Di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai agama, adat, dan budaya ketimuran, ternyata ada satu budaya yang lebih lestari dibanding batik, lebih awet dibanding wayang, bahkan lebih mengakar daripada gotong royong yaitu budaya korupsi.
Budaya ini tidak pernah masuk kurikulum resmi, tapi diajarkan dengan tekun lewat contoh nyata para elite. Tidak ada buku pelajaran tentangnya, tapi setiap generasi bisa menghafalnya. Bahkan, tidak ada guru khusus, sebab para pejabat, politisi, aparat, hingga tokoh agama sekalipun, sering tanpa sadar menjadi role model terbaik dalam mendemonstrasikan praktik budaya ini.
Kalau wayang diwariskan lewat lakon Mahabarata dan Ramayana, korupsi diwariskan lewat “proyek” dan “jatah”. Seperti sebuah upacara adat, setiap pejabat baru biasanya diberi wejangan oleh seniornya: “Hati-hati kalau tidak pandai menyisihkan anggaran, bisa-bisa kamu dianggap tidak loyal.”
Korupsi di negeri ini tidak sekadar tindakan kriminal, melainkan sudah dianggap tradisi sosial. Ada istilah “uang rokok”, “uang terima kasih”, hingga “uang duduk” yang dianggap lumrah, padahal itu hanyalah eufemisme manis untuk sesuatu yang busuk. Di desa, aparat terbiasa meminta biaya tambahan ketika mengurus surat. Di kota, pejabat terbiasa mendapat komisi dari pengadaan barang dan jasa. Di pusat, praktiknya lebih canggih: ada fee proyek infrastruktur bernilai triliunan.
Budaya ini begitu cair, mengalir dari atas ke bawah. Bila di pusat kekuasaan pejabat bisa korupsi miliaran, di tingkat RT cukup dengan pungli parkir atau potongan bansos. Semua mendapat bagian sesuai kelasnya.
Masyarakat pun terjebak dalam paradoks. Mereka mencaci korupsi di televisi, tapi ketika ada saudaranya jadi pegawai negeri, harapannya cuma satu: “Jangan lupa nanti kalau ada proyek, kita dapat bagian.” Akhirnya, pejabat yang korupsi sering dibela: “Ya wajar, wong mereka juga mikir keluarga dan tim sukses.”
Ironisnya, di negeri religius ini, korupsi justru kerap dibungkus doa. Ada pejabat yang habis meresmikan masjid, tapi tak lama kemudian ditangkap KPK. Ada pula yang rajin berumrah, tapi uangnya ternyata hasil memotong anggaran bansos. Seakan-akan, korupsi bisa disucikan dengan sedekah.
Budaya ini bahkan melahirkan tafsir spiritual baru: semakin besar dosa korupsi, semakin besar pula sedekah yang dibutuhkan. Bukannya bertaubat, malah jadi seperti hitung-hitungan dagang dengan Tuhan.
Negara lain mungkin terkenal dengan budaya disiplin (Jepang), inovasi (Korea Selatan), atau egaliter (Skandinavia). Indonesia? Jangan khawatir, kita punya “keunikan” sendiri: budaya korupsi.
Kalau ada survei internasional tentang corruption perception index, Indonesia sering masuk papan bawah. Tapi alih-alih malu, elite politik kita pandai mencari alasan: “Negara lain juga sama, hanya kita saja yang lebih sering terekspos.” Padahal, ini seperti maling yang bangga karena punya geng ramai-ramai.
Pertanyaan klise yang selalu muncul: bagaimana cara memberantas korupsi? Pemerintah sudah punya KPK, polisi, jaksa, bahkan satgas. Tapi nyatanya, budaya ini seperti benalu: dipotong satu, tumbuh seribu.
Sejujurnya, bangsa ini tidak kekurangan aturan, tidak kekurangan lembaga, bahkan tidak kekurangan ustaz atau pendeta yang berkhutbah tentang dosa korupsi. Yang kurang hanyalah keteladanan nyata. Sayangnya, keteladanan itu semakin langka, seperti harimau Jawa yang punah.
Menyindir korupsi di Indonesia ibarat menertawakan cermin. Kita tertawa melihat kebusukan di layar kaca, tapi lupa bahwa kita juga bagian dari lingkaran itu. Ketika memberi “uang terima kasih” pada petugas, ketika mencari jalan pintas agar urusan cepat selesai, bukankah itu juga korupsi dalam bentuk kecil?
Budaya ini tidak akan punah hanya dengan operasi tangkap tangan. Ia baru akan runtuh bila masyarakat benar-benar menganggapnya aib, bukan lagi tradisi.
Oleh: M Yunus Hanis Syam
Pemerhati sosial dan budaya, tinggal di Lamongan
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Rocky Gerung Murka ke Sri Mulyani: Kalau Dia di Prancis sudah Lama Dipenggal Kepalanya
Massa Demo 25 Agustus Mulai Padati DPR, Polisi Pasang Barikade Beton
Heboh Video Syur Jubir Tambang dan Pria China, Polisi Masih Selidiki
Sulit untuk Keluarga Cendana Kuasai Golkar Lagi