Mahfud MD Cium Ada Pidana Korupsi di Proyek Kereta Cepat Whoosh, Minta Prabowo-Purbaya Selesaikan

- Rabu, 15 Oktober 2025 | 19:00 WIB
Mahfud MD Cium Ada Pidana Korupsi di Proyek Kereta Cepat Whoosh, Minta Prabowo-Purbaya Selesaikan



NARASIBARU.COM  -- Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengaku mencium adanya indikasi pidana korupsi dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang diberi nama Whoosh.

Menurut Mahfud MD, diduga ada mark-up anggaran beberapa kali lipat dalam pembiayaan proyek kereta cepat Whoosh di era pemerintahan Presiden Jokowi tersebut.

Namun hal ini katanya harus diselidiki lebih jauh, untuk mendeteksi kemana uangnya dilarikan dan dinikmati siapa saja.


Dugaan itu, katanya diperkuat lagi dari pernyataan pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo dan Anthony Budiawan di salah satu televisi swasta beberapa waktu lalu, yang akhirnya mengkonfirmasi apa yang dulu sudah didengarnya dan terberitakan sejak 5 tahun lalu.


"Apa-apa yang dulu sudah terberitakan atau 5 tahun lalu sudah terberitakan luas, sekarang dikonfirmasi langsung," kata Mahfud MD dalam channel YouTube Mahfud MD Official miliknya yang tayang, Selasa (14/10?2025) malam.

Ia menjelaskan dugaan mark-up dalam proyek Whoosh ini.

"Dugaan mark upnya gini. Itu harus diperiksa, ini uang lari ke mana. Menurut perhitungan pihak Indonesia, biaya per 1 km kereta Whoosh itu 52 juta US dolar. Tapi di Cina sendiri hitungannya hanya 17 sampai 18 juta US dolar. Jadi naik tiga kali lipat kan. Ini yang menaikkan siapa? Uangnya ke mana?" tanya Mahfud.

Menurut Mahfud dugaan mark-up anggaran sampai 3 kali lipat, terbilang cukup fantastis.

"Nah, itu markup. Harus diteliti siapa dulu yang melakukan ini," kata Mahfud.

Mahfud mengatakan utang yang sangat besar akibat proyek Whoosh ini dan belakangan mencuat saat Menteri Keuangan Purbaya enggan membayar menggunakan APBN, sejak awal sudah diprediksi pakar dan diungkapkan ke pemerintah.


Karenanya sangat aneh dan menjadi janggal, proyek ini tetap dilakukan namun memberatkan pihak Indonesia.

"Sangat aneh karena ini merupakan satu bisnis B2B, bisnis to bisnis, BUMN dan BUMN sana. Tetapi sekarang hutangnya bertambah terus," ujar Mahfud.


"Bunga hutangnya saja setahun itu Rp 2 triliun. Bunga hutang saja. Sementara dari tiket hanya mendapat maksimal 1,5 triliun. Jadi setiap tahun utangnya bertambah, bunga berbunga terus, negara nomboki terus," papar Mahfud MD.

Menurut Mahfud kalau melihat periode waktunya atau termnya, pembayaran utang itu bisa terjadi sampai 70 atau 80 tahun ke depan.

Untuk itu Mahfud mengusulkan selain Menkeu Purbaya mencari jalan lain dalam membayar utang proyek ini, agar bukan  berasal dari APBN.

"Selain itu negara harus menyelesaikan secara hukum. Hukum pidananya bisa ada, kalau itu betul di-mark up," jelaas Mahfud.


Mahfud mengatakan pengamat ekonomi dan kebijakan publik Antoni Budiawan, juga sempat menyatakan soal besaran anggaran yang janggal ini.

"Antoni Budiman bilang di Cina itu harganya dulunya hanya Sebesar 17 sampai 18 US dolar per kilometer. Sekarang jadi 53 juta US dolar. Nah, ini harus diselidiki. Kalau benar itu terjadi, maka itu pidana dan pelakunya harus dicari. Tapi juga ada perdatanya nantinya," kata Mahfud.

Masalah perdata menurutnya akan melihat hubungan antara yang bersangkutan dalam menggunakan uang negara.

Karenanya Mahfud berharap Presiden Prabowo Subianto memback-up para penegak hukum yang mendalami dan menyelidiki dugaan mark-up proyek kereta cepat Whoosh ini.

