NARASIBARU.COM - Pertemuan antaran Presiden RI, Prabowo Subianto dengan Joko Widodo (Jokowi) pada 4 Oktober 2025 diisukan sebagai lobi politik. Lobi politik tersebut disebutkan oleh eks anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Kolonel Inf (Purn) TNI, Sri Rajasa dalam video YouTube Abraham Samad Speak Up.
Sri menyebut Jokowi meminta Prabowo untuk mempertahankan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri dalam pertemuan tersebut.
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi pun merespons spekulasi tersebut. Menurutnya pernyataan itu tak dapat dipercayai karena tak memiliki dasar yang kuat.
"Menyebut bahwa Jokowi meminta Prabowo untuk mempertahankan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo demi 'mengamankan pintu terakhir' di tengah berbagai kasus yang dihadapinya adalah tuduhan yang tidak memiliki dasar fakta, lebih menyerupai narasi insinuatif yang mengaburkan logika politik dan hukum negara," kata Haidar Alwi, Jakarta, Sabtu (11/10/2025).
Haidar menjelaskan penunjukan dan pemberhentian Kapolri bukan produk barter politik.
Tetapi, kata Haidar penetapan Kapolri memiliki mekanisme formal yang melewati pertimbangan institusional dan etika pemerintahan. "Pernyataan seperti itu justru mengandung risiko serius terhadap stabilitas opini publik.
Ia menggeser ruang dialog publik dari argumentasi objektif menuju rumor politis yang menstigmatisasi lembaga negara, terutama Polri, seolah-olah alat politik personal," ungkapnya.
Haidar menjelaskan saat ini Listyo tengah melakukan sejumlah gebarakan dalam transformasi kelembagaan hingga pemulihan kepercayaan publik kepada Polri. Karenanya, kata Haidar, opini atau spekulias itu hanya akan memperkeruh upaya mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi Polri. "Para purnawirawan TNI semestinya menjadi panutan dalam menjaga etika berwacana dan kedewasaan politik di ruang publik.
Reputasi mereka dibangun dari disiplin militer dan semangat pengabdian pada negara, bukan pada penggiringan opini yang bersifat destruktif," katanya.
Haidar menekankan kritik konstruktif tentu dibutuhkan tetapi harus berbasis data, disampaikan dengan bahasa yang membangun, bukan dengan insinuasi yang memperuncing persepsi publik.
Ia menilai kehati-hatian ini penting agar publik tidak membaca adanya agenda terselubung di balik serangkaian pernyataan yang bernada sinis terhadap Kapolri maupun institusi Polri.
Sebab, kata Haidar, bila pola ini terus berulang bisa muncul kesan bahwa sebagian purnawirawan TNI sengaja digunakan atau dibiarkan menjadi corong untuk melemahkan citra Polri.
"Situasi semacam itu bukan hanya merugikan Polri, tetapi juga merusak harmoni dan soliditas antar-institusi pertahanan dan keamanan negara (TNI-Polri)," ungkap Haidar "Maka, kebijaksanaan dalam berbicara tentang institusi negara adalah bentuk tertinggi dari patriotisme," pungkasnya
Sumber: tvOne
Artikel Terkait
Serakahnomics Ibarat Penjajahan Gaya Baru yang Harus Dilawan
Prof Faisal Santiago: Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR Bentuk Ketidakadilan
Misbakhun Takut Menkeu Purbaya Ceplas-Ceplos?
Tak Perlu Baper dengan Pertemuan Jokowi-Prabowo