BPS Klaim Angka Kemiskinan Cuma 23 Juta, Bank Dunia Bilang 194 Juta, Data Pemerintah Diragukan?

- Selasa, 29 Juli 2025 | 21:20 WIB
BPS Klaim Angka Kemiskinan Cuma 23 Juta, Bank Dunia Bilang 194 Juta, Data Pemerintah Diragukan?


NARASIBARU.COM - 
Publik dibuat bingung dengan data kemiskinan terbaru.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan resmi Jumat, 25 Juli 2025, bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2025 turun menjadi 23,85 juta jiwa atau 8,74 persen dari total populasi.

Penurunan ini disebut 0,1 persen poin dari September 2024.

Namun di sisi lain, Bank Dunia melaporkan 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional—sekitar 194 juta orang.

Angka ini delapan kali lipat dari data resmi pemerintah, memicu tanda tanya besar: mana yang benar?

CELIOS: Data BPS Tidak Realistis


Perbedaan tajam ini menjadi sorotan Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menilai angka BPS tidak realistis dan bisa menyesatkan kebijakan negara, terutama dalam penyusunan RAPBN 2026.

“Dengan data kemiskinan yang terlihat rendah, kebijakan perlindungan sosial bisa tidak meningkat signifikan. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.

CELIOS menilai perbedaan terjadi karena definisi kemiskinan pemerintah terlalu sempit, hanya berdasar pengeluaran per kapita.

Padahal, realitas harga pangan dan biaya hidup terus melonjak, membuat garis kemiskinan BPS dianggap tidak relevan.

Garis Kemiskinan Rp 20 Ribuan Sehari


BPS menetapkan garis kemiskinan Maret 2025 sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, setara Rp 20.305 per hari.

Kota: Rp 629.561 per kapita/bulan

Desa: Rp 580.349 per kapita/bulan

CELIOS menilai angka ini terlalu rendah untuk menggambarkan kebutuhan hidup layak.

Banyak warga hidup sedikit di atas garis tersebut, namun tetap kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, hingga tidak tercatat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan kehilangan akses bantuan.

Penurunan kemiskinan 0,1 persen poin juga dinilai tidak layak dibanggakan.

Indonesia masih menghadapi masalah besar:

  • Ketimpangan pendapatan
  • Inflasi pangan
  • Akses terbatas pekerjaan layak
  • Mobilitas kemiskinan pun tinggi: banyak orang keluar dari status miskin, namun jumlah yang jatuh kembali tak kalah besar.

Tuntutan Revisi dan Transparansi


CELIOS mendesak pemerintah memperbarui metodologi penghitungan kemiskinan dan meningkatkan transparansi data.

“Definisi kemiskinan yang ketinggalan zaman dan terlalu sempit membuat banyak warga yang seharusnya dibantu malah terabaikan. Ini ironis di tengah janji pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan,” tegas Media.

Perdebatan ini pun mengundang satu pertanyaan besar: apakah angka resmi kemiskinan Indonesia benar-benar mencerminkan realitas di lapangan?

Sumber: disway

Komentar