BAHAYA! Dua Pakar Hukum Tata Negara Ini Ungkap Dampak Luar Biasa Jika Benar Akun Fufufafa Milik Gibran

- Selasa, 01 Juli 2025 | 23:00 WIB
BAHAYA! Dua Pakar Hukum Tata Negara Ini Ungkap Dampak Luar Biasa Jika Benar Akun Fufufafa Milik Gibran




NARASIBARU.COM - Akun Kaskus Fufufafa yang dikaitkan dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali disorot dua pakar hukum tata negara sekaligus, yakni Mahfud MD dan Feri Amsari.


Akun ini mencuri atensi publik karena kedapatan kerap menuliskan hinaan dan hujatan terhadap sejumlah tokoh politik nasional, salah satunya Prabowo Subianto.


Mahfud mengatakan, jika kepemilikan Fufufafa benar adalah Gibran Rakabuming Raka terbukti, maka proses pemakzulan bukan sekadar kemungkinan, tapi bisa menjadi keniscayaan hukum.


“Kalau Fufufafa itu benar terkait Gibran, itu alasan yang sangat kuat untuk pemakzulan. Itu bisa, tetapi tidak mudah,” kata Mahfud dilansir dari kanal Youtube pribadinya, Selasa (1/7/2025).


Menurut Mahfud, langkah awal dimulai dari disposisi pimpinan DPR, lalu dilanjutkan pembahasan melalui komisi atau Badan Legislasi (Baleg).


Setelah itu, harus ada persetujuan dari sidang paripurna DPR. Dan di sinilah tantangan utama muncul jumlah suara.


"Melihat konfigurasi koalisi sekarang, untuk mencapai sepertiga saja susah,” kata Mahfud.


Hal senada juga diungkapkan Feri Amsari. Menurutnya, jika benar Fufufafa itu terkait Gibran, bisa menjadi alasan yang sangat kuat untuk pemakzulan.


"Kalau benar akun Fufufafa itu milik Gibran, maka selesai dia. DPR seharusnya membongkar kebenaran itu,” ujar Feri Amsari.


Feri pun mendorong DPR RI untuk menjalankan fungsi pengawasannya dalam mengusut kepemilikan akun fufufafa yang masih menjadi misteri.


Isu yang berawal dari akun anonim bernama Fufufafa di forum daring Kaskus kini bertransformasi menjadi topik panas yang menyeret konstitusi ke tengah panggung politik nasional.


Diketahui, usulan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka disodorkan Forum Purnawirawan TNI para pensiunan jenderal itu bersurat ke DPR/MPR.


Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona menjelaskan, setiap proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional dan bukan semata-mata didorong oleh opini atau tekanan politik.


Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh.


"Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” terang Yance Arizona.


Yance menjelaskan bahwa MPR bukanlah lembaga yang memulai proses pemakzulan, melainkan institusi yang menjalankan keputusan akhir setelah tahapan-tahapan sebelumnya dilalui.


Menurutnya, pintu masuk proses pemakzulan terletak di DPR bukan MPR. 


DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat jika terdapat dugaan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 7A.


Proses ini melibatkan berbagai lembaga negara dan menuntut adanya kehati-hatian dalam setiap tahapannya.


INFO! Gibran Bisa Mundur Tanpa Pemakzulan, Kasus Fufufafa Dinilai Jadi Faktor Penentu




NARASIBARU.COM - Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Selamat Ginting menyebut Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bisa mengundurkan diri demi meredam kegaduhan nasional tanpa harus melalui proses pemakzulan yang memakan waktu cukup panjang.


“Saya melihat posisinya sekarang 60–40 (untuk pemakzulan). Jadi menurut saya, bisa saja cara praktis supaya tidak terlalu berlarut-larut dan tidak menimbulkan instabilitas nasional, bisa saja sang Wapres mundur. Tidak perlu harus dipermalukan melalui Sidang Istimewa," kata Selamat Ginting dalam podcast di Jakarta, dikutip Jumat (13/6/2025).


