannya bukan: apakah bisa? Tapi: apakah kita cukup berani?


Indonesia: Di Persimpangan Sumur dan Suara

Indonesia kini bukan lagi negara pengekspor minyak. Kita sudah menjadi importir. Tapi mentalitas elite kita masih seperti pemilik sumur raksasa.

Politik masih didanai oleh bisnis batu bara, kontrak migas, dan rente eksplorasi. Transisi energi dibicarakan, tapi tak sungguh dijalankan, karena para pemilik warisan lama belum rela melepaskan kendali.

Apakah koperasi energi lokal bisa lahir? Apakah rakyat bisa terlibat dalam tata kelola sumber daya? Apakah kita bisa menciptakan demokrasi yang tak lagi tunduk pada harga bensin?

Jalan tengah itu masih belum jelas. Tapi sejarah menanti mereka yang berani menulis bab baru.

Demokrasi bukan hanya pemilu lima tahunan. Ia hidup dari kontrol rakyat atas sumber dayanya. Jika sumur dimiliki rakyat, suara pun tak bisa dibeli.

Tapi jika energi hanya dikuasai oleh elite yang takut kehilangan kuasa, maka demokrasi kita bukan sedang tumbuh?"melainkan dalam koma yang panjang.

Apa yang bisa Indonesia pelajari?

Bahwa kedaulatan energi bukan tentang siapa yang menguasai ladang, tapi siapa yang berani membagi hasilnya secara adil. 

Bahwa demokrasi bukan soal harga BBM, tapi siapa yang menentukan anggaran negara: suara, atau rente?

Indonesia wajib membentuk badan independen pengawas energi dengan kewenangan memveto kontrak merugikan. 

Juga ia mengalokasikan 30% pendapatan migas langsung ke dana desa terpencil."

Jika kita ingin demokrasi yang sehat, maka energi harus kembali ke tangan rakyat.

“(Energi adalah darah negara. Tapi jika darah itu hanya mengalir ke jantung oligarkhi elite, maka demokrasi kita bukan sedang hidup -melainkan koma.”)

Komentar