Oleh: Selamat Ginting
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang kembali menolak gugatan terkait peningkatan syarat minimal pendidikan bagi calon presiden, wakil presiden, hingga anggota DPR dan DPD menandai babak baru dalam stagnasi politik elektoral kita.
Dalam negara yang mendambakan kepemimpinan berkualitas, keputusan ini seolah mengamini bahwa membaca, menulis, dan berhitung sudah cukup untuk mengatur hajat hidup orang banyak.
Secara hukum, MK memang berada dalam kerangka konstitusionalisme. Hak dipilih adalah hak asasi yang tidak boleh dibatasi secara diskriminatif.
Namun secara politik dan etis, kita patut bertanya: Apakah demokrasi kita cukup sehat jika standar kualitas kepemimpinan justru dibiarkan serendah ini?
Perlu Keberanian Politik
Ironi semakin terasa ketika kita melihat perbandingan nyata dalam sistem rekrutmen profesi lainnya.
Untuk menjadi guru taman kanak-kanak -- yang mengajar anak usia dini -- negara mensyaratkan pendidikan minimal S-1.
Tapi untuk membuat undang-undang, menentukan arah pembangunan nasional, bahkan menjadi kepala negara, seseorang cukup bisa baca-tulis. Di mana letak rasionalitasnya?
Artikel Terkait
Ahmad Ali Heran PSI Dua Kali Tak Lolos Senayan padahal Sudah Jual Nama Jokowi: Yang Bodoh Siapa?
Santer Dimakzulkan, Ini Rekam Jejak Ketum PBNU Gus Yahya dengan Zionis Israel
Ternyata Saat Pacaran dengan Dosen Untag, AKBP Basuki Status Pisah Ranjang dengan Istri
KPK Bantah Uang Rp300 Miliar yang Dipamerkan Pinjaman dari Bank, Ini Penjelasannya