Selanjutnya Selamat Ginting menyebutkan, ada lima kategori pelanggaran yang dapat menjerat presiden maupun wakil presiden dapat dimakzulkan, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, tindak pidana berat, dan tindakan tercela.


Menurutnya, bisa saja kasus Gibran sebelum menjadi wakil presiden diungkit kembali, salah satunya terkait kepemilikan akun Kaskus Fufufafa.


"Misalnya, gampang saja kok misalnya. Akun Fufufafa, itu apa bukan penistaan terhadap seseorang? Seseorang yang kemudian menjadi Presiden loh (Prabowo Subianto)," ujar Selamat Ginting menerangkan.


Ia mengatakan, perilaku sebelum menjabat pun dapat dipersoalkan selama memenuhi unsur pelanggaran moral. Terutama yang bersifat menghina pihak-pihak lain.


"Iya kan? Keluarganya (Prabowo). Belum lagi kasus, mohon maaf, urusan payudara disebut-sebut, payudara artis, penyanyi dan segala macam, gampang saja," ungkap Selamat Ginting.


Menurut dia, proses hukum pemakzulan di Mahkamah Konstitusi (MK) memang bisa memakan waktu, tetapi dinamika politik DPR bisa berjalan jauh lebih cepat.


“Tanggal 20 Juni usulan itu akan dibacakan di DPR. Hanya butuh 25 anggota atau sekitar dua fraksi untuk membentuk panitia khusus,” tuturnya.


Ia memperkirakan PDI‑Perjuangan (PDIP) dan Partai Demokrat yang disebutnya 'pernah merasa dizalimi' oleh Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) berpotensi menjadi dua partai terdepan yang akan melancarkan proses pemakzulan tersebut.


"PDIP, anggota DPR-nya paling banyak. Jadi dua (fraksi) itu bisa. Dari situ kemudian rapat lagi 2 per 3 dari anggota DPR harus menyetujui," ujarnya.


Isu identitas pengelola akun Fufufafa diperkirakan menjadi kunci. 


Selamat Ginting menyinggung posisi Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen (Purn) Nugroho Sulistyo Budi—eks Tim Mawar yang dekat dengan Presiden Prabowo.


"Jadi nggak mungkin Presiden Prabowo nggak tahu siapa yang menangani pemilik akun Fufufafa ini. Nggak mungkin nggak tahu. Presiden Prabwo pasti tahu," kata dia menegaskan. 


"Ya udah tinggal jalan aja. Apa iya kemudian mau dibuka-bukaan seperti ini? Bisa. Nanti kan ditanya. Itu nggak boleh berbohong," tambahnya.


Akun Fufufafa Jadi Pintu Masuk Pemakzulan Gibran? Mahfud MD Sebut Bisa, tapi Tidak Mudah


Guru besar hukum tata negara yang juga mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan tanggapan mengenai wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang diusulkan Forum Purnawirawan Prajurit TNI.


Melalui surat tertanggal 26 Mei 2025, Forum Purnawirawan Prajurit TNI meminta Ketua MPR dan DPR RI agar tuntutan pemakzulan Gibran segera diproses.


Dalam surat itu, akun Kaskus bernama Fufufafa menjadi sorotan. Surat itu menyebut akun Fufufafa diduga kuat terkait dengan Gibran.


Untuk diketahui, akun Fufufafa aktif antara tahun 2013 hingga 2019 dan dikenal kerap membuat komentar menghina tokoh politik seperti Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Anies Baswedan.


Selain itu, surat tersebut juga mengatakan akun Fufufafa disebut pernah membuat komentar mengenai sejumlah selebritas perempuan dengan komentar seksual dan rasis.


Lantas bisakah akun Fufufafa menjadi pintu masuk pemakzulan Gibran? 


Mahfud MD menjelaskan, untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden harus memiliki argumentasi hukum kuat.


Hal itu tercantum pada Pasal 7A hasil amandemen UUD 1945 yang mengatur tentang kemungkinan pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya.


Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan jika terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.


Selain itu, Mahfud MD juga mengatakan pemberhentian juga dapat dilakukan jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.


