Logika Kekuatan Versus Kekuatan Logika

- Jumat, 12 Januari 2024 | 14:01 WIB
Logika Kekuatan Versus Kekuatan Logika

Oleh Budiana Irmawan

Esensi politik adalah daya aktif setiap warga negara untuk memperjuangkan kebaikan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Pemahaman yang memiliki makna fundamental, yakni pertama, menempatkan warga negara sebagai subyek politik dan kedua, kemaslahatan publik menjadi tujuan utama, sekaligus hak setiap warga negara terlibat menentukan arah kebijakan politik, baik dalam lingkup kecil maupun kehidupan bernegara.

Itulah politik nilai yang selalu dikedepankan Rahman Tolleng tokoh legendaris eksponen angkatan 66. Memang terderang utopis, apalagi dikontraskan dengan realisme politik hari ini. Terasa “jauh panggang dari api”.

Kini definisi politik semata-mata logika kekuatan meraih kekuasaan. Politik kemudian berkonotasi negatif, tidak lebih sebagai tipu-muslihat atau siasat-menyiasati memenangkan kompetisi. Tidak aneh para politikus di semua ranah menggunakan segala cara tanpa mengindahkan politik nilai.

Baca Juga: Caleg PDIP Sulut Greivance Gilbert Lumoindong ajak Generasi Muda Melek Politik, Politik Integritas dan Bermartabat

Logika kekuatan ini tentu merusak tatanan demokrasi yang kita bangun dengan keringat dan air mata. Economist Intelligence Unit (EIU) rutin melakukan riset kondisi demokrasi di 165 negara termasuk Indonesia. Berdasarkan indikator penilaian, proses Pemilu, pluralisme politik, tata kelola pemerintahan, partisipasi masyarakat, dan kebebasan sipil menunjukan selama pemerintahan Presiden Jokowi indeks demokrasi Indonesia tergolong cacat (flawed democracy).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) memberi jalan bagi Gibran Rakabuming Raka anak Presiden Jokowi melenggang mendampingi Capres Prabowo membuktikan daya destruktif rejim yang hanya memikirkan logika kekuatan. MK lembaga negara benteng konstitusi yang lahir dari rahim reformasi porak-poranda oleh seorang ambisius yang cemas kekuasaannya berakhir.


Halaman:

Komentar