Direktur ABC Riset & Consulting
Misalnya, putusan MK yang menghapus syarat 20 persen dukungan capres-cawapres. Kemudian putusan yang memisahkan keserentakan Pemilu menjadi Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Terakhir, putusan yang melarang anggota Polri menempati posisi sipil di luar Polri.
Ternyata, ada empat ribu lebih anggota Polri yang menempati posisi sipil di luar Polri. Ini sungguh berani dan revolusioner. Komisi Percepatan Reformasi Polri yang baru dibentuk saja, belum tentu terpikirkan, apalagi berani menyentuh perkara ini.
Entah kenapa putusan-putusan MK era Prabowo lebih berani dan revolusioner dibandingkan era Jokowi?
Berkali-kali digugat syarat 20 persen dukungan capres-cawapres di era Jokowi, MK bergeming. Tapi sekali saja digugat di era Prabowo, MK langsung mengabulkan.
Bahkan, syarat dukungan untuk maju Pilkada pun tiba-tiba dipotong separuh. Tak ada lagi 20 persen. MK menjadi lebih gampang mengabulkan gugatan terkait syarat-syarat yang membatasi ketimbang mempertahankannya.
Kecuali, syarat usia yang memberikan jalan buat Gibran Rakabuming Raka maju cawapres tak sulit bagi MK mengabulkan. MK di era Jokowi terlihat pro status quo, di era Prabowo justru sebaliknya.
Bisakah diartikan MK di era Jokowi lebih segan, takut, khawatir kepada Jokowi, sementara di era Prabowo tidak?
Bahkan MK membuatkan putusan khusus supaya anak Jokowi, bisa maju pencapresan, kendati belum cukup umur waktu itu.
Di era Prabowo, bahkan UUD 1945 pun ditabrak MK, karena memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, sehingga Pemilu yang diadakan sekali lima tahun bisa berubah sementara.
Sudah sejak awal sebetulnya Prabowo ingin menghapus syarat 20 persen pencapresan lewat Fraksi Gerindra di DPR, tapi tak pernah dikabulkan MK.
Saat Prabowo baru saja menjadi Presiden, langsung syarat itu dihapuskan. Dan lagi-lagi, putusan itu dianggap memberikan jalan buat Jokowi, kalau nanti anaknya Gibran Rakabuming Raka maju Pilpres. MK menguntungkan Jokowi, merugikan Prabowo.
Putusan-putusan MK belakangan ini memberikan pekerjaan rumah yang berat dan tak sedikit bagi eksekutif dan legislatif.
Belum lagi selesai soal penghapusan syarat 20 persen dukungan Capres-cawapres dan setting Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal, kini ada lagi putusan larangan bagi anggota Polri untuk menempati posisi jabatan sipil di luar Polri.
Bayangkan, ada sekitar empat ribu lebih anggota Polri harus kembali ke Mabes Polri, kembali ke Markas, kembali ke Barak. Ini jelas pekerjaan yang tidak mudah dieksekusi dalam waktu dekat.
Menggantikan empat ribu lebih pejabat seketika, alangkah merepotkannya? Kecuali, semua mau mundur sebagai anggota Polri dan tetap di posisi saat ini. Tapi alangkah sudah jauhnya juga anggota Polri merambah ke institusi di luar Polri. Polisi birokrat.
Di sisi lain, putusan MK tak bisa ditawar-tawar lagi. Final dan mengikat. Artinya, kalaupun ada aturan lain yang memperbolehkan anggota Polri mengisi posisi sipil lainnya, maka aturan itu harus tunduk pada putusan MK, bukan sebaliknya. Tak ada cerita menunggu perubahan undang-undang terlebih dulu. (*)
Artikel Terkait
AKBP Basuki, Polisi Dalmas Polda Jateng Dampingi Dosen Untag Sebelum Tewas
Teknologi Tanpa Batas: Kerjasama AS-Tiongkok Menuju Kemenangan Bersama
Dokter Tifa Sebut Jokowi Stres gegara Kasus Ijazah Palsu, Sarankan Berobat ke Luar Negeri
Anggota Komisi V DPR Ungkap Banyak Proyek Bendungan Era Jokowi Tak Bisa Dipakai, Habis APBN Kita