"Perbuatan tercela itu sesuatu yang dapat merendahkan martabat, perilaku, tutur kata. Kepala pemerintahan di Thailand dulu dipecat dianggap melakukan perbuatan tercela karena apa? Ikut lomba masak, itu tercela bagi seorang kepala pemerintahan waktu itu dipecat meskipun baru menang pemilu, jadi perbuatan tercela itu sangat fleksibel tergantung pada situasi politik," ungkap Mahfud MD, dikutip dari kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (10/6/2025).


Sementara contoh tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden, Mahfud mencontohkan antara lain sakit permanen, kehilangan kewarganegaraan, atau mengundurkan diri.


"Nah itulah jadi menurut saya apa dasar hukumnya kuat tetapi ingat bahwa hukum itu adalah produk politik. Secara hukum memang ada alasan, tetapi dipersulit. Dipersulit karena ada syarat-syarat yang berat," ungkap Mahfud. 


Gambaran Proses Pemakzulan


Mahfud menjelaskan, presiden atau wakil presiden, baik bersama-sama atau sendiri-sendiri bisa dijatuhkan atau dimakzulkan.


Terkait Gibran, Mahfud menyebut ada beberapa pintu masuk yang bisa dicoba meski tidak akan mudah.


Misalnya dugaan kasus dugaan korupsi Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dan keluarga dapat menjadi pintu masuk.


"Lalu yang kedua, pelanggaran etika. Pelanggaran etika yang muncul dari proses penetapan sebagai calon yang terbukti secara sah dan meyakinkan prosesnya melanggar etika sesuai dengan keputusan MKMK."


"Tetapi karena keputusannya sudah putusan finalnya sudah selesai, maka cacat moralnya itu sudah dibuktikan oleh keputusan MKMK yang kemudian memberi sanksi kepada semua hakim MK," jelas Mahfud. 


"Ketiga. Kalau kalau Fufufafa itu benar diungkap dan benar itu menyangkut Gibran, itu sudah jadi alasan yang sangat kuat untuk itu (usulan pemakzulan) gitu ya. Jadi itu bisa, tetapi itu kan tidak mudah," ungkap Mahfud.


Mahfud MD kemudian memberikan gambaran proses usulan pemakzulan. Pertama, begitu surat masuk maka akan diproses di internal DPR.


"Nanti pimpinan DPR itu membuat membuat disposisi tolong nih dibahas dong kepada komisi apa kepada baleg atau apa atau bisa juga kepada semua fraksi menanggapi ini, gitu."


Kemudian, syaratnya harus ada sidang DPR yang minimal dihadiri 2/3 anggota untuk menyatakan usulan ini diteruskan atau tidak.


"Kemudian kalau hadir 2/3, harus disetujui oleh 2/3 dari yang hadir. Jadi di situ aja kalau melihat konfigurasi koalisi dan oposisi sekarang itu kan sulit," ungkap Mahfud.


Menurut Mahfud, untuk mencapai sepertiga saja sulit diwujudkan.


Tetapi, apabila hal itu bisa terlewati, maka tahap selanjutnya adalah masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK).


"Itu perlu waktu tiga bulan paling lama untuk menilai ini. Saling membela, saling mendakwa impeachment itu. Pendakwaan artinya saling mendakwa kemudian ada yang membela dan seterusnya tiga bulan maksimal."


Jika sudah terlewati dan MK menyetujui, maka akan kembali lagi berproses di DPR untuk bersidang lagi untuk diteruskan ke MPR atau tidak.


"Di MPR kalau setuju harus ada 3/4 yang hadir, dan 2/3 dari 3/4 ini setuju," ungkap Mahfud.


"Jadi itu tidak mudah dan proses ini memang dibuat untuk mempersulit cara menjatuhkan presiden. Karena memang presiden tuh harus tidak mudah dijatuhkan lah," imbuhnya.


