DIBANDINGKAN Ganjar Pranowo, Mahfud MD terus bersinar. Ia tak ada matinya. Terpakai terus. Di luar, di dalam, sama saja. Di legislatif, di eksekutif, dan di yudikatif, tetap bersinar. Di saat yang lain menghilang, beliau tetap ada dan selalu hadir. Tak ada, kiranya, tokoh yang seperti Mahfud.
Muhaimin Iskandar memang bisa masuk kabinet, tapi Mahfud tidak kalah, meski tanpa jabatan. Sempat disebut akan masuk Tim Komite Reformasi Polri, tapi nasib Tim itu sendiri belum jelas. Artinya, Mahfud nantinya akan dipakai juga. Tak ada lawan dan kawan abadi, kecuali kepentingan. Mahfud tidak begitu juga.
Mahfud sering salah pilih juga dan menyerah pada takdir. Kawannya banyak yang mendukung Jokowi, Mahfud sendiri mendukung Prabowo. Malah menjadi Ketua Tim Pemenangan pula. Prabowo kalah, Jokowi menang. Tapi Jokowi tak bisa juga melepaskannya. Mahfud dipakai di BPIP.
Periode kedua malah Jokowi meminta Mahfud jadi Wapres. Sudah dibuatkan baju dan sudah dipakai pula, tapi batal. Takdir Mahfud memang bukan adi orang nomor satu atau nomor dua. Sudah senang pula mendampingi Ganjar karena Jokowi terlihat mendukung Ganjar, ternyata Jokowi mendukung Prabowo. Ada anak Jokowi, Gibran, yang mendampingi Prabowo. Mahfud salah pilih lagi.
Salah dalam memilih, menang dalam pelaksanaan. Mahfud jago dalam pelaksanaan. Banyak yang tak suka, terutama mereka yang hanya menang saat memilih. Mahfud dinilai tak tahu cara berterima atau malah, dicap pengkhianat. Ia mengkritisi penegakan hukum yang bermasalah di masa lalu.
Padahal, Mahfud yang diamanahi Menkopolhukam di masa lalu itu. Orang gagal, mengkritisi kegagalan itu sendiri. Tapi Mahfud bisa berkelit karena tahu apa yang terjadi sebenarnya. Makanya ia tak segan-segan memuji keberhasilan dan komitmen pemberantasan korupsi Prabowo. Orang nomor satu, dialah penentu.
Kelebihan Mahfud ketimbang Anies Baswedan soal objektivitas itu. Anies juga di luar kekuasaan, tapi kurang objektif. Bukan tak pernah memuji hal-hal baik yang dilakukan pemerintah, melainkan yang dipuji pun terdengarnya bukan memuji, tapi tetap mengkritik. Minimal, menyindir secara halus.
Mungkin bagi Anies, berada di luar kekuasaan itu harus melihat kekurangan, bukan kelebihan. Kelebihan biarlah dilihat oleh orang yang berada dalam kekuasaan. Itulah yang membedakannya dengan Mahfud. Mahfud pandai menempatkan diri dalam segala situasi. Ada yang tak suka, tapi banyak juga yang suka.
Mahfud diminta KPK melaporkan dugaan kasus korupsi kereta cepat Whoosh. Lawan-lawan politik Mahfud senang. KPK sedang menyudutkannya. Jangan banyak bacot, dulu Menkopolhukam, kok baru kini berteriak?
KPK lupa, yang mendukung KPK juga mungkin lupa, bahwa penegak hukum, jangan hanya menunggu laporan. Harus proaktif, bukan pasif di kantor. Tindak pidana korupsi bukanlah delik aduan. KPK yang harus bertindak.
Situasi seperti berbalik. Mahfud yang awalnya terpojok, kini berada di atas angin. KPK tersudut dan lalu seperti mengklarifikasi pernyataan sebelumnya. KPK tiba-tiba saja, mengumumkan penyelidikan kasus kereta cepat Whoosh. Apakah mungkin?
Mahfud tak yakin KPK berani mengusut kasus kereta cepat Whoosh itu. Ditanya dalam suatu dialog dengan KompasTV, Mahfud tegas mengatakan bahwa KPK takut.
Mahfud tak mau menyimpulkan aneh-aneh seperti yang beredar di dunia netizen. Mengatakan KPK takut menurutnya, bukanlah tindak pidana.
Meski KPK mengatakan akan menyelidiki kasus dugaan korupsi kereta cepat Whoosh, tapi memang publik kurang yakin. Itu hanya semacam angin surga saja.
Padahal, Luhut Binsar Panjaitan sendiri yang dianggap identik dengan kereta cepat Whoosh itu mengatakan bahwa ia menerima proyek Whoosh itu sudah dalam keadaan busuk. Berarti, memang ada masalah.
Pernyataan Luhut Binsar Panjaitan bahwa ia menerima proyek kereta cepat Whoosh sudah dalam keadaan busuk juga membuat Mahfud tambah bersemangat. Luhut sahabatnya juga dan orang dekat Jokowi.
Agak terang siapa yang akan disasar Mahfud. Apalagi pernyataan pengamat transportasi Agus Pambagio bahwa perpindahan proyek dari Jepang ke China diakui sendiri oleh Jokowi keputusannya saat bertemu dengan dirinya.
Jokowi akhirnya membuat pernyataan bahwa proyek kereta cepat Whoosh memang bukan untuk mencari keuntungan, tapi untuk kepentingan masyarakat. Ada benarnya juga, tapi bukan itu pula yang dipersoalkan oleh banyak orang. Utangnya memiskinkan negara.
Kejaksaan Agung saja mungkin tak berani mengusut dugaan kasus kereta cepat Whoosh ini, apalagi KPK.
KPK terlanjur dianggap terkontaminasi sejak awal. Sebab belum apa-apa sudah membidik kasus lama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Dan saat Hasto diberikan amnesti oleh Presiden Prabowo, kelompok yang paling tegas menolak siapa lagi kalau bukan kelompok relawan Jokowi.
KPK pun seperti tak terima dengan pemberian amnesti itu. Seperti kait-berkait saja. Apakah mungkin dengan kondisi seperti itu KPK berani mengusut kasus dugaan korupsi kereta cepat Whoosh? Entahlah. Mahfud saja sudah tegas mengatakan takut, apalagi masyarakat awam seperti kita-kita ini.rmol.id
Erizal
Direktur ABC Riset & Consulting
______________________________________
Disclaimer: Rubrik Kolom adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan NARASIBARU.COM terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi NARASIBARU.COM akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
Artikel Terkait
Lima Orang Dipecat Jokowi Imbas Tolak Kereta Cepat Whoosh, Termasuk Menhub Ignasius Jonan
Astrofisikawan Harvard: Komet antarbintang 3I/ATLAS bisa jadi merupakan kapal induk
Usai Tom Lembong Bebas, 4 Bos Perusahaan Swasta Divonis 4 Tahun Kasus Importasi Gula
Whoosh dan Demokratisasi BUMN