Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang seharusnya menjamin keamanan dan kebebasan digital, justru sering dipakai sebagai digital bludgeon, alat pemukul terhadap mereka yang salah bicara, bukan mereka yang salah mencuri.
Dalam konteks ini, kegagalan mengungkap Fufufafa bukan hanya kegagalan teknis, tapi kegagalan ideologis: negara tak berdaulat dalam ruang data, hanya berdaulat dalam narasi.
Lantas, mengapa Bjorka bisa ditangkap dan Fufufafa tidak? Karena yang pertama diduga menantang sistem keamanan negara sementara yang kedua hanya menantang narasi dan menghinakan kemanusiaan serta punya jejaring kuasa.
Negara tidak mau menindak yang menciptakan kekacauan opini yang menghinakan kemanusiaan tapi bergerak tangkas menghadapi yang diduga menciptakan kekacauan infrastruktur data. Polisi akhirnya lebih seperti narrative enforcer ketimbang law enforcer. Mereka menjaga ilusi keamanan, bukan substansi keadilan.
Inilah era post-truth policing, di mana penegakan hukum lebih sering tampil sebagai psycho-political performance daripada tindakan rasional yang berbasis due process of law. Publik hanya disuguhi drama digital, sementara akar persoalan tetap tersembunyi: lemahnya tata kelola data nasional, bocornya otoritas siber, dan korupnya mentalitas institusional yang lebih suka menjinakkan rumor ketimbang menantang realitas.
Kita hidup di zaman ketika cyber justice digantikan oleh cyber propaganda. Negara bicara tentang keamanan digital, tapi lupa menegakkan digital ethics. Fufufafa menjadi simbol bahwa bahkan dalam dunia tanpa wajah, kebenaran masih bisa bersembunyi dari hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke arah suara yang berisik.
Dan mungkin, seperti dalam puisi ironis dunia maya:
“Negara mencari pelaku, tapi lupa mencari dirinya sendiri.”
Sebab dalam teater besar penegakan hukum digital ini, polisi bukan lagi penyelidik mereka hanyalah sutradara yang takut pada naskah yang mereka tulis sendiri.
Hal terpedih dan mengenaskan yang dialami kepolisian hari ini adalah Bjorka merupakan korban salah tangkap.
Penulis adalah Advokat dan Aktivis 98
Artikel Terkait
Buaya Besar di Inhil Mati, Setelah Dibedah Isi Perutnya Mengejutkan
Bongkar Tata Kelola Keuangan Era Gus Yahya
Tabiat AI, Ayah Tiri Alvaro yang Ditangkap Usai Jasad Sang Bocah Ditemukan Setelah 8 Bulan Hilang
Inara Rusli Kena Mental usai Dilaporkan Terkait Dugaan Perzinaan dengan Suami Wardatina Mawa?