Sumber: Fajar

Komentar

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Polisi Tangkap Pembunuh Ibu Kandung di Wonogiri

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 10:45 WIB

Heboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tayang: Sabtu, 16 Agustus 2025 08:53 WIB Tribun XBaca tanpa iklan Editor: Valentino Verry zoom-inHeboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tribunjatim.com/Isya Anshari A-A+ INGIN DONOR ORGAN TUBUH - Yusa Cahyo Utomo, terdakwa pembunuh satu keluarga, divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (13/8/2025) siang. Yusa mengaku menyesali perbuatannya dan berkeinginan menyumbangkan organ tubuhnya kepada sang keponakan yang masih hidup, sebagai bentuk penebusan kesalahan. WARTAKOTALIVE.COM, KEDIRI - Jika seorang terdakwa dijatuhi vonis mati biasanya tertunduk lesu, ada pula yang menangis. Lain halnya dengan Yusa Cahyo Utomo, terdakwa kasus pembunuhan satu keluarga di Kediri, Jawa Timur. Tak ada penyesalan, bahkan dia sempat tersenyum kepada wartawan yang mewancarainya usai sidang vonis oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025). Dengan penuh percaya diri, Yusa Cahyo Utomo ingin mendonorkan organ tubuhnya usai dijatuhi vonis mati oleh majelis hakim. Baca juga: Alasan Pembunuh Satu Keluarga Tak Habisi Anak Bungsu, Mengaku Kasihan Saat Berusaha Bergerak Tentu ini cukup aneh, namun niat Yusa Cahyo Utomo ini ternyata ada makna yang besar. Donor organ tubuh adalah proses yang dilakukan untuk menyelamatkan atau memperbaiki hidup penerima organ yang mengalami kerusakan atau kegagalan fungsi organ. Biasanya, orang akan secara sukarela menyumbangkan organ tubuhnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan. Saya berpesan, nanti di akhir hidup saya, bisa sedikit menebus kesalahan ini (membunuh) dengan menyumbangkan organ saya, ucapnya dilansir TribunJatim.com. Baca juga: Pelaku Pembunuhan Satu Keluarga di Kediri Ternyata Masih Saudara Sendiri, Ini Motfinya Kalau saya diberikan hukuman mati, saya siap menyumbangkan semua organ saya, apapun itu, imbuhnya. Yusa Cahyo Utomo merupakan warga Bangsongan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Kediri. Ia adalah seorang duda cerai dengan satu anak. Yusa merupakan pelaku pembunuhan terhadap satu keluarga di Dusun Gondang Legi, Desa Pandantoyo, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, pada Desember 2024. Yusa menghabisi nyawa pasangan suami istri (pasutri) Agus Komarudin (38) dan Kristina (34), beserta anak sulung, CAW (12). Anak bungsu korban, SPY (8), ditemukan selamat dalam kondisi luka serius. Yusa mengaku ia tak tega menghabisi nyawa SPY karena merasa kasihan. Tersangka meninggalkannya dalam kondisi bernapas. Alasannya dia merasa kasihan pada yang paling kecil, ungkap AKP Fauzy Pratama yang kala itu menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Kediri, masih dari TribunJatim.com. Hubungan Yusa dengan korban Kristina adalah kakak adik. Pelaku merupakan adik kandung korban. Namun, sejak kecil, Yusa diasuh oleh kerabat lainnya di Bangsongan, Kecamatan Kayen. Selama itu, Yusa tak pernah mengunjungi keluarganya yang ada di Pandantoyo, Kecamatan Ngancar. Dikutip dari Kompas.com, motif Yusa menghabisi Kristina dan keluarganya karena masalah utang dan rasa sakit hati. Yusa memiliki utang di sebuah koperasi di Kabupayen Lamongan sebanyak Rp12 juta dan kepada Kristina senilai Rp2 juta. Karena Yusa tak memiliki pekerjaan dan utangnya terus menumpuk, ia pun memutuskan bertemu Kristina untuk meminjam uang. Kristina menolak permintaan Yusa sebab sang adik belum melunasi utang sebanyak Rp2 juta kepadanya. Penolakan itu kemudian memicu rasa sakit hati bagi Yusa hingga merencanakan pembunuhan terhadap Kristina dan keluarganya. Buntut aksi kejamnya, Yusa tak hanya divonis mati, pihak keluarga juga enggan menerimanya kembali. Sepupu korban dan pelaku, Marsudi (28), mengungkapkan pihak keluarga tak akan menerima kepulangan Yusa. Keluarga sudah enggak mau menerima (jika pelaku pulang), ungkapnya. Kronologi Pembunuhan Rencana pembunuhan oleh Yusa Cahyo Utomo terhadap Kristina dan keluarganya berawal dari penolakan korban meminjami uang kepada pelaku, Minggu (1/12/2024). Sakit hati permintaannya ditolak, Yusa kembali ke rumah Kristina pada Rabu (4/12/2024) dini hari pukul 3.00 WIB. Ia menyelinap ke dapur di bagian belakang rumah dan menunggu Kristina keluar. Saat Kristina keluar, Yusa lantas menghabisi nyawa kakak kandungnya itu menggunakan palu. Suami Kristina, Agus, mendengar suara teriakan sang istri dan keluar untuk mengecek. Nahas, Agus juga dibunuh oleh Yusa. Aksi Yusa berlanjut dengan menyerang anak Kristina, CAW dan SPY. Namun, ia membiarkan SPY tetap hidup sebab merasa kasihan. Usai melancarkan aksinya, Yusa membawa barang berharga milik korban, termasuk mobil dan beberapa telepon genggam. Ia kemudian kabur ke Lamongan dan berhasil ditangkap pada Kamis (5/12/2025). Atas perbuatannya, Yusa dijatuhi vonis mati buntut pembunuhan berencana terhadap Kristina dan keluarga. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yusa Cahyo Utomo dengan hukuman mati, kata Ketua Majelis Hakim, Dwiyantoro dalam sidang putusan yang berlangsung di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025), pukul 12.30 WIB, masih dikutip dari TribunJatim.com.

