NARASIBARU.COM - Keputusan Presiden Prabowo Subianto mencopot Budi Gunawan dari kursi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) disebut sebagai langkah politik strategis yang sarat makna.
Manuver ini dinilai bukan sekadar perombakan kabinet biasa.
Analis Politik dan Militer dari Universitas Nasional, Selamat Ginting, menilai langkah ini adalah respons langsung Prabowo terhadap peristiwa yang disebutnya "Agustus Kelam".
Tak hanya itu, pencopotan ini juga menjadi sinyal kuat putusnya jembatan komunikasi antara Istana dengan PDI Perjuangan (PDIP).
"Pencopotan Budi Gunawan dari jabatan Menko Polhukam merupakan langkah awal Presiden Prabowo Subianto untuk menata ulang kabinetnya pasca peristiwa 'Agustus Kelam'," ujar Ginting dalam analisisnya di podcast Forum Keadilan TV dikutip dari YouTub pada Rabu (10/9/2025).
Menurutnya, meski pihak Istana menampik kaitan tersebut, waktu dan momentumnya menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat.
Ginting bahkan memprediksi akan ada gelombang reshuffle kabinet jilid ketiga yang lebih besar pada Oktober mendatang sebagai kelanjutan dari langkah pembersihan ini.
Kinerja di BIN dan Loyalitas Ganda
Kritik tajam juga diarahkan pada rekam jejak Budi Gunawan, khususnya saat memimpin Badan Intelijen Negara (BIN).
Ginting menilai kinerja BIN di bawah kepemimpinan Budi Gunawan menjadi kurang efektif karena terseret terlalu jauh ke dalam ranah politik praktis.
"BIN menjadi 'tumpul' karena terlalu banyak diseret ke dalam politik praktis untuk kepentingan kekuasaan Presiden Jokowi," kritik Ginting.
Ia menambahkan, latar belakang Budi Gunawan sebagai polisi lalu lintas dianggap kurang sesuai untuk memimpin sebuah lembaga intelijen yang seharusnya beroperasi senyap dan strategis.
Faktor krusial lainnya yang menjadi sorotan adalah kedekatan Budi Gunawan dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Loyalitas Budi Gunawan yang dianggap bercabang antara kepentingan pemerintahan dan afiliasi politiknya dengan PDIP dinilai tidak sejalan dengan prinsip yang dipegang teguh oleh Prabowo.
"Loyalitas Budi Gunawan yang dianggap bercabang ini dinilai tidak sejalan dengan prinsip 'loyalitas tunggal' yang dipegang teguh oleh Presiden Prabowo," jelasnya.
Konsolidasi Kekuatan Prabowo
Untuk mengisi kekosongan sementara, Prabowo menunjuk Safri Syamsudin sebagai Menko Polhukam ad interim.
Penunjukan ini, kata Ginting, adalah cerminan dari upaya Prabowo untuk mengonsolidasikan kekuasaannya.
Safri dikenal sebagai sosok yang sangat loyal kepada Prabowo dan memiliki pengalaman dalam manajemen krisis.
Langkah ini menunjukkan keinginan Prabowo untuk memastikan pos-pos strategis diisi oleh orang-orang kepercayaannya yang sejalan dengan visi dan kebijakannya.
Dengan menyingkirkan figur yang memiliki kedekatan kuat dengan PDIP, Prabowo kini memiliki keleluasaan lebih untuk mengendalikan arah pemerintahan tanpa potensi intervensi dari kekuatan politik lain.
Lebih jauh, Ginting melihat ini sebagai bagian dari strategi besar Prabowo untuk "menggergaji" secara perlahan orang-orang titipan dari pemerintahan sebelumnya.
Nama-nama lain seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian diprediksi berpotensi menjadi target selanjutnya dalam gelombang perombakan kabinet mendatang.
Semua langkah ini, simpul Ginting, adalah bagian dari upaya konsolidasi kekuasaan demi memastikan stabilitas pemerintahan Prabowo ke depan.
Sumber: Suara
Artikel Terkait
Baru 2 Hari Jadi Menkeu, Purbaya Langsung Kapok Dihujat Netizen Kini Janji Komunikasi Kalem: Beneran Bisa Tahan Lidah?
Seskab Unggah Foto Pertemuan Empat Mata Dasco-Prabowo, Apa yang Dibahas?
WOW! Jadi Menko Polkam Ad Interim, Menhan Sjafrie Kini Jabat 4 Posisi di Pemerintahan Prabowo
WOW! Jadi Menko Polkam _Ad Interim_, Menhan Sjafrie Kini Jabat 4 Posisi di Pemerintahan Prabowo