Ketika Rakyat Diberi Makan tapi Tak Dilibatkan Menanam

- Jumat, 10 Oktober 2025 | 16:40 WIB
Ketika Rakyat Diberi Makan tapi Tak Dilibatkan Menanam



NEGARA kembali hadir di meja makan rakyat. Melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), pemerintah ingin memastikan setiap anak Indonesia mendapatkan gizi yang layak, setiap hari di sekolah.

Sebuah niat baik, tentu saja. Di tengah tingginya angka stunting dan ketimpangan ekonomi, siapa yang akan menolak makanan bergizi untuk anak-anak?

Namun seperti banyak kebijakan populis lainnya, di balik niat baik selalu ada lapisan realitas yang lebih kompleks — bahkan paradoksal. Sebab, jika kita periksa lebih dalam, program yang diklaim “berpihak pada rakyat” ini justru dapat memperlihatkan bagaimana rakyat menjadi penerima, bukan pelaku; konsumen, bukan produsen; penonton, bukan subjek. Ketika bahan pangan untuk MBG diadakan, siapa yang menjadi pemasoknya?




Di banyak daerah, jawabannya bukan koperasi petani, bukan pasar lokal, bukan dapur komunitas, melainkan vendor besar yang memenangkan tender.

Sayur dan beras datang dari luar daerah, bahkan dari korporasi yang sama sekali tidak berakar di komunitas penerima. Para petani lokal, yang semestinya menjadi ujung tombak kedaulatan pangan, justru menonton dari kejauhan.

Mereka tidak menanam untuk program ini, tidak tahu kepada siapa harus menjual hasil panen, dan tidak punya suara dalam menentukan standar pangan yang katanya “bergizi.”

Sementara itu, dapur sekolah atau kantin sekolah yang mestinya bisa dikelola bersama oleh komite orang tua siswa atau komunitas sekitar sekolah, digantikan oleh katering terpusat yang datang dan pergi tanpa jejak sosial.

Rakyat yang Dijinakkan atas Nama Kebaikan

Di sini kita melihat wajah lain dari negara kesejahteraan modern: negara yang memberi, tapi sekaligus menguasai. Negara yang berbicara tentang empowerment, tapi mendesain sistem yang disempower. Inilah hegemoni yang bekerja lewat rasa terima kasih.

Rakyat menjadi jinak bukan karena ditindas secara fisik, tetapi karena merasa diperhatikan. Mereka bersyukur — dan karena itu, berhenti bertanya. Padahal, di balik setiap paket nasi bergizi, ada struktur ekonomi yang tetap timpang, dan ada relasi kuasa yang tetap menempatkan rakyat di kursi penonton sejarah.

Dari Gizi ke Pemberdayaan

Bila benar negara ingin memperkuat rakyat, maka pertanyaannya bukan semata “apakah anak-anak makan bergizi,” tetapi juga “siapa yang menanam, mengolah, dan menentukan arah produksi pangan itu?”

Kebijakan sosial baru bisa disebut berpihak pada rakyat bila ia membangun kedaulatan ekonomi dan kesadaran kritis, bukan hanya memenuhi perut.

Bayangkan bila MBG dikelola bersama oleh koperasi petani, UMKM perempuan, dapur sekolah, kantin sekolah atau masyarakat sekitar sekolah. Bayangkan bila program ini menjadi ruang belajar anak-anak tentang asal-usul pangan, keberlanjutan ekologi, dan solidaritas antar warga. Baru di situ, makan bergizi bukan sekadar slogan, melainkan proses pemberdayaan.

Negara dan Rakyat Seharusnya di Meja yang Sama

Negara memang perlu hadir - tapi tidak dengan cara memberi dari atas. Negara yang partisipatif bukanlah negara yang memanjakan, melainkan negara yang mengundang rakyat ke meja perundingan, ke ruang produksi, ke proses perencanaan dan evaluasi.

Sebab, ketika rakyat hanya diberi makan tanpa dilibatkan menanam, kebijakan sosial berubah menjadi instrumen kuasa yang halus, dan mengubah bangsa yang ingin mandiri malah terus dipaksa hidup karena diberi. 

Yang kita butuhkan bukan negara dermawan, melainkan negara yang percaya bahwa rakyatnya mampu - menanam, mengolah, dan berpikir tentang masa depan dalam keberdayaan.

Mungkin perdebatan tentang MBG bukan hanya soal gizi, tetapi soal dignity — martabat. Karena kesejahteraan sejati bukan ketika perut rakyat kenyang,
tetapi ketika rakyat menjadi subjek penuh dari kehidupan sosial dan ekonomi mereka sendiri. 


Alip Purnomo

Koordinator Forum Silaturahmi Alumni Universitas Indonesia (Forsa UI)

Komentar