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 10:45 WIB

Pidato Prabowo Buka Jalan Kembali ke UUD 1945 Asli

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 10:25 WIB

Terpopuler

15

Heboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tayang: Sabtu, 16 Agustus 2025 08:53 WIB Tribun XBaca tanpa iklan Editor: Valentino Verry zoom-inHeboh Yusa Cahyo Utomo Donorkan Organ Tubuh Usai Divonis Mati PN Kediri, Ini Alasan dan Sosoknya Tribunjatim.com/Isya Anshari A-A+ INGIN DONOR ORGAN TUBUH - Yusa Cahyo Utomo, terdakwa pembunuh satu keluarga, divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Rabu (13/8/2025) siang. Yusa mengaku menyesali perbuatannya dan berkeinginan menyumbangkan organ tubuhnya kepada sang keponakan yang masih hidup, sebagai bentuk penebusan kesalahan. WARTAKOTALIVE.COM, KEDIRI - Jika seorang terdakwa dijatuhi vonis mati biasanya tertunduk lesu, ada pula yang menangis. Lain halnya dengan Yusa Cahyo Utomo, terdakwa kasus pembunuhan satu keluarga di Kediri, Jawa Timur. Tak ada penyesalan, bahkan dia sempat tersenyum kepada wartawan yang mewancarainya usai sidang vonis oleh Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025). Dengan penuh percaya diri, Yusa Cahyo Utomo ingin mendonorkan organ tubuhnya usai dijatuhi vonis mati oleh majelis hakim. Baca juga: Alasan Pembunuh Satu Keluarga Tak Habisi Anak Bungsu, Mengaku Kasihan Saat Berusaha Bergerak Tentu ini cukup aneh, namun niat Yusa Cahyo Utomo ini ternyata ada makna yang besar. Donor organ tubuh adalah proses yang dilakukan untuk menyelamatkan atau memperbaiki hidup penerima organ yang mengalami kerusakan atau kegagalan fungsi organ. Biasanya, orang akan secara sukarela menyumbangkan organ tubuhnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan. Saya berpesan, nanti di akhir hidup saya, bisa sedikit menebus kesalahan ini (membunuh) dengan menyumbangkan organ saya, ucapnya dilansir TribunJatim.com. Baca juga: Pelaku Pembunuhan Satu Keluarga di Kediri Ternyata Masih Saudara Sendiri, Ini Motfinya Kalau saya diberikan hukuman mati, saya siap menyumbangkan semua organ saya, apapun itu, imbuhnya. Yusa Cahyo Utomo merupakan warga Bangsongan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Kediri. Ia adalah seorang duda cerai dengan satu anak. Yusa merupakan pelaku pembunuhan terhadap satu keluarga di Dusun Gondang Legi, Desa Pandantoyo, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri, pada Desember 2024. Yusa menghabisi nyawa pasangan suami istri (pasutri) Agus Komarudin (38) dan Kristina (34), beserta anak sulung, CAW (12). Anak bungsu korban, SPY (8), ditemukan selamat dalam kondisi luka serius. Yusa mengaku ia tak tega menghabisi nyawa SPY karena merasa kasihan. Tersangka meninggalkannya dalam kondisi bernapas. Alasannya dia merasa kasihan pada yang paling kecil, ungkap AKP Fauzy Pratama yang kala itu menjabat sebagai Kasat Reskrim Polres Kediri, masih dari TribunJatim.com. Hubungan Yusa dengan korban Kristina adalah kakak adik. Pelaku merupakan adik kandung korban. Namun, sejak kecil, Yusa diasuh oleh kerabat lainnya di Bangsongan, Kecamatan Kayen. Selama itu, Yusa tak pernah mengunjungi keluarganya yang ada di Pandantoyo, Kecamatan Ngancar. Dikutip dari Kompas.com, motif Yusa menghabisi Kristina dan keluarganya karena masalah utang dan rasa sakit hati. Yusa memiliki utang di sebuah koperasi di Kabupayen Lamongan sebanyak Rp12 juta dan kepada Kristina senilai Rp2 juta. Karena Yusa tak memiliki pekerjaan dan utangnya terus menumpuk, ia pun memutuskan bertemu Kristina untuk meminjam uang. Kristina menolak permintaan Yusa sebab sang adik belum melunasi utang sebanyak Rp2 juta kepadanya. Penolakan itu kemudian memicu rasa sakit hati bagi Yusa hingga merencanakan pembunuhan terhadap Kristina dan keluarganya. Buntut aksi kejamnya, Yusa tak hanya divonis mati, pihak keluarga juga enggan menerimanya kembali. Sepupu korban dan pelaku, Marsudi (28), mengungkapkan pihak keluarga tak akan menerima kepulangan Yusa. Keluarga sudah enggak mau menerima (jika pelaku pulang), ungkapnya. Kronologi Pembunuhan Rencana pembunuhan oleh Yusa Cahyo Utomo terhadap Kristina dan keluarganya berawal dari penolakan korban meminjami uang kepada pelaku, Minggu (1/12/2024). Sakit hati permintaannya ditolak, Yusa kembali ke rumah Kristina pada Rabu (4/12/2024) dini hari pukul 3.00 WIB. Ia menyelinap ke dapur di bagian belakang rumah dan menunggu Kristina keluar. Saat Kristina keluar, Yusa lantas menghabisi nyawa kakak kandungnya itu menggunakan palu. Suami Kristina, Agus, mendengar suara teriakan sang istri dan keluar untuk mengecek. Nahas, Agus juga dibunuh oleh Yusa. Aksi Yusa berlanjut dengan menyerang anak Kristina, CAW dan SPY. Namun, ia membiarkan SPY tetap hidup sebab merasa kasihan. Usai melancarkan aksinya, Yusa membawa barang berharga milik korban, termasuk mobil dan beberapa telepon genggam. Ia kemudian kabur ke Lamongan dan berhasil ditangkap pada Kamis (5/12/2025). Atas perbuatannya, Yusa dijatuhi vonis mati buntut pembunuhan berencana terhadap Kristina dan keluarga. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yusa Cahyo Utomo dengan hukuman mati, kata Ketua Majelis Hakim, Dwiyantoro dalam sidang putusan yang berlangsung di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Kabupaten Kediri, Rabu (13/8/2025), pukul 12.30 WIB, masih dikutip dari TribunJatim.com.