"Tapi saya lebih cenderung selesaikan pidananya agar bangsa ini tidak terbiasa membiarkan orang bersalah, ya sudah lewat kita maafkan. Itu kan selalu terjadi begitu, dari waktu ke waktu. Padahal ini lebih gila lagi ini ya. Sehingga menurut saya soal Whoosh, saya acungi jempol Pak Purbaya, jalan terus," kata Mahfud.

Ia mendukung keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh Rp 116 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Purbaya menegaskan, tanggung jawab pembayaran berada di tangan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), lembaga yang kini mengelola KCIC bersama sejumlah BUMN strategis. 

"Saya mendukung Purbaya dalam hal ini. Jadi begini, ini masalahnya yang harus dicari secara hukum," kata Mahfud.


Tapi, menurut Mahfud, juga harus diberi kesempatan bagi pihak-pihak yang terlibat untuk menjelaskan.

"Karena bagaimanapun pemerintah waktu itu punya alasan-alasan sendiri, itu pelaku-pelakunya kan sekarang masih ada semua, untuk diurai agar bangsa ini selamat," ujarnua.

Mahfud juga mengaitkan pengungkapan kasus ini dengan komitmen Presiden Prabowo untuk membuka kasus-kasus yang dianggap punya potensi korupsi atau pernah terjadi korupsi.

"Nah, di sini saya melihat karakter Purbaya dan Pak Prabowo nih sama-sama keras ya. Sama-sama tegas untuk melawan korupsi. Tapi Pak Prabowo mulainya agak merangkak gitu karena tidak mudah kan," kata Mahfud.

Di mana dulu, katanya, di awal Prabowo hanya pidato saja.

"Tapi dia sudah mulai sekarang." kata Mahfud.

"Dimulai dari misalnya penetapan Reza Khalid sebagai tersangka dan buron," ujarnya.

Padahal, menurut Mahfud, selama puluhan tahun Reza Khalid tidak bisa disentuh.


"Sekarang dia sudah menjadi tersangka, terlepas dari apakah nanti Kejaksaan Agung bisa mencari atau tidak. Itu kan Prabowo sudah mulai. Bagus dari Pak Prabowo," kata Mahfud.

Yang kedua, tambah Mahfud, seminggu lalu Prabowo melakukan eksekusi atas korupsi timah di Bangka Belitung.


"Korupsi Rp 300 triliun. Langsung disita sendiri oleh beliau, diambil sendiri yang Rp 6 triliun dulu. Itu artinya merangkak kan," kata Mahfud.

Kemudian tambah Mahfud, sepekan lalu pemerintah juga menghapus PIK 2 dari daftar proyek strategis nasional.

"Oleh sebab itu pengelolanya gak bisa lagi dilakukan penguasaan hak, tetapi bisa pengusahaan dan itu sudah dilepaskan. Artinya program yang selama ini dikelola oleh maaf Aguan itu dilepas sekarang," kata Mahfud.

Menurutnya Prabowo melangkah mencari penyelesaian agar kedaulatan kita tidak terjajah oleh Cina sekaligus melakukan penyelesaian hukum tanpa pandang bulu. 

Purbaya Benar

Menurut Mahfud, keputusan Menkeu Purbaya yang enggan membayar utang proyek Whoosh dari APBN adalah benar dan pasti didukung Prabowo.



"Menurut saya benar Purbaya. Karena apa? Ini masalahnya sangat memberatkan bangsa. Kita membangun itu menghilangkan pembangunan-pembangunan untuk rakyat yang lain, kan hanya disedot untuk ini," ungkap Mahfud.

Mahfud menjelaskan jika pemerintah tidak mampu membayar maka kerjasama B2B itu bisa dipailitkan.

"Atau itu diserahkan ke Danantara. Tapi apa mau dibail out oleh negara terus terus-terusan. Nah, ini yang harus diteliti karena ada dugaan markup," ungkap Mahfud.

"Nah, itu markup. Harus diteliti siapa dulu yang melakukan ini," kata Mahfud.

Mahfud menjelaskan proyek Whoosh ini juga bisa mengancam masa depan dan kedaulatan bangsa dan rakyat, akibat utang yang sangat besar.

"Karena misalnya kita gagal bayar, itu kan berarti Cina harus mengambil, tapi kan gak mungkin ngambil barang di tengah kota. Pasti dia minta kompensasi ke samping misalnya Laut Natuna Utara. Karena itu pernah terjadi ke Sri Lanka. Sri Lanka juga melakukan kayak gini ya. Membangun pelabuhan gak mampu bayar pelabuhannya diambil sampai sekarang oleh Cina" ujar Mahfud.

Sementara di Indonesia, kata Mahfud, Cina bisa meminta kompensasi menguasai Laut Natuna Utara dan membangun pangkalan di sana selama 80 tahun.

"Nah, itu masalahnya. Jadi betul Pak Purbaya, Anda didukung oleh rakyat jangan bayar Whoosh dengan APBN. Kemudian carikan jalan keluar agar tidak disita karena pailit atau dikuasainya Natuna," ujarnya.


Mahfud mengatakan utang yang sangat besar dalam proyek Whoosh ini sangat aneh.

"Sangat aneh karena ini merupakan satu bisnis B2B, bisnis to bisnis, BUMN dan BUMN sana. Tetapi sekarang hutangnya bertambah terus. Bunga hutangnya saja setahun itu Rp 2 triliun. Bunga hutang saja. Sementara dari tiket hanya mendapat maksimal 1,5 triliun. Jadi setiap tahun bertambah kan, bunga berbunga terus, negara nomboki terus," ujarnya.

Menurut Mahfud kalau melihat termnya, maka hal itu bisa terjadi sampai 70 atau 80 tahun, baru Indonesia melunasi utang Whoosh dari Cina.

Karenanya Mahfud mengusulkan selain Menkeu Purbaya mencari jalan lain membayar utang bukan dari APBN, juga harus menyelesaikan secara hukum serta perdatanya.

"Tapi saya lebih cenderung selesaikan pidananya, agar bangsa ini tidak terbiasa membiarkan orang bersalah, ya sudah lewat, kita maafkan. Itu kan selalu terjadi begitu dari waktu ke waktu. Padahal ini lebih gila lagi ini ya," kata Mahfud.

"Sehingga menurut saya, saya acungi jempol Pak Purbaya," ujar Mahfud.

Proyek Whoosh Dipaksakan Jokowi

Mahfud mengatakan tidak heran jika megaproyek kereta cepat Jakarta Bandung yang diberi nama Whoosh, hasil kerja sama dengan Cina ternyata membebani anggaran negara dengan jumlah utang yang kini mencapai Rp 116 triliun.


Menurut Mahfud MD, sejak awal megaproyek ini terlalu dipaksakan oleh Presiden Jokowi saat itu.

Sebab awalnya, tambah Mahfud, proyek kereta cepat ini direncanakan dalam perjanjian G2G, atau government to government, dengan pemerintah Jepang, lalu tiba-tiba berubah menjadi B2B atau business to business antara BUMN Indonesia dengan perusahaan Cina.

Bahkan kata Mahfud, saat itu Presiden Jokowi tidak mau mendengar saran dan peringatan dari Menteri Perhubungan saat itu Ignatius Jonan.

Dimana katanya,, Ignatius Jonan merasa proyek itu tidak visible dan tidak menguntungkan Indonesia.

Namun menurut Mahfud, peringatan Jonan diabaikan Jokowi dan bahkan Jokowi memecat Jonan dari jabatan Menhub.

"Pada awalnya proyek Whoosh ini direncanakan dalam perjanjian G2G, atau government to government, antara pemerintah Jepang dengan pemerintah Indonesia," kata Mahfud dalam channel YouTube Mahfud MD Official miliknya yang tayang, Selasa (14/10?2025) malam.

Di mana katanya berdasarkan hitungan ahli dari UI dan UGM, disepakati bahwa proyek Whoosh bisa dibangun dengan bunga 0,1 persen dengan Jepang. 

"Tiba-tiba sesudah Jepang minta kenaikan sedikit gitu, oleh pemerintah Indonesia dibatalkan. Lalu di pindah ke Cina, dengan bunga 2 persen. Dengan overun pembengkakan kemudian menjadi 3,4 persen . Yang terjadi itu. Nah, akhirnya sekarang kita gak mampu bayar," papar Mahfud.


Mahfud menjelaskan ketika kerja sama pengerjaan proyek kereta cepat dipindah dari Jepang ke Cina, Presiden Jokowi memanggil Ignatius Jonan yang menjabat Menhub.


Kepada Jokowi, Jonan menyatakan tidak setuju dengan megaproyek itu bersama Cina.

Jonan, kata Mahfud mengatakan ke Presiden Jokowi bahwa perjanjian atau kesepakatan dengan Cina tidak visible atau tidak bisa dilihat keuntungannya.

"Pak, ini tidak visible, kata Pak Jonan ke Jokowi. Tapi malahan Pak Jonannya yang dipecat, digantikan. Sesudah itu dia (Presiden Jokowi-Red) memanggil ahli namanya Agus Pambagio," ujar Mahfud.

Agus Pambagio beber Mafud, diminta Jokowi memberikan saran soal rencana proyek kereta cepat Whoosh yang pembiayaannya bekerja sama dengan Cina.

"Presiden manggil nih. Sesudah mecat Jonatan, dia panggil dan tanya ke Agus Pambagio. 'Pak Agus, gimana ini Pak?' Agus jawab Ini tidak visibel, akan rugi negara, menurut Agus," beber Mahfud.

Mahfud mengatakan bahkan Agus Pambagio sempat menanyakan ke Presiden Jokowi, ide siapa pembangunan kereta cepat yang awalnya kerja sama dengan Jepang lalu dipindah ke Cina dengan biaya yang membesar.

"Ini atas ide siapa? Tanya Agus ke Jokowi. Kok bisa pindah dari Jepang ke Cina dan biayanya makin besar?" ujar Mahfud menirukan pertanyaan Agus Pambagio.


Lalu kata Mahfud, Jokowi menjawab bahwa itu adalah ide Jokowi sendiri.

"Atas ide saya, kata Jokowi. Kata Presiden, atas ide saya sendiri gitu," papar Mahfud.

Mendengar hal itu menurut Mahfud, Agus Pambagio menjawab karena ini ide Presiden dan sudah mau dijadikan kebijakan, maka ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Karena ide Presiden sendiri dan mau dijadikan kebijakan, maka Agus mengaku tidak bisa berbuat apa-apa," kata Mafud.

"Dan pergi si Agus. Ternyata sekarang benar gak mampu bayar utangnya," ujar Mahfud.

Utang Whoosh Mencuat

Sebelumnya besaran utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) Whoosh senilai Rp 116 triliun kembali mencuat.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya memastikan, beban utang kereta cepat Jakarta-Bandung itu tidak akan ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


Purbaya menegaskan, tanggung jawab pembayaran berada di tangan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), lembaga yang kini mengelola KCIC bersama sejumlah BUMN strategis.

“Kan KCIC di bawah Danantara ya. Kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa dapat Rp80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage (utang KCJB) dari situ. Jangan kita lagi,” ujar Purbaya, Jumat (10/10/2025).

Menurut Purbaya pengelolaan BUMN di bawah Danantara seharusnya membuat perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi bergantung penuh pada intervensi pemerintah dan APBN.

Sebab katanya kini dividen BUMN tidak lagi masuk ke kas negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP), melainkan dikelola langsung oleh Danantara.

Karena itu, tanggung jawab penyelesaian utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung juga berada di tangan lembaga tersebut. 

Seperti diketahui proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mulai dibangun pada 2016 dan resmi beroperasi pada Oktober 2023.

Total nilai investasinya mencapai 7,27 miliar dollar AS atau sekitar Rp 118,37 triliun dengan kurs Rp 16.283 per dollar AS.

Nilai tersebut sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS.


Sekitar 75 persen pendanaan proyek ini berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), sementara sisanya berasal dari ekuitas konsorsium KCIC.

Kereta Cepat ini bisa melaju hingga 350 km/jam yang menjadikannya kereta cepat pertama di Indonesia dan Asia Tenggara (ASEAN). Dengan kecepatan itu Kereta Cepat Whoosh bisa menghubungkan Jakarta (Halim)-Bandung (Tegalluar) dengan waktu kurang dari sejam.

"Kereta Cepat Jakarta-Bandung ini merupakan kereta cepat pertama di Indonesia dan juga pertama di Asia Tenggara," ungkap Jokowi saat meresmikan proyek Kereta Cepat Whoosh di Stasiun Kereta Cepat Halim, Jakarta, Senin (2/10/2023).

Namun dengan nilai investasi yang sebesar itu, proyek ini kini menghadapi tekanan besar. 

Pendapatan tiket belum cukup untuk menutup biaya bunga, cicilan pinjaman, dan biaya operasional harian.

Hal itu membuat restrukturisasi menjadi langkah penting agar proyek tetap berlanjut tanpa membebani keuangan negara.

Agus Pambagio Buka Suara

Analis kebijakan publik dari Public Policy Interest Group, Agus Pambagio menjelaskan terkait menumpuknya utang dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh.


Menurut Agus dirinya sudah memperingatkan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak melakukan tender dengan pihak China, karena proyek ini dinilai terlalu mahal dalam pembiayaannya.

Agus mengatakan tidak hanya dirinya yang memperingatjan Jokowi, tetapi juga Menteri Perhubungan (Menhub) saat itu yakni Ignasius Jonan.

Namun, kata Agus, Jokowi mengabaikan saran dan peringatan dirinya bersama Jonan.

"Pak Jokowi nggak mau tahu, nggak mau dengar saya dengan Pak Jonan. Jadi kan Pak Jonan dipecat, saya dipanggil ke Istana," kata Agus dikutip dari YouTube Nusantara TV, Selasa (14/10/2025).

"Saya sudah menjelaskan bahwa ini mahal sekali, nggak bakalan bisa dibayar. Tapi Pak Jokowi ngotot, bisa (dibiayai), ya sudah. Lalu saya tanya ini ide siapa sih pak? (Jokowi menjawab) 'ini ide saya'," kata Agus.

Agus lalu menjelaskan awal mula kerjasama pembangunan KCJB Whoosh sebenarnya akan dilakukan dengan pihak Jepang dengan sistem utang dan bunga 0,01 persen.

 Namun, tiba-tiba tender pun berubah dan langsung beralih ke pihak China meski secara bunga utang lebih tinggi yakni mencapai 2 persen.

"Ini kan dulunya (kerjasama proyek) dengan Jepang pakai loan, bunga 0,01 persen. Ketika dinaikkan (bunga) 1,5 persen saja, sudah teriak semua karena tidak bisa bayar ketika itu," ujarnya.


Waktu itu, kata Jonan yang membuat analisisnya dari UGM dan UI.

"Lalu tiba-tiba diambil Pak Jokowi, dikasih China, yang bantu itu dari ITB. Hitung-hitungan keuangannya langsung berubah," katanya.

Dalam pembangunan mega proyek ini, Agus mengatakan ketua konsorsiumnya adalah perusahaan pelat merah, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.,

Namun, sambungnya, karena tidak mampu dalam pembiayaannya, proyek ini kemudian diketuai langsung oleh PT KAI.

Agus lantas heran ketika PT KAI menjadi ketua konsorsium proyek Whoosh ini.

Padahal, menurutnya, PT KAI tidak bakal mampu untuk membayar pembiayaan yang bersifat utang pada proyek tersebut.

Lalu, Agus mengatakan dari beberapa pihak yang dirinya konfirmasi, ternyata pembiayaan serta pembayaran utang proyek Whoosh dilakukan oleh pemerintah.

"Waktu itu saya tanyakan lagi kepada beberapa pihak, ini uang dari mana? Kalau uang dari Kereta Api (PT KAI) tidak akan bisa membayar. Dan dia bilang, 'oh nggak, ini nanti uangnya lewat dari pemerintah."


"Saya nggak tahu (pembayaran) dari pemerintah, maksudnya lewat APBN atau apa. Jadi Kereta Api ternyata cuma kasir saja," tuturnya.

 Faktanya, kata Agus, pembayaran utang Whoosh ini tidak ditanggung oleh pemerintah.

Dia pun setuju dengan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, yang menyebut pemerintah enggan untuk membayar utang Whoosh.

Karena proyek tersebut sudah di bawah tanggungan dari superholding, Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

"Sekarang kalau keributan kayak gini, saya setuju dengan Menteri Keuangan yang itu urusannya Danantara karena PT Kereta Api kan sudah diambil alih dan di bawah Danantara," tegasnya

Sumber: Wartakota 

Komentar