GAWAT! Terungkap Operasi Garis Dalam: Ancaman Terselubung di Balik Kekuasaan Presiden Prabowo

- Rabu, 20 Agustus 2025 | 21:20 WIB
GAWAT! Terungkap Operasi Garis Dalam: Ancaman Terselubung di Balik Kekuasaan Presiden Prabowo


Operasi Garis Dalam: Ancaman 'Terselubung' di Balik Kekuasaan Presiden Prabowo!


Oleh: SRI RADJASA MBA

Pemerhati Intelejen


Dalam dunia intelijen tempur, dikenal sebuah strategi yang disebut operasi garis dalam.  


Sebuah pendekatan kontra intelijen yang bertujuan menghancurkan kekuatan lawan dari dalam sistemnya sendiri.


Operasi ini biasanya dilakukan dengan cara menyusupkan individu kepercayaan ke dalam struktur lawan, untuk kemudian secara sistematis memetakan kekuatan dan kelemahan.


Menyabotase kebijakan, serta membentuk persepsi publik yang melemahkan kepemimpinan target.


Dampak dari strategi ini sangat destruktif, karena kerusakan yang ditimbulkan seolah-olah bersumber dari ketidakmampuan internal, bukan dari serangan eksternal yang terselubung.


Situasi politik nasional saat ini menampilkan indikasi yang patut dicermati dari perspektif intelijen.


Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah menghadapi tekanan dari berbagai sektor, mulai dari aspek hukum, ekonomi, hingga politik.


Namun apabila dicermati lebih jauh, keresahan publik dan potensi instabilitas nasional bukan semata-mata akibat kebijakan langsung Presiden Prabowo.


Melainkan lebih disebabkan oleh praktik politik dari sisa-sisa kekuatan rezim sebelumnya terutama kelompok yang berafiliasi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kroninya yang masih memegang kendali atas sejumlah instrumen kekuasaan negara.


Ada berbagai gejala yang menunjukkan bahwa kekuasaan Prabowo tengah diintervensi oleh kekuatan internal yang belum sepenuhnya loyal terhadap arah baru pemerintahan.


Sejumlah menteri dari Kabinet Indonesia Maju yang merupakan loyalis Jokowi, masih memainkan peran besar dalam pengambilan kebijakan.


Dan beberapa di antaranya justru menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.


Misalnya, pernyataan kontroversial Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengenai masalah tanah, pernyataan Menteri Keuangan soal pajak yang memicu polemik.


Sikap pasif Menteri Perhubungan dalam merespons protes para pengemudi ojek online.


Serta langkah Menteri ESDM dan Menteri Perdagangan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat kecil, seperti kebijakan penghapusan elpiji 3 kg bersubsidi.


Selain itu, kebijakan-kebijakan yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat seperti penundaan pengangkatan CASN oleh MenPAN-RB.


Pencopotan Pendamping Desa oleh Menteri Desa, atau penyalahgunaan kop surat kementerian untuk kepentingan Pilkada semakin memperparah persepsi negatif terhadap kinerja pemerintah.


Tidak ketinggalan gaya komunikasi publik yang cenderung elitis atau bahkan mengintimidasi.


Seperti yang pernah ditunjukkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan dalam menanggapi kritik masyarakat melalui tagar #IndonesiaGelap.


Hal-hal seperti ini menimbulkan kesan bahwa negara kehilangan kendali terhadap narasi dan simpati publik.


Lebih mengkhawatirkan lagi adalah persepsi publik terhadap aparat penegak hukum.


Polisi, jaksa, dan hakim dinilai lebih mengedepankan kepentingan politik daripada menegakkan keadilan.


Praktik “penegakan hukum berdasarkan pesanan” atau yang dalam istilah kritis disebut hukum catering.


Serta perilaku aparat yang justru sibuk memburu limpahan hasil korupsi alih-alih mencegah kejahatannya, memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap negara.


Dari kacamata intelijen, kondisi carut-marut tersebut tidak semata terjadi secara kebetulan atau karena kelemahan sistemik.


Ada indikasi kuat bahwa ini adalah bagian dari grand strategy sebuah operasi garis dalam, yang dilakukan oleh kekuatan politik besar dengan ambisi untuk merebut kekuasaan pada Pemilu 2029.


Mereka tidak hanya mencoba melemahkan Prabowo, tetapi juga membentuk citra bahwa pemerintahan saat ini tidak kompeten, tidak solid, dan tidak layak mendapat kepercayaan publik.


Operasi ini dilakukan dalam beberapa tahapan.


Pertama, mereka menempatkan individu-individu loyalis di posisi strategis dalam kabinet maupun lembaga hukum.


Kedua, mereka menjalankan kebijakan atau pernyataan yang kontroversial dengan tujuan menciptakan kegaduhan dan memperburuk opini publik terhadap Presiden Prabowo.


Ketiga, dilakukan serangan politik terhadap orang-orang terdekat Prabowo melalui tuduhan hukum atau kampanye hitam, seperti yang terjadi pada Sufmi Dasco dengan isu perjudian.


Isu lain yang dipolitisasi antara lain penempatan anggota TNI pada jabatan sipil, serta upaya merusak citra inner circle Prabowo melalui narasi miring di ruang publik.


Keempat, diciptakan berbagai titik rawan sosial-ekonomi dengan tujuan mendorong kerusuhan massal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok relawan tertentu di lokasi-lokasi yang sudah dirancang sebelumnya.


Namun, tampaknya Presiden Prabowo telah menyadari keberadaan dan pola operasi ini. Indikasinya terlihat dari sejumlah langkah kontra intelijen yang mulai dijalankan.


Di antaranya adalah pembatalan proyek-proyek strategis nasional (PSN) yang dianggap bermuatan politis, penundaan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).


Serta pembatalan berbagai kebijakan menteri yang memicu keresahan masyarakat. Presiden Prabowo juga mulai mengoreksi sejumlah keputusan hukum yang dinilai sarat muatan politik.


Langkah-langkah ini bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan halus terhadap operasi garis dalam.


Namun publik saat ini menantikan tahap lanjutan yang lebih tegas: yaitu pelaksanaan operasi “pembersihan kerikil dalam sepatu kekuasaan”.


Istilah ini merujuk pada upaya membersihkan unsur-unsur dalam pemerintahan yang justru menjadi penghambat agenda reformasi dan penataan ulang negara.


Tanpa langkah berani ini, risiko terus melemahnya wibawa negara dan presiden akan semakin besar, terlebih menjelang dinamika politik menjelang 2029.


Dalam konteks ini, penting untuk menafsirkan ulang konsep “politik balas budi” yang kerap dibicarakan dalam kaitannya dengan hubungan Prabowo dan Jokowi.


Politik balas budi tidak boleh dipahami sebagai kewajiban tunduk atau kompensasi kekuasaan, tetapi harus ditempatkan sebagai bentuk tanggung jawab moral seorang pemimpin terhadap rakyat.


Sebagaimana pernah digagas oleh Pieter Brooshooft, jurnalis Hindia Belanda dari surat kabar De Locomotief, politik balas budi adalah keberpihakan terhadap rakyat kecil bukan elite penguasa.


Maka, kewajiban Prabowo kini adalah mengarahkan segala kekuatan dan pengaruhnya untuk membangun pemerintahan yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat.


Sumber: PorosJakarta